Mohon tunggu...
Intan Rosmadewi
Intan Rosmadewi Mohon Tunggu... Guru SMP - Pengajar

Pengajar, Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain ; sesungguhnya adalah kebaikan untuk diri kita sendiri QS. Isra' ( 17 ) : 7

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bhineka Tunggal Ika Pada Secangkir Teh Rasa Nusantara

24 Agustus 2017   23:48 Diperbarui: 25 Agustus 2017   11:13 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun teh Malabar (pict: @andrimastiyanto)

Para leluhur kami di Priangan sangat lazim menyeduh air panas mendidih  ditabur daun teh atau terkadang serbuk yang halus berwarna coklat kehitaman  kemudian kakek atau nenek kami  menutupnya beberapa menit lanjut  merekapun menyecapnya  dikala telah   hangat baru diseruput nikmat dengan suara sruput...  sruput.. yang kini mengenangnya  terasa romantis.

Berbeda dengan sebagian masyarakat Yogyakarta yang sempat penulis amati adalah kebiasaan induk semang kami meminum teh tubruk (daun dan ranting teh kering) dengan menyemplungkan beberapa potong  gula batu terkadang  kami di suguhi juga dengan ramah dan bangga atas kebudayaan minum teh dari turun temurun tanpa luntur oleh minuman instan yang berbentuk kotak,  cup atau botol plastik yang  di rancang secara memikat kita saksikan bersama   sedemikian  trendi sepuluh tahun belakangan ini.

Aki dan Emak Nini setiap pagi buta mereka memiliki  budaya utama membuka sarapan dengan minum teh hangat menyambut udara dingin menyengat bahkan  masih sering berkabut di seputar tatar Pasundan.

Sehingga bagi Emak Nini daun atau serbuk teh memang   menjadi stok unggulan yang tidak pernah kosong di kelernya*  sepanjang hayat mereka, sedang cemilan pelengkap beberapa potong  singkong rebus atau bubuy*  ubi dan pisang tanduk hasil tanaman di bagian sawah milik leluhur yang memang petani buhun*.

Kebun teh Malabar (pict:dok.pribadi)
Kebun teh Malabar (pict:dok.pribadi)
kami berbahagia di kebun teh PT.PNVIII (pict: @rizky)
kami berbahagia di kebun teh PT.PNVIII (pict: @rizky)
Ada rasa bungah yang menggumpal dan mengental  saat penulis masuk dalam grup whats app Kompasiana Visit Pangalengan tetiba saja  muncul tayangan dalam imajinasi  seperti slide bergerak ringan melayang dengan kecepatan sedang memunculkan hamparan kebun teh hijau seluas mata memandang, batang -- batang kayu tua yang tegak berwibawa berfungsi sebagai penyisip  kece' peneduh  di beberapa hamparan tetumbuhan bernama pokok -- pokok  teh, terbayang juga gerombolan para pemetik teh yang bertelekung  khas selendang panjang yang dilipat melingkar hampir -- hampir saja menutup wajah bagian dahi dan mata sang pemetik.
Kebun teh Malabar-Pangalengan
Kebun teh Malabar-Pangalengan
Kain penutup sang pemetik berfungsi sebagai  penghidar sengatan sang Surya tampak rerata telah lusuh dan usang  karena digunakan berulang -- ulang di sorot lampu alam yang terik sepanjang ikhtiar pemetikan.

Titik Kumpul Gedung Sate -- Bandung

Jam 15.00 merupakan kesepakatan  dan keputusan bersama bahwa kompasianer Jakarta menanti kompasianer   Bandung berkumpul di Gedung Sate.

Berangsur satu demi satu kompasianer Bandung dari berbagai arah  hadir  di titik samping bekas kantor gubernur jenderal Belanda dahulu kala, diantara panas, debu, kemacetan lalu lintas dan semerawutnya pusat kota.

Adapun sebagian kompasianer Jakarta  di pandu Mbak Muthi'ah mengisi waktu menunggu dengan cara kulineran, menuju museum geologi, museun pos dan menyaksikan hijaunya taman lansia.

Kebun teh Malabar (pict: @Boris)
Kebun teh Malabar (pict: @Boris)
Kebun teh Malabar (pict: @andrimastiyanto)
Kebun teh Malabar (pict: @andrimastiyanto)
Sungguh menakjubkan pada akhirnya  dititik kumpul Gedung Sate peninggalan kokoh penjajah Belanda yang di bangun 27 Juli 1920maka Rabu  16 Agustus 2017  admin Kompasiana Jakarta Mas  Rizki, Mbak  Nindy dan Mbak  Dewi dengan penuh kesabaran menanti juga  menghimpun Kompasianer Bandung sehingga kami bisa berangkat dan masing -- masing berdoa mohon keselamatan pada-Nya.

