Perasaan berkecamuk melekat kuat di dada seluruh  calon jamaah haji  2011 M / 1432 H, sejak tiga hari sebelumnya kami semua  membayangkan perjalanan menuju Arafah adalah awal dari gerakan  maraton sejenis uji nyali, uji kekuatan mental dan  penempaan "kesadaran diri" bahwa kita memiliki keterbatasan teramat terbatas dan hina -- dina  ditengah gelombang manusia  baik kaum muda  demikian bagi mereka yang telah sepuh dan menanggung berbagai macam penyakit diantaranya jantung.
Kecamuk di jiwa adalah menghimpun kekuatan untuk pasrah pada Allahu  Ahad  tentang nasib yang bakal terjadi dan kemungkinan -- kemungkinan yang tidak dapat  tergambarkan dalam keterbatasan prediksi.
Seluruh masyarakat dunia yang sampai di Arafah hendaknya selalu  bersiap untuk sabar dan tabah jika kemudian tidak lagi ada kendaraan  pengangkut  dari Mudzdalifah, Mina hingga Makkah.
Mahbaz Jin (pemondokan penulis beserta rombongan Kabupaten Bandung dari kloter 72) Â menghitung jarak menuju Arafah. Â
Pada hari yang bergemuruh ketika itu  dengan  warna putih mendominasi seluruh pemandangan dan keyakinan kuat bahwa  pasti kami akan menempuh perjalanan  sekitar 19 km  ke titik  Arafah  Jum'at,  8 dzulhijjah 1432 H / 4 -- Nopember 2011 M.
Bukan karena jarak tempuh yang relatif  panjang,  Alhamdulillah seluruh jamaah terangkut menggunakan bis -- bis yang sesungguhnya telah disiapkan panitia haji  sejak jauh -- jauh hari menuju Armina ( Arafah, Mudzdalifah dan Mina ).
Â
Menuju Mina dari Mudzdalifah  sekitaran 5 km lanjut berjalan kaki,  dari  Mina ke Mekkah 7 km,  yang pada awalnya jamaah rombongan kami kloter 72  bersatu terhimpun 22 orang dengan berbagai kondisi diantaranya ada Pak Sulaeman yang berusia lebih dari 80 tahun,  Ibu Yetti yang memiliki jantung bawaan dari Indonesia ada dua orang Ibu  sepuh yang sudah tidak memiliki suami yang pada akhirnya semua jamaah turut  bertanggung jawab atas keselamatan saudara -- saudara muslimnya.
Ketika akhirnya jamaah  terpencar -- pencar terbawa arus jutaan manusia menuju titik yang sama penulis dengan seorang Ibu sepuh berusia 84 tahun memegang dengan kuat di tangan kiri tampak diwajahnya khawatir terlepas saat udara panas mulai memanggang ubun -- ubun sedang disebelah kanan Ibu Lia Purbaningrum juga memegang lengan penulis penuh keyakinan bahwa Mina dan Mekkah akan kami tembus bertiga saja.