Mohon tunggu...
Intan Rosmadewi
Intan Rosmadewi Mohon Tunggu... Guru SMP - Pengajar

Pengajar, Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain ; sesungguhnya adalah kebaikan untuk diri kita sendiri QS. Isra' ( 17 ) : 7

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sungkeman, Nganteran, dan Nyekar Budaya yang Mulai Luntur

18 Mei 2020   23:56 Diperbarui: 19 Mei 2020   00:00 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negeri bernama Indonesia,  memang super istimewa.

Istimewa karena kaya dengan beragam budaya,  dari Sabang hingga Merauke.  

Istimewa karena secara geografis negerinya ini  ibarat potongan Surga yang diciptakan Allah khusus untuk bangsa ini.

Kita bisa saksikan bahwa hampir  disemua wilayah hijau . . .   hijau . . .   dan hijau,   bahkan acap kali  berkombinasi dengan biru langit, coklatnya        bukit  - bukit, hijau tosca air laut dan ribuan jenis ikan yang berlimpah dapat kita saksikan saat menyelam di kedalaman.  

Sadar ataupun tidak sadar realitasnya Indonesia adalah permata di khatulistiwa bukan istilah hoaks, itu adalah realitas.

Fa bi ayyi aalaa-i Rabbikumaa tukadzdzibaan . . . 

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan" 

Penulis sebagai orang Sunda blasteran,  telah mukim di utara kota Bandung hampir 40 tahunan dan rentang waktu tersebut sudah sedikit faham beberapa budaya masyarakat Sunda.

Oiya . . . Sunda itu bermakna "bersinar" meskipun kadang diplesetkan Sunda itu Suka berdandan.  

Sunda berasal dari kata  The La Sonta   konon berasal dari bahasa Portugis    mungkin terjadi akulturasi ucapan masyarakat Jawa - Barat  Sonta . . . Sonta jadilah Sunda.

Kata The La Sonta bisa kita telusuri berdasar pengamatan peta jaman dahulu ada wilayah yang disebut Selat Sunda,  adapun   penggunaan  sebutanannya penulis dapatkan beberapa tahun yang lalu  dari Museum Geologi Bandung.  Bisa di chek di bagaian  ruangan bebatuan dari Jaman ke jaman.

Adapun berdasar penelusuran media daring,  bahwa :  

Selat Sunda merupakan selat yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera di Indonesia serta menghubungkan Laut Jawa dengan Samudera Hindia.  Pada titik tersempit,  lebar selat Sunda hanya 30 km

Jadi selat Sunda sudah lama dikenal masyarakat Indonesia,  kemudian urang Sunda  terangkum dalam wilayah yang tidak terlalu jauh dengan gugusan Selat Sunda. Hingga kini masih melekat urang Sunda  sebagian besar wilayahnya di Jawa- Barat. 

Sungkeman Mulai Ditinggalkan ? 

Masyarakat Jawa _ Barat,  sesekali bisa menyaksikan acara sungkeman secara formal yaitu saat upacara adat pernikahan satu keluarga yang memang mereka masuk dalam kategori pengusung budaya karuhun, biasanya menak (kasta orang berpunya).    Sehingga,   hanya orang - orang yang  memiliki kelebihan rezeki  (orang kaya - raya ) saja  yang bisa menyelenggarakan upacara adat secara  lengkap dan sempurna,  karena biaya penyelenggaraannya bukan saja tidak sederhana materi yang harus disiapkan sungguh tidak akan terjangkau oleh masyarakat biasa atau kelompok miskin dan  mustadh'afin.

Acara sungkeman yang kolosal sempat penulis tonton saat pernikahan Raffi Ahmad bersama Nagita Slavina, bayangkan saja seberapa banyak kekayaan yang mereka miliki,  nah . . . orang biasa mau menyelenggarakan acara sungkeman dengan upacara adat tentunya harus berfikir - belipat ganda mending tidak usah kan . . . butuh dana tidak sedikit.

Sungkeman  juga dapat dilakukan saat hari raya Idul fitri tepatnya setelah salat Idulfitri,   prosesi sungkeman bertujuan untuk saling memohon  maaf  antara putera dan puteri kepada  Ayah dan Ibu dengan cara yang membudaya,  di mana kedua orang tua duduk di kursi dan anak setengah sujud menyentuh kesua kaki orang tua.

Memang secara makna ada hirarki,  anak di bawah menghormati Ayah dan Ibunya ;  jika prosesi ini dilaksanakan secara khusyuk tentu saja menjemput perasaan ambruk di jiwa yang mana di dalamnya tersirat harapan dan doa agar ke depan menjadi lebih baik dengan saling memaafkan satu sama lain baik untuk kesalahan yang sengaja ataupun tidak,   intinya saling membebaskan dosa.

Event sungkeman bisa diselenggarakan secara spontanitas dan tidak sekolosal acara sungkeman  pernikahan Gigi dengan  Raffi.

