Mohon tunggu...
Intan Rosmadewi
Intan Rosmadewi Mohon Tunggu... Guru SMP - Pengajar

Pengajar, Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain ; sesungguhnya adalah kebaikan untuk diri kita sendiri QS. Isra' ( 17 ) : 7

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Melawan Lupa" Tulisan Kental dengan Rasa Lokal

17 November 2017   13:59 Diperbarui: 17 November 2017   14:06 1478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melawan Lupa (dok:pribadi)

Buku cetak saat  ini seakan kehilangan pamor dibandingkan dengan euforia masyarakat dalam bergawai -  ria di Nusantara tercinta.  Kita dapat mengamati bersama bahwa  perkembangan masyarakat dengan dinamika yang  sangat  melesat terkadang kami yang sudah sepuh hanya tercengang antara takjub dan prihatin.

Takjub dengan kecepatan teknologi informasi global dimana merambah pada merajainya produk -- produk smartphone (gawai) dan  kompetisi yang ketat diantara brand -- brand handphone  ternama, level menengah juga yang baru muncul.  

Sehingga pada sisi tertentu manfaat gawai bagi sebagian  konsumen dapat mempercepat informasi dan pekerjaaannya bahkan menembus ruang dan batas waktu seakan segalanya menjadi lebih mudah bak di alam surga.

Prihatin . . .  menyaksikan dimana -- mana orang lebih fokus pada gawainya terutama saat melakukan perjalanan cukup jauh dengan  menggunakan angkutan umum di darat khususnya, hampir semua penumpang menggenggam besi tipis tentu lengkap bersama macam -- macam aplikasi. 

Bukan sekedar di angkutan umum bahkan terminal -- terminal angkutan umum, station -- station kereta api  demikianpun bandara bahkan di rumah kitapun  fenomena keluarga Indonesia saat ini semua anggota keluarga terpana tidak berkutik  dan merunduk dihadapan benda penggusur budaya baca -- buku.

Sesungguhnya  budaya baca rakyat Indonesia  sejak lama para pendidik  satu sisi mereka membangun  dengan susah payah agar anak didiknya gemar membaca dan di dukung penuh oleh pemerintah baik skala nasional maupun skala tingkat provinsi dan daerah akan tetapi  disisi lain kondisi saat ini usaha -- usaha yang selama ini telah dilakukan  digusur oleh gelombang dan banjir besar  produk gawai yang dipasarkan hingga kedusun -- dusun terpencil nun di pelosok sana . . .

Maka tidak perlu heran jika kemudian rilis kompas.com pada kanal edukasi   memaparkan bahwa :

"Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi  "Most Littered Nation In the Word"   yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu,  Indonesia dinyatakan menduduki peringkat 60 dari 61 negara soal minat membaca."

Akan tetapi keprihatin kita  tidaklah berarti tanpa melakukan apapun minimal untuk lingkungan terkecil dalam keluarga mari mencoba membangun budya membaca buku meskipun hanya buku sederhana saja.

(dok.pribadi)
(dok.pribadi)

Buku Berlatar Alam Minangkabau

Akhirnya penulis mendapat tiga eksemplar buku dengan kulit depan  berwarna kuning emas dan gambar rumah gadang dengan tiga bagonjong separuh bagian atas terang dan sisanya hingga bawah berwarna gelap, rasanya ada kewibawaan di balik rumah tersebut atau ada aroma mistik, entahlah sepertinya hanya penilaian yang sedikit abstrak.

Adapun buku ini adalah . . .  

Judul Buku                              :  Melawan Lupa Kumpulan Kuliah Subuh

Penulis                                     :  H. Haizir Djayus, S.H

Penerbit                                   :  Walet Publish -- Padang

Penyunting                             :  Dr. Dina Yuliati, S.S.,M.Si.

Disain Sampul                       :  Safina Art

Cetakan I                                 :  Juli 2017

Jumlah halaman                    :  133 lembar

Menelusuri satu demi satu membaca buku tersebut penulis merasa kagum pada Haizir Djayus yang menuturkan dengan bahasa sederhana,  sarat makna bertaburkan mutiara ayat -- ayat Quran dimana -- mana.

Dengan sebab saya sempat empat tahun mondok  di Padang -- Panjang ( 1978 -1981 ) dan berinteraksi dengan banyak santri dari bermacam daerah di Minangkabau seperti Bukit Tinggi, Batu Sangkar, Pasaman, Pariaman Solok dsb. Maka saat membaca satu halaman demi satu halaman buku berjudul   "Melawan Lupa Kumpulan Kuliah Subuh"  karya H. Chaizir Djayus, S.H  seakan kampung halaman 'maimbau'.

Tulisan dalam sub judul : Antara Surau, Lapau dan Rantau ( 35 -- 37 ) seakan mengingatkan segala hal yang ada disana.

Bagaimana tidak  'maimbau'  saat membaca salah satu sub judul :  ANTARA  SURAU  LAPAU  DAN  RANTAU    'hati ambo hanyut ke negeri 1000 bagonjong (realitasnya mungkin ribuan jika ada survai yang melakukan !)