Bismillahimajreha Wamursaha... inna Robbi wa ghafururrahiim.

Tujuh Belasan 2017  Yang Energik Bersama 4 BUMN

Selama perjalananan Bandung -- Pangalengan kami semua  tidak merasakan indahnya kota  berasyik -- asyik menikmati perjalanan yang super macet khususnya wilayah Bojongsoang sehingga perjalanan normal biasanya hanya menempuh waktu  dua jam saja kini terasa istimewa menempuh empat jam.

Malam menunjukkan waktu sekitar jam 21.00 kami di arahkan  agar  menuju wisma Citere untuk makan malam dan  melangsungkan  acara malam keakraban bersama para Dirut BUMN  Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo dan Dirut Bio Farma berkumpul juga  siswa -- siswi Mengenal Nusantara (SMN).

Reportase lengkap bisa kita simak dari Bang Gapey R. Fadhli sebagai penyabet award bergengsi Best In Citizen Journalism 2015 Kompasiana, sebagaimana dapat kita simak :

Hut RI 72 Sinergi BUMN  Hapus Stigma Sapi Perah

am yang teramat dingin mengisyaratkan bahwa wilayah perkebunan Malabar ini cukup tinggi sebagaimana dilansir petatempatwisata.com. ketinggian kebun teh Pangalengan adalah  1550 m diatas permukaan laut dengan suhu 16 -- 26 derajat celcius

usai kegiatan kami menuju penginapan beristirahat yang sesungguhnya karena keletihan sepanjang perjalanan melenakan kami hingga terbangun menjelang subuh.

Bahagia di kebun teh milik orang (pict:@AlJohan)
Bahagia di kebun teh milik orang (pict:@AlJohan)
singgah ke ortu Kang Haris Maulana (pict:@AlJohan)
singgah ke ortu Kang Haris Maulana (pict:@AlJohan)
Ba'da shubuh di penginapan sederhana  penulis satu kamar dengan Kompasianers Of The Years 2012 Ambu Maria G. Soemitro  dengan jumlah followers 2,439   ( senior..  sekali Ambu  #hormatdansalim pada tetua ! )

bersiap -- siap untuk mengikuti upacara bendera 17 -- an dengan 1000 warga,  dan empat BUMN,  sarapan dan chek out dari penginapan langsung usai upacara kembali ke Bandung.

Saat sarapan tidak sempat membayangkan bahwa kami kemudian dibagi kacu merah putih seperti anggota pramuka jaman dahulu,  merasa terpanggil atau mungkin lebih tepatnya tersentuh  saja rasa  nasionalisme kami dengan mendeskripsikan sikap seakan para lasykar perang yang hendak melakukan gerilya dalam satu pertempuran.

Kegembiraan itu  tampak merona pada semua wajah  kompasianer yang telah mendapatkan si merah putih, tampilan kami yang disiagakan sejak awal agar menggunakan blus atasan putih dan celana panjang formal berwarna hitam sungguh membangun rasa yang menggelora terpantau dalam limpahan picture dokumen 20 kompasianer plus admin.

Lokasi upacara bagi lebih dari seribu warga dan para dirut BUMN adalah Lapangan Sepak Bola Babakan Tanara kawasan Perkebunan teh milik PT PN VIII Desa Banjarsari Pangalengan Bandung Jawa Barat,  penulis mengintip dari catatan Kang Ali dari sini : 

Cara Sederhana Merayakan Kemerdekaan 17 --an Di Pangalengan

sekeliling lapangan upacara adalah kebun teh hijau yang kami saksikan sempurna ketakjuban, sedangkan lapangan, podium dan booth konsuberhiaskan kain merah putih yang masih berwarna  segar.

Kami kompasianer Jakarta dan Bandung hadir di perkebunan teh milik PT PN VIII Desa Banjarsari Pangalengan mengikuti upacara 17 Agustus yang ke 72 dari awal hingga akhir dengan khidmat dan dapat menangkap niatan lurus BUMN  dengan spirit "Hadir Untuk Negeri".

Bahagiaaa . . . .(pict: @AlJohan)
Bahagiaaa . . . .(pict: @AlJohan)
Melayang ingatan penulis mengajukan pertanyaan mendasar di dalam hati   siapakah pelopor perkebunan teh yang demikian luas hijau royo -- royo dengan penduduk yang lugu terpantau dari tampilan masyarakat dan kreatifitas pertunjukan usai upacara,  kemudian kita dapat menerjemahkan dari wajah -- wajah yang terpancar mereka semua senang dan bahagia.

Mari sejenak menyusuri jejak perkebunan teh Malabar ini.

Rupanya  Karel Albert Rudolf Bosscha  perintis penanaman sehingga menjadi salah satu perkebunan  teh yang berusia 121 tahun ( Agustus 1896 ) https://id.wikipedia.org/wiki/Karel_Albert_Rudolf_Bosscha

Dan Bosscha  salah satu orang Belanda yang begitu peduli terhadap nasib pribumi baik dalam aspek ekonomi (kesejahteraan) demikian aspek pendidikan sehingga ia dalam masa hidupnya  berhasil membangun dua pabrik pengolahan teh yaitu :

  • Pabrik teh Malabar,  yang saat ini dikenal dengan Gedung Olah Raga Gelora Dinamika
  • Pabrik teh Tanara kemudian lebih dikenal sebagai pabrik teh Malabar.

Boscha orang  Belanda yang  sholeh ini juga teramat  peduli akan pendidikan pribumi yang di beberapa wilayah mengalami penindasan namun untuk Pangalengan masyarakatnya mendapat anugerah istimewa disamping pendirian pabrik juga aspek pendidikanpun cukup diperhatikan terutama diprioritaskan bagi putera -- puteri karyawan dan buruh  sehingga pada 1901 didirikan sekolah dasar  bernama  Vervoloog Malabar.

Sekolah dasar ini mengalami beberapa kali perubahan nama,   pada masa kemerdekaan menjadi  Sekolah Rendah kembali berubah menjadi Sekolah Rakyat (SR) yang pada akhirnya menjadi Sekolah Dasar Negeri II hingga kini.

Bukan semata sejarah tentang Bosscha yang sedemikian peduli pada Malabr hingga iapun wafat di tanah tempat ia tumpahkan cinta,  adalah layak jika kemudian  BUMN bersatu mengalirkan dana CSR pada masyarakat dalam bentuk bantuan bedah rumah veteran, renovasi masjid dsb. Yuk simak tulisan Maria G. Soemitro :

BUMN Kerja Bersama Membangun Jabar Bak 10 Anak Panah Yang Disatukan

Ada semacam keyakinan penulis bahwa upacara 17 -- an dengan lebih dari 1000 warga di kebun teh dan undangan Mandiri rasanya hanya seumur hidup sekali saja apalagi dengan 19 kompasianers plus tiga admin yang kece' sungguh pengalaman yang langka dan ajaib.

Alhamdulillah Gusti..!

Yuk seseruan kesini . . .

Menikmati Keseruan Acara Kompasiana Visit Hut RI ke 72 Bersama BUMN Di Pangalengan

Tradisi  Minum Teh Masyarakat Jabar

Jika Bapak Aki dan Emak Nini minum teh tawar jarang sekali memakai gula putih begitupun gula merah atau berbagai jenis gula lainnya yang kemudian menular pada anak cucunya,  dan tentu berbeda dengan kebiasaan sebagian masyarakat Yogyakarta yang selalu memakai gula batu kemudian penulis dapat menelusuri tradisi "nyaneut"  di kaki gunung Cikuray.

Nyaneut adalah salah satu tradisi minum teh dengan mencampurkan potongan gula merah dengan tujuan menghangatkan tubuh khusus di wilayah Cigedug Bayongbong.

Kebiasaan ini rupanya sudah ada sejak abad ke 19 yang dimulai oleh salah seorang  ilmuwan bernama  Karel Frederik Hole  yang menanam dan meliki kebun teh daerah Cigedug dan Bayongbong -- Garut.

Paling tidak masyarakat Jawa -- Barat pada umumnya lebih senang meminum teh tawar baik dalam bentuk serbuk, daun atau serbuk, di Yogya minum teh dengan gula batu dan di Garut dengan gula merah.

Bukan improvisasi kemudian ada yang menambahkan dengan lemon, madu dan sebagainya itulah bhineka tunggal ikanya Nusantara dalam tradisi minum teh.

Suatu saat kelak ingin kembali ke Pangalengan menikmati khasnya teh Malabar karena beberapa kali menghirup teh minuman yang kami nikmati tetap teh celup produk sibiru.

*keler  =   semacam botol dengan diameter yang lebih besar

*bubuy  =  biasanya singkong atau ubi ditimbun bara api

*buhun  =  kuno atau jadul

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun