Empat orang ini berangkat jam dua malam berbekal dua botol minuman dan masing -- masing membeli burger untuk menguatkan fisik menuju puncak dengan perhitungan saat sarapan masih di gunung cahaya.
Dari Harom menggunakan taksi yang memuat empat orang,  kami diantarkan oleh supir hingga di kaki Jabal Nuor,  malam gulita . . . hanya sedikit cahaya listrik yang semarak dari Harom seakan berbagi terang  seadanya.
Masing -- masing kami tidak bersuara,  entah keberanian macam apa yang menghinggapi  perasaan  kami ketika itu cuma satu ingin mencari keberkahan dari Sang Nabi Agung.
Ketika pendakian dimulai saat itu tahun 1996,  gunung batu adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri, ketika masing -- masing kami menggerakan kaki dengan ucapan Bismillah diiringi  shalawat dan salam pada kekasih para sahabat tercinta Khalifah Umar,  Abu Bakar, Ali dan Usman,  gemeretak batu yang terinjak ganti berganti berbunyi mengisyaratkan kami tidak berhenti.Â
Pada setengah jam pendakian pertama perasaan masih dapat di netralisir dengan obrolan -- obrolan ringan tentang Ibunda Siti Khadijah yang setia mengantar perbekalan suaminya, Â atau membahas Rasulullah yang merasa tidak betah di kotanya yang binger dengan bermacam kemaksiatan.
Pada empat puluh menit berikutnya kami tidak lagi bisa berdiri tegak mendaki dikemiringan gunung sekitar enam puluh derajat, Â merayap dan merangkat alternative yang paling aman.
Penulis tidak lagi berani menggunakan sepatu yang sedari tadi digunakan,  kemudian alas kaki  dilepas dan merayap perlahan atau tepatnya merangkak menuju puncak dengan suara lenguhan dari kami masing -- masing ganti -- berganti.
Tidak ada trap -- trap untuk kami bisa lancar,  tidak ada pepohonan,  tidak ada tempat duduk atau bersandar hanya kemiringan yang terjal harus segera dituntaskan untuk menghindari debu -- debu padang pasir  yang tanpa ampun  melumuri seluruh permukaan wajah kami.
Angin Gurun yang menghampiri Jabal Nuor dari berbagai arah membawa debu panas keatas Jabar Nuor,  hampir seluruh permukaan wajah  telah kami tutup kecuali kedua mata kami.  Â
Rasa yang menusuk -- nusuk di qalbu . . . .  menjemput tanya demi tanya  bagaimana caranya Khadijah mengirim perbekalan setiap harinya sedang medan Jabal Nour  sedemikan berat  penulispun berbisik :
"O . . . Ibunda Khadijah yang mulia selayaknya engkau mendapat hadiah Surga "  Betapa Jabal Nuor ini sulit kami taklukan  di malam yang berdebu.  Kami pun rehat sejenak duduk mengatur nafas yang tersengal sengal  dengan basah kuyup baju di badan. Â