SURAU ;  yang penulis fahami  nyata adalah sebutan untuk tajug (bahasa Sunda) atau mushallayaitu tempat melaksanakan ibadah salat namun tidak di gunakan untuk salat jum'at karena ukurannya relatif lebih  kecil bila di bandingkan dengan mesjid.

Budaya urang awak anak laki -- laki biasa tidur di Surau ini  filosofi yang bisa kita tangkap bahwa hendaknya  anak bujang selalu terkait dengan agama yang ia anaut  yaitu Islam,  sesungguhnya kebudayaan ini terkesan bagai simbolik saja akan tetapi  kenyataan memang seharusnya seorang pemuda harus lebih tekun memperdalam agama lewat surau -- surau masa itu,  jika diiplementasikan ke masa kini para pemuda harus ada di garda terdepan balam bidang agama suraunya sudah roboh pergilah ke masjid, madrasah dan pondok pesantren.

Kira -- kiranya sih demikian jika kita memahami pada masa kini, karena tampaknya surau sudah tidak populer lagi.

LAPAU ;  secara bahasa kekinian mungkin lapau  ya . . .  sejenis kafe tempat orang -- orang muda berkumpul nongkrong minum kopi dan berbincang -- bincang hangat membahas sesuatu yang tengah hangat dibincangkan,   di lapau ini juga urang awak kaum muda bersenda gurau  maota -- ota. (bercakap -- cakap).

Boleh jadi mereka berdiskusi dan melanjutkannya di ruang -- ruang yang lebih serius,  secara tidak formal lapau juga menjadi pusat informasi bagi segelintir orang yang butuh up date ketika itu, kini ? entahlah bentuk lapau masih adakah disana ?

RANTAU,  adalah pergi jauh dari kampung halaman yang lazim kita menyebutnya merantau.  Bukan orang Minang jika tak berani merantau bahkan dalam buku ini halaman 36 dituliskan tentang satu pemeo :

"Andaikan di bulan ada kehidupan manusia, pasti ada orang Minang disana".  Budaya merantau  inilah yang kemudian menempa pribadi -- pribadi Minang menjadi mandiri, ulet dan tangguh karena mereka harus mengurus diri sendiri tak ada lagi  APAK  atau AMAK yang mengurus segala sesuatunya."

 Chaizir Djayus memang mengutip dari tulisan Adriano Rusfi sebagaimana di tuliskan dalam buku tersebut,  akan tetapi beliau menguraikan dengan manis terkait kearifan lokal urang awak yang saat ini tergerus oleh jaman.

Bahwa sesungguhnya pendidikan itu di mulai dari surau, dan jeda di lapau sedang merantau sebagai tahapan pendidikan ketangguhan jangan sampai merantau tak kenal surau atau bahkan selalu di surau saja atau tak pernah tidak selalu ada di lapau. Keren sekali saat memikirkannya.

Pentingnya buku ini,  semua sorotan dari penulisnya dengan bahasa yang sungguh sederhana baik terkait pendidikan, ekonomi dan berbagai aspek sosial dalam budya masyarakat Minang beliau  sebagai penulis tidak pernah lupa menyuntiang beberapa ayat al Quran,  sayang tidak ada pencantuman teks asli bahasa Arab ( sepertinya ini untuk kepraktisan saja, dan kita yang membacanya harus pegang Quran untuk sekalian murajaah atau tadarus, god job !  )

Orang Minang kini dan urang awak jaman dahulu di paparkan dengan indah dan spesial dikaji dengan ayat al Quran.

Alhamdulillah Bunda merasa bernostalgia di beberapa wilayah indah tanah sebrang yang selalu melekat dalam hati.

Demikian saat usai membaca tentang Reframing Syukur ( hal : 56 -- 58 ) kisah yang dituturkan dengan jernih. Sesungguhnya ini nasihat untuk kita semua akan tetapi pembaca tidak akan merasa di nasihati.

Penulis : H. Chaizir Djayus, S.H (pict:dok.pribadi)
Penulis : H. Chaizir Djayus, S.H (pict:dok.pribadi)
Jika ingin di cetak ulang memang ada bebeapa typo pada halaman 37 (harus tertulis harys dan 58 (seharusnya adat ditulis ada); sebenarnya untuk mempermudah siapapun yang membacanya memang teks al Quran penting dicantumkan,  dengan membaca buku ini tanpa ayat -- ayat memang membuat penasaran apa sih bunyi ayatnya sehingga memang harus berdampingan antara membaca Melawan Lupa mesti ada al Quran.

Bersyukur masih ada yang mau berkontribusi menulis buku dengan sederhana dan nuasa lokalnya "dapet" semoga ini sedikit pembuka jalan bagi semua segmen masyarakat tidak terlalu terlena dengan gawainya, sekarang tiba saatnya diet gawai demi meningkatkan kegiatan literasi buah hati kita.

Salam Literasi

#Jum'at Mubarokan Ciburial,  28 Safar 1439 H / 17 November 2017 M

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun