Seorang ibu berkeliling dari satu warung ke warung lainnya mencari gas tabung berbentuk melon nyaris semua warung telah ia singgahi dan di pangkuannya bayi merah mengait puting susu Sang Bunda. Di pikiran Si Ibu tertanam rasa bersalah tiga putra putri kecilnya sejak pagi belum sempat makan.
Entah ke mana lagi ia harus mencari karena benda bernama gas sejak sepuluh hari ini susah ia dapatkan ibarat mencari jarum dalam jerami, demikianpun seorang bapak memandang jalanan hiruk pikuk sejak jam dua siang ia berjaga di pangkalan gas hingga jam lima sore hanya untuk mendapatkan dua tabung gas bagi keluarganya.
Potret kelangkaan gas baru terjadi sore kemarin Selasa (19/10)dan baru sempat direkam, sesaat setelah penulis menenteng satu tabung kosong gas melon menyusuri wilayah Utara Kabupaten Bandung bernama Desa Ciburial hingga wilayah Cisitu yang secara geografis masuk Kotamadya Bandung. Untuk mencari gas ukuran ini, penulis melintasi batas antara Kabupaten dengan Kotamadya berjarak sekitar +15 Km.
Tidak ada rasa kasihan lagi, para pengedar dan agen–agen penjual gas di wilayah Utara kota Bandung meskipun di gudang mereka masih bertumpuk gas siap pakai bahkan informasi yang penulis dapatkan dari komen singkat di instagram saat mengunggah picture salah satu warung di daerah Jajaway, kelangkaannya merambah ke Cicaheum Bandung Timur termasuk Rancamanyar.
Si Abang pemilik warung sempat berang juga menanyakan ada apa ketika kami saling bertemu dan penulis ketahuan membidikkan kamera handphone pada tumpukan melon kosong.
Abang pemilik toko bertanya garang, "Ada apa ini . . . . ada apa ini . . ."
“Ngga, Bang. Cuma lihat gas di mana–mana pada kosong.”
Penulis pasang senyum seulas dan agak tak acuh, hehehe . . . dengan mata penuh curiga memandang penulis, yeaa . . . lumayan juga tidak sampai dihantam.
Menurut penuturan semua ibu–ibu yang penulis jumpai, para pedagang eceran maupun agen tidak akan memberikan (menjual) gas–gas kepada sembarang orang, melainkan musti ke langganan mereka yang dianggap loyal dengan kriteria-kriteria yang ada di otak mereka.
Sang ibu beserta bayinya tidak perlu dikasihani kalau dia hanya sekadar kesulitan seharian itu, karena para agen pun saling berebut dan berlomba bercakar–cakaran saling tidak peduli.
Penulis paham masyarakat kesulitan meskipun tidak bisa menolong mereka, tetapi ada anggota masyarakat hingga berani mengeluarkan uang tiga puluh ribu rupiah demi mendapatkan satu tabung gas yang konon harganya Rp 17.500 di pom bensin Dago. Setali tiga uang, di pom bensin pun kita sebagai masyarakat biasa tidak akan mendapat jatah gas itu karena masing–masing sudah ada pemiliknya, seakan mereka membangun lingkaran sendiri pada masyarakat umum ohno . . . no . . . no (demikian penuturan beberapa anggota masyarakat yang kesulitan mendapat jatah dari pom bensin Dago)
Dalam chit chat antara penulis dengan salah seorang member Blogger Bandung ,Teteh Raisa Hakiem, ia dengan terpaksa membeli gas merk lain yang lebih mahal dikarenakan si melon susah diperoleh. Tentu saja dengan demikian, relatif lebih memudahkan bagi dirinya agar kehidupan keluarga lancar jaya. Bingung juga mengikuti cara ini jika kebanyakan dari masyarakat Kota Bandung berada di bawah garis kemiskinan. Boro–boro beli gas merk baru, menganggarkan uang untuk membeli gas melon saja sudah menyisihkan berhari–hari.
Dan penulis tidak merasa gagal hidup meskipun telah tinggal di Bandung sejak 1965. Inilah Bandung Juara kahiji.
Ciburial, Rabu 20 Oktober 2016 M/19 Muharam 1438 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H