Â
Hari  rasanya masih sangat  pagi ketika itu dan ia tengah  menjemput siang.
Sedikit di luar pemikiran rasional sepertinya Kami ada disatu gurun.
Udara menyengat, Â meskipun sudah ada beberapa pohon dan tumbuhan mulai rimbun dengan dedaunan . . . lumayan terasa sedikit sejuk saat mata memandang sepintas hijau -- hijauan yang berselaput debu tipis.
Memang senyatanya udara menyengat berasa di Padang Pasir yang tandus. Â Â Â Â Bisa jadi ini karena efek penulis sebagai orang yang mukim di gunung utara kota Bandung sehingga butuh adaptasi sejenak dengan suasana sekitar.
Kami semua sekitar 45 orang lebih  peserta plus admin  Click Kompasiana  bertahan sejak sekitaran  jam 08.00 pagi, pada wilayah Pantai Maju  hingga waktu segera tiba untuk meninggalkan salah satu proyek Pemda DKI yang sangat kontroversial.
Jam 10  lebih Kami berusaha meninggalkan Pantai Maju yang tengah menggeliat. Mungkin maju dalam satu aspek dengan adanya proyek pembangunan untuk income DKI bahkan secara subyektif  rasanya mundur juga dalam hal khusus terkait polusi udara berasa oleh mereka yang sangat peka wabil  khusus penulis yang bermukim di "negeri atas awan"  sekitar lingkungan kami adalah pegunungan hijau dengan  memandang kota Bandung ada dikejauhan sana.
Sementara itu kompasianers yang menyebar sejak pagi hari ketika lokasi masih sepi masih  belum kembali,  tampak  hanya beberapa pejalan kaki diantara kabut yang ganjil menyelimuti banyak gedung pencakar,  jika mengingat tadi malam telah terjadi gempa dengan kekuatan . . .  goncangan  rasa ngilu menghujam ulu hati,  membayangkan sekiranya jasadku telah membusuk diantara reruntuhan bangunan yang entah seperti apakah bentunya (Gusti Allah, huh . . . seram!)
Kami menyebar di sekitaran Pantai (Pulau) Maju mengeksplorasi wilayah ini dengan penuh semangat menjelajahinya sekelilingnya berdebu,  penulis mencoba menyapu pandangan kearah  parkiran kendaraan yang mengantar peserta ke Pulau Reklamasi tampak  ketiganya masih  diam kokoh tidak bergerak.
Sejak datang di sebagian  Pantai  yang dikenal dengan sematan  "Maju"  tampak berbaris  'mungkin'  mereka adalah petugas -- petugas Satpam,  ada yang telanjang dada sehingga sinar Matahari menimpa sebagian tubuh mereka tampak agak sedikit mengkilat  kekuningan atau coklat tua sedang sebagiannya berkostum training hijau gelap mendekati hitam temaram.
Teriakan -- teriakan sepasukan barisan satpam terdengar tegas kadang melemah digusur angina gurun, Â kemudian terdengar komando berintonasi kuat . . . Â dugaan saja dia adalah pemimpin dalam barisan tersebut.
 Bangunan -- bangunan entah  bergaya Eropa atau aliran kotak -- kotak bertingkat rasanya mereka sangat tidak bersahabat dalam pandangan penulis tentang estetika bangunan,  boleh dikatakan dalam hati :
"Kamu (Intan) tidak perlu datang ke sini lagi, kecuali ada keperluan yang mendesak !" Â
Konon bangunan -- bangunan yang telah jadi dan masih terus dibangun satu kotaknya perbulan  ada yang seharga dua puluh juta perbulan . . .  dhuh !
Sebagai guru yang berpenghasilan sepersekiannya tahulah khabar ini sungguh amaging ! Â cuma berkomentar lirih :
"Oiya. Â Negeri ini memang kaya raya, ini salah satu buktinya."
Saat mengamati satu demi satu bangunan di Pantai Maju dari arah taman bergegas perempuan jangkung mendekati  penulis berdiri dan tengah mencari perlindungan agar bisa sedikit ngiup.
Maka saat Kami berjumpa . . . dititik penulis berdiri, kamipun  berdialog setengah diskusi membahas posisi toilet ada di mana.
Mbak Muthi ingin segera ke toilet dan entah di mana letaknya,  sehingga  Kami menyusuri  gang panjang yang sesungguhnya jika tidak ada tenda -- tenda semi permanen itu adalah lahan wilayah parkir,  akan tetapi tampaknya kursi dan kios  didesain memanjang untuk masyarakat sekitar sore -- sore menikmati aneka hidangan yang cukup bervariasi saat penulis bersama Mbak Muthi menyusuri booth yang malam tadi tampak ada aroma kepanikan.
Click Kompasiana
Muthiah alhasany berjalan menyusuri gang instan yang memanjang ia berusaha mencari  "konter"  khusus,  sempat masuk dan keluar lagi sehingga semakin menjauh dari pandangan.
Founder click  berteriak singkat dari balik kios yang berjejer :
"Bun . . . yang ini dikunci . . . "  maksudnya tentang toilet jadi -- jadian yang dia cari  terkunci tidak bisa digunakan ketika itu,  sesungguhnya Kita dapat saksikan sepintas saja toilet tersebut  bisa segera  dibongkar lagi saat sudah tidak digunakan.
Demi mendekati arah dia . . . Â Sang Penulis yang melabeling dirinya
Pengamat Politik Turki Dan Timur Tengah linknya ada di sini
Saya berjalan menyusuri meja -- meja yang disusun dengan bermacam variasi, Â ada yang melingkar, Â ada yang memanjang begitupun ada yang menyebar.
Kios -- kios ini senyatanya hanya salah satu daya tarik para pengunjung ketika menjelang sore, Â sisa -- sisa jejak kegiatan semalam terbaca sekilas.
Ada pula meja yang masih bersih dan tersusun rapih,  akan tetapi debu tipis menyelimuti keseluruhan perkakas ini,  ada satu wilayah kios yang super berantakan,  asumsi  penulis sepertinya saat malam terjadi gempa semua pengunjung juga pelayan berlari meninggalkan lokasi,  tanpa peduli lagi kursi, makanan yang tengah disantap bahkan pelayan tak ingat lagi tugas membersihkannya terkesan mereka semua lari menyelamatkan diri.
Rasanya wajar saja jika mengingat tadi malam gempa dengan kekuatan sekitar    7 skala richter lebih saat para Kompasianer menyebar ada yang masih di kamar atas lantai 3  Ghraha Taman Mini Indonesia Indah ada yang  masih di ruang makan dan penulis telah duduk di ruang tempat kami berkumpul menyimak setiap pemaparan,  gempa itu membuat saya duduk terdiam tak hendak beranjak sejengkalpun  dengan pertimbangan lari kemanapun disekitar lokasi kami berkumpul adalah  bangunan dan pepohononan.Â
Sesungguhnya bisa saja para peserta melakukan gerakan  masuk ke bawah meja tetapi bingung hendak melakukannya,.
Penulis bersabar menanti Mbak Muthy yang setia menulis di Kompasiana dan dirinya  bergabung  sejak  01 Mei 2010  disalah satu kursi yang memanjang mirip bangku sekolah jaman dahulu kala.
Maka ingatanpun merayap meloncat -- loncat  . . .  bahkan mungkin ingatan itu menggelinding seperti bola tidak keruan arahnya.
Inilah penelusuran sesaat kegiatan  Click Kompasiana
bergabung 16 September 2015 dengan kegiatan super padat dan bervariasi,  boleh Kita telusuri bersama  Statistik artikel ( 22 Agt2019 -- saat penulis mendokumentasi )  ada 49 tulisandibaca :  40.253 komentar : 120  Nilai :  263
Headline  :  32  Pilihan :  48  Followers :  62  pergerakan energy ini tentu ada Mbak Muthy di belakang layar, yang tidak terlalu banyak cingcong sesungguhnya yang penulis amati dia lebih banyak diam kecuali ada kalanya meledak itupun terkendali.
Usai Mbak Muthy menyelesaikan urusan pribadinya Kami berdua bercengkrama menanti Kompasianers yang tengah eksplorasi Pantai Maju,  kemudian seluruh Kompasianer  peserta click dapat memantau hasil susah payahnya menulis dikejar deadline demi deadline.Â
Keren ya para juara selamat . . . .
Â
Kami akan mengenang dengan cukup manis acara Workshop Menulis dan Tour Pulau Maju (Pulau Reklamasi) kerja harmonis Komunitas Pengguna Commuter Line (Click Kompasiana) plus Persatuan Penulis Indonesia (PPI) yang menggawangi adalah seseorang yang sangat tidak asing lagi bagi Kompasianers yaitu Mas Thamrin Sonata.
Click Kompasiana Dan Sang Founder Energik
Muthial alhasany  nama yang bermakna kethaatan perempuan yang baik, atau bisa juga perempuan patuh pada -- Nya dan baik pada lingkungan sekeliling. Rasanya gambaran kebaikannya sering penulis saksikan,  disamping penyabar dan penuh toleransi,  sekilas penampilannya teramat jutek dan terkesan membangun benteng kokoh antara dirinya dan siapapun yang belum mengenal dirinya lebih dekat boleh dikata gambaran wajah,  lu gue end . . .
Dekati dia dengan lebih dekat lagi bertahap, Â kenali secara lebih santai lagi . . . Â dengan celotehan bermaknanya . . . . pantau laman face booknya maka Kita akan menelusuri kata hikmah, kata bijak keluaran ulama -- ulama besar yang asing dalam ingatan karena memang kita dicekoki nama -- nama yang jauh dari mengingat Allah, mempelajari Al Quran dan Assunah juga perkataan para ulama klasik di seluruh negeri dan alam semesta ini.
Mbak Muthy banyak mengenal ulama dunia juga khususnya Turkey dan wilayah Timur -- Tengah, Â kenali dia lebih dekat . . . .
Salah seorang ulama Jawa -- Barat yang cukup dikenal berkomentar lugas tentang wawasan  Mbak Muthy  yang sempat sowan,  beliau berkata dengan intonasi yang  halus dengan caranya seorang ulama memuji yang bisa penulis ringkas :
Indonesia memiliki seorang perempuan potensial yang langka, Â memiliki wawasan dunia Islam yang mumpuni. Â Barakallahu yaa Mbak, Â semoga istiqomah dalam budaya sowan ke seluruh ulama -- ulama di Nusantara ini.
Penulis mencoba scroll atas dan kemudian scroll bawah berulang kali menelusuri akun Kompasiana perempuan Pengamat Politik Turki dan Timur Tengah, Â Mbak satu ini masuk dalam kategori penjelajah dengan 23.602 point, pastinya angka -- angka ini akan sangat fleksibel seiring peningkatan tulisannya.
Jumlah Followers ada 407
Ada 1 305 Artikel dan
telah dibaca 1.219.914
dengan jumlah comment 4.453
Nilai mencapai  6.803
Headlinenya ada 149 tulisan
Pilihan 997 artikel
Ketika menelusuri seluruh tulisan Muthiah al Hasani yang berjumlah 1 305 Artikel, Â terasa dirinya begitu tekun menulis tanpa memperdulisan terkait dengan view. Â Beberapa liputan ada yang viewnya teramat minim, Â namun rupanya sama sekali menjadikan dirinya berhenti menulis.
Tulisan
Notre Dame Paris Terbakar Bersamaan Dengan Masjidil Aqsa
 Dengan perolehan 4834 view
Penulis merasakan bahasa yang digunakan adalah bahasanya ringan bersahabat dan sangat santun juga berbobot, Â maka tidak heran banyak kompasianer yang berburu tulisannya seperti :
Tiga Langkah Besar AS dan Israel Menuju Penyerangan Ke Iran
Dalam pantauan penulis ada sekitar 2234 view
Sebagai salah seorang kompasianer sangatlah tidak mudah memperoleh tumpahan view yang sedemikian berlimpah, Â memang wawasan dan pengalamanlah yang menjadikan view terus meningkat.
Meskipun penulis yakin bukan view yang jadi incaran seorang Muthiah alHasany pasti ada hal lain yang lebih mulia dan melesat jauh ke Langit, Subhanallah.
Adapun situasi dan kondisi di dalam negeri Muthiah al Hasany tidak pernah abai terus mengamati suasana dan menuliskan dengan bahasa yang dapat difahami diantaranya :
(4395)
 Click Kompasiana dan Mbak Muthiah Al Hasany terima kasih telah berbagi,  Kami sangat terkesan dengan kiprah kepenulisan ini sukses selalu untuk semuanya
Â
Ciburial Indah
23 Dzulhijjah 1440 HÂ
24 Agustus 2019 M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H