Sejak dari desa Prajekan Bondowoso, saya sudah meniatkan apabila sampai di Surabaya, saya harus mencicipi kuliner wajib. Kuliner tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah rujak cingur kebanggaan masyarakatnya, yang tak kan lekang oleh waktu dan tidak hilang oleh zaman.
Agar kenikmatan rujak cingur tidak sia–sia tanpa makna, penulis mencoba menghubungi salah seorang teman dari Newmont Bootcamp yang mukim di Surabaya untuk menikmati sensasi rasa rujak cingur. Itung-itung sembari kopi darat. Terbayang rasa bahagia apabila bisa jumpa.
Mencoba menghubungi Shouma lewat Waatsapp, saya berencana meminta ia menentukan tempat dan lokasi. Bertemu dan menyantap rasa rujak cingur berjamaah pastinya lebih nikmat.
Rabu tanggal 20 Juli 2016 bada ashar, kami dari arah yang berbeda menuju titik tempat rujak cingur kondang murmer di Jalan Genteng Durasim (nama salah seorang budayawan Surabaya).
Penulis merasakan hijau tanaman yang terpelihara dengan keadaan kota yang resik dan asri. Dari Tambak Sari, saya belok di pertigaan jalan Ambengan, lurus belok kiri masuk jalan Ngemplak, belok kanan menyebrang jembatan Kali Mas masuk belok kiri ke jalan Genteng Muhammadiyah. Lurus hingga melewati Sekolah Perguruan Muhammadiyah, barulah saya berada tepat di pojok pertigaan Rujak Cingur Genteng.
Sehabis melepas rasa kangen, Shouma berkata ringan, “Bund sepertinya rujak cingur Genteng ini laku banget. Barusan tutup saat saya baru nyampe.”
Warung sederhana tersebut memang sedang meringkasi semua peralatannya, mulai dari cowek/ulekan, baskom-baskom dan berbagai pernak–perniknya. Warung rujak cingur Genteng telah menutup sebagian pintunya. Penulis menatap ke seluruh ruang, tak ada sisa buah–buahan maupun sayuran.
Karena kami gagal menyantap rujak cingur di Genteng, kami berbalik arah. Saat hari menjelang maghrib, Shaoma, penulis dan Yunan (anak mantu yang mengantar) memutuskan untuk makan malam di Sate Klopo Ondomohen (tulisan tentang ini akan segera menyusul).
Rujak Cingur Identik dengan Surabaya
Setelah tiga kali gagal akan membeli rujak cingur murah dan merakyat, Yunan, sang mantu asli Surabaya tadi memutuskan untuk membeli rujak cingur yang terkenal kemahalannya dan kelezatannya. Pasalnya ini sudah tiga kali saya mencoba datang, tapi gagal maning dan gagal maning disebabkan selalu kehabisan dan kemudian warungnya tutup.
Kepopuleran rujak cingur khas kuliner Surabaya demikian lekat di benak pencinta olahan masakan lokal karena bumbu dasarnya yang mirip pecel. Tapi tak hanya itu saja. Di dalamnya juga ditambahkan petis (baik petis ikan demikian pula petis udang) lalu ada dua jenis sayuran khas yaitu kangkung dan toge (ada juga yang menambahkan dengan kacang panjang) plus beberapa jenis buah–buahan. Di antaranya adalah mangga muda, bengkoang dan timun. Sebagian ada juga yang menambahnya dengan nanas atau jambu lilin.
Tentu saja kita tidak perlu menebak bumbunya apa saja, ya. Pastinya ada garam, lombok rawit sesuai selera, kacang tanah, serutan pisang muda, petis sedikit gula merah dan goreng bawang putih.
Spesialnya adalah goreng bawang putih. Biasanya jika kita membuat pecel atau lotek bahkan gado–gado menggunakan bawang putih mentah tidak digoreng dahulu. Maka goreng bawang putih ini yang juga memberikan aura tradisional yang sangat spesifik, belum lagi sedikit jeruk atau lemon. Sungguh segarnya meyakinkan lidah yang berselera.
Rujak Cingur Penilih Termahal Di Dunia
Pertama sekali mem-publish picture di halaman Facebook yang bertuliskan bahan–bahan rujak cingur tanpa bumbu, saya menulis status nakal seperti ini:
Rujak cingur special pisan bukan semata-mata harganya yang muahal hahaha . . . . satu porsi seratus ribeng.
Harga patokan satu porsi rujak cingur Tachik Otu adalah 100 ribu rupiah tentu saja sangat wach... bingits. Boleh juga kita katakan masya Allah untuk rakyat kebanyakan karena di kampung–kampung masih ada rujak cingur yang 5000 rupiah (bisa jadi cingurnya cuma satu iris saja!). Harganya yang mahal itu sungguh membuat geleng–geleng kepala dan amazing!!
Beberapa komen yang masuk di antaranya dari Mbak Avy sendiri yang memperkuat status tersebut memang rujak cingur Jalan Achmad Jais No 40, Penilih, Surabaya itu mahal. Beliau mengetahui sejak harganya masih sekitar Rp 25.000,- dan itu cukup mahal baginya. Puteri Jawa ini mengungkapkan dengan jujur bahwa dirinya akan membuatnya berpikir karena harganya yang mahal.
Maka pada Hari Kamis 16 Syawwal 1437 H / 21 Juli 2016 M, rujak cingur yang mahal tadi dibawakan oleh mantu disertai dengan bon seharga 65 ribu diiringi kalimat, “Bunda harganya turun lho... Biasanya seratus ribu ini sekarang harganya segini.”
Begitulah kemudian penulis dengan puteri keempat menjelajah rasa rujak cingur termahal di dunia sambil tertawa kecil memikirkan harganya. Dengan uang segitu bisa membeli beras setengah karung dengan kualitas lumayan.
Ada beberapa cerita bahwa rujak cingur terkenal ini bukan hanya langganan tokoh nasional, bahkan turis–turis mancanegara sengaja datang ke Surabaya hanya untuk sekadar mampir menyantap rujak cingur enak dengan harga mahal itu. Setelahnya, mereka kembali ke tempat asalnya seperti Malaysia dan Singapore.
Kisah ini, merupakan pengalaman langka. Bagi penulis, kesempatan menyantap rujak cingur ini mungkin hanya sekali seumur hidup. Wow sekali.
Tambak Wedi Barat Surabaya
19 Syawwal 1437 H
24 Juli 2016 M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H