Tentu saja sungkeman  bisa dilaksanakan oleh keluarga inti    saat lebaran Iedhul Fitri  catatan jika kedua orang tua masih lengkap.

Demikian pada kehidupan keluarga penulis,  setelah Mamah (Ibunda kami) wafat terhitung sudah tiga tahun lamanya.  Keluarga besar kami,  rasanya enggan untuk sungkeman ke Bapak dan ke istri bapak pengganti Mamah,  membingungkan !  Mungkin di desa - desa sungkeman masih berlaku . . . . 

Masa COVID - 19  memunculkan situasi berbagai gambaran yang   terkesan  gambling,    kemungkinan tentu saja bergantung situasi dan kondisi masing - masing keluarga.   Karena mudik menjadi jalan pertama bagi putra - putri yang soleh / solehah untuk bisa sungkeman kepada kedua orang tua,   jika jauh nun di sana dan larangan masih ketat tentu tahun ini tidak bisa sungkeman secara khidmat seperti tahun - tahun yang lalu.

Nganteran Dan Ngabeduk  

Nganteran adalah cara urang Sunda berbuat baik,  dengan berkirim hasil olahan dapur rumah masing - masing.

Happeningnya budaya nganteran di desa kami berlangsung  sekitaran tahun 1970 - an,  biasanya tujuh hari menjelang Lebaran sekampung saling mengantar rantang,  berkirim olahan dengan beberapa budaya yang melatih perasaan saling toleransi dan berbagi.

Mengantarkan hasil olahan dari dapur masing - masing  yang budayanya adalah satu rangkai rantang penuh, isinya adalah :  

nasi satu rantang,  ikan mas goreng,   gepuk atau sejenis masakan mirip empal daging sapi,   aneka jenis  tumis,   bihun goreng,  oseng kentang, ase cabe hijau, kerupuk udang, tahu goreng,   tempe goreng (yakin penulis hafal urutan lauk pauk untuk nganteran karena juga budaya ini telah berlangsung sejak masih cilik - cilik,  rambut kuciran, pakai rok mini tanpa pakai sendal ).   Indah sekali . . . akan tetapi itu tiga puluh tahun yang lalu.

Saat ini berbagi cinta,  bisa kasih lips stik, bedak atau apapun imajinasi kita.  

Bisa saja hasil bumi  bagi para petani yang berniat membagi para tetangganya,  bahkan kepada penulis ada yang berkirim uli,  ketan hitam dan ayam mentah.  Tidak terikat dengan budaya nganteran . . . namun tetap itu ada ya saling berkirim .  

Ngabeduk,  di desa kami sudah tidak ada itu beduk,   selain beli beduk itu relatif cukup mahal dan trennya sudah punah,  jadi cara memanggil jamaah cukup dengan mic saja, bye bye bedug.

Jika mengingat tahun '70 - an  di desa kami beduk masih eksis,  sehingga bermanfaat sebagai alat pemanggil waktu shalat lima waktu.  

Jika bulan Ramadan tiba beduk lebih sering dipukul dan suasana kampung / desa meriah walaupun lumayan juga hingar bingarnya . . . bagi mereka yang kurang berkenan.  Akan tetapi rasanya indah mengenang suara bedug masa lalu yang kini telah tiada kecuali kita kepingin pasang ring tone beduk,  sungguh mahal kenangan masa lalu.

Nyekar Budaya Yang Mulai Luntur

Prinsipnya nyekar itu bisa dilakukan kapanpun,  kendati kesempatan yang terasa mengandung spirit berbeda lebih   anggun  jika nyekar itu  dilakukan satu hari menjelang lebaran. 

Suasana  nyekar adalah suasana mengantarkan   rindu bersama do'a  yang kita rekayasa lewat budaya turun - temurun.  

Penulis merasakan nikmat jika memiliki waktu berkesempatan nyekar ke makam Mamah, Kakek, Nenek dan leluhur yang puluhan tahun sudah pergi.  Karena Almarhum di makamkan jauh di Timur sehingga butuh kesempatan yang private.

Khusus tahun ini mungkin edisi nyekar ke pekuburan umum kalau toh PSBB masih  diberlakukan, tentunya ada ketentuan khusus,  karena demi keselamatan banyak orang.

Bagi mereka yang merasa sudah cukup berkirim do'a bakda shalat,  maka nyekar menjadi tidak begitu penting,   adapun bagi penulis nyekar itu penting untuk menjemput rasa yang berbeda,  di taman pekuburan kita toh bebas berdialog secara spiritual di makan Almarhum - almarhum yang kita cintai.

Penulis merasakan dada itu menjadi lebih ringan dan lega, jika bisa berkesempatan nyekar.

Semoga do'a - do'a kita semua untuk para Almarhum sampai meskipun dari kejauhan.  Insha Allah. Amiin

Sumber info :  Tradisi Lebaran Di Daerah Sunda

Ciburial Indah,  Bandung

Selasa,  26 Ramadan 1441 H  /  18 Mei 2020 M

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun