Mendaki menuju puncak Jabal Nour  kering dan berdebu dan hati ngilu mengingat berbagai episode masa lampau perjuangan Sang Nabi.
Perjalanan menuju Gua Hira yang sempit dan berbatu -- batu jumbo  dengan struktur tumpukan demi tumpukan  yang abstrak  tidak lama lagi kami sampai di puncak,  iyaa puncak Jabal Nuor.
Kami hanya sesekali menanyakan anggota tim yang masih tertinggal di belakang, menyatakan mereka selamat dan ada segera menyusul.
Subhanallah . . . . kain ihram yang sedari tadi melilit tubuh penulis untuk  membentengi angin gurun di puncak Jabal Nour kini melambai -- lambai mengibaskankan ujung -- ujungnya menyaksikan kemegahan cahaya Masjidil Haram yang sedemikian cemerlang setitik Ka'bah tampak anggun muncul hanya setitik mirip bulatan mutiara hitam,  dalam imajinasi penulis mungkin itu adalah cahaya dari Surga.
Saat adzan subuh berkumandang dengan posisi aneh kami berjamaah melaksanakan subuh di puncak Jabal Nour, Â diujung do'a akhir attahiyat, Â "semoga Allah mengundang kami untuk yang kedua . . . ketiga dan seterusnya."
Cahaya Masjidil Haram di Puncak Jabal Nuor adalah serpihan kenangan yang tidak pernah redup dan tetap bercahaya ketika ingatan muncul dan kemudian muncul lagi.
"O . . . Allah kabulkan do'a hamba untuk kembali menuju Gunung Cahaya, Â agar hamba dapat menyaksikan kecemerlangan Masjidil Haram dan kecemerlangan jiwa -- jiwa yang diterangi cahaya." Â
Cibural. Â Senin 9 Rabiul Tsaniy 1440 H / 17 Desember 2018M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H