Mohon tunggu...
Intan Rosmadewi
Intan Rosmadewi Mohon Tunggu... Guru SMP - Pengajar

Pengajar, Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain ; sesungguhnya adalah kebaikan untuk diri kita sendiri QS. Isra' ( 17 ) : 7

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Fiksi Kuliner] Nostalgi Coto Makassar Dari Kepulauan Selayar

6 Juni 2016   22:41 Diperbarui: 6 Juni 2016   22:53 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Intan Rosmadewi -  no 36   

Angin laut seakan sedikit memberi kesejukan diudara panas menyengat, aroma bau amis muncul sejenak saja dan pergi menghilang akan tetapi angin kembali membawa aroma ikan laut yang baru saja turun dari kapal nelayan.

Bau amis terkadang terasa seperti bau garam yang biasa kita gunakan berhari – hari hingga kini.

Laut biru dan langit biru sesama biru di lerai suara mesin menderu – deru melawan ombak, pemandangan yang terasa indah dan sungguh sangat berbeda dengan alam pegunungan yang rimbun pepohonan demi pepohonan saling berdialog segar dengan alam sekitar.

Ketika kapal kecil bermuatan sekitar lebih kurang 50 orang ini mendekati pantai, disambut jejeran nyiur yang sering di dengungkan beberapa lagu pujaan pada negeri berlimpah karunia dan nikmat – Nya.

Nikmatnya . . . .

Adalah terselamatkannya Daeng Udji oleh kapal nelayan dari salah satu pulau . . . di sekitaran perairan kepulauan Selayar, tubuhnya telah berlumut sarung compang camping kebaya yang ia gunakan tanpa bentuk dan rupa, kutang dalamnya hijau bercampur lumpur disempurnakan dengan aroma ikan laut yang telah membusuk, semua keluarga tak peduli itu dipeluknya Daeng Udji dengan perasaan syukur dan bungah yang tiada terhingga.

Soto Makassar
Soto Makassar
Lebih satu bulan Daeng Udji terapung – apung di laut tanpa pertolong manusia, karena aturan main yang diberlakukan Nya ia selamat kendati hanya berpegang erat pada sebilah kayu berukuran sekitar dua meter, ia berkisah sehari – hari berusaha memakan ikan – ikan kecil yang lewat di depan matanya pas di permukaan air.

Meskipun dalam dirinya muncul fikiran ganjil dan senyatanya demikian seakan – akan ia mirip sejenis kura – kura atau binatang air pemangsa lainnya, bila hujan tiba Daeng Udji meminum air tawar secara gratis meskipun dengan cara unik dan berbeda.

Mengupas Bawang Merah

Daeng Udji kini di hadapanku . . . .

Bawang merah yang masih setengah kilogram ia kupas dengan cekatan satu demi satu tanpa merasa pedih di mata santai sambil bertutur kangen pada ponakannya.

Daeng Udji duduk diatas dingklik usang menggunakan pisau yang paling tajam, katanya “pisau tajam mempercepat semua pekerjaan”.

Dengan kebaya abu – abu dan kain panjang berwarna agak mendekati donker, busananya lebih mencitrakan wanita Jawa ketimbang perempuan dari Pulau Selayar.

Memarut Lengkuas Muda

Lengkuas yang berwarna merah muda agak sedikit kecoklatan, aroma unik dan khusus tidak semua kaum perempuan dapat mengenalnya secara baik dan tidak semua perempuan masa kini memahami khasiat serta pemanfaatannya.

Daeng Udji memarut lengkuas dengan santai dan diselingi beberapa petunjuk praktis cara memasak coto Makassar yang enak juga bercita rasa tradisi khas dan tiada berhenti berkisah tentang kehidupan di laut mengapung tanpa harapan.

Meskipun aku selayaknya memanggil Tante kepada dia, akan tetapi hampir semua merasa akrab dengan panggilan Daeng Udji kadang ia menegur dengan dialek aneh orang – orang Selayar “kau itu Intan . . . panggilan yang benar adalah Tante padaku bukan mi . . . . kau panggil Daeng”.

Aku sepakat dengan ucapan Daeng Udji yang berusia sekitar enam puluh lima tahun dengan tubuh yang tinggi sedikit kekar, sangat ramah pada semua keluarga yang ia kenal bahkan kali inipun ia mengajari aku cara membuat coto dalaman sapi yang terdiri dari hati, jantung, babat dan usus sangat terkenal seluruh Nusantara gurihnya coto ditimpali air jeruk yang khusus selalu disiapkan untuk hidangan mirip – mirip rawon, tidak hanya itu coto Makassar tak kan meninggalkan bawang goreng, irisan bawang daun juga taburan daun seledri.

Mengulek Kacang Tanah

Daeng Udji telah menyiapkan sangai kacang tanah sejak kemaren, ia sebelum ke Pasar Baru untuk berbelanja oleh – oleh yang di pesan beberapa keluarga di Selayar masih sempat membersihkan kulit arinya sehingga kacang tanah berwarna agak cream keputih – putihan dan sebagian ada yang agak kecoklatan karana over cook.

Memang Daeng Udji, menyarankan dan langsung mempraktekan bahwa sebaiknya kacang tanah tidak di goreng dengan minyak mengambang banyak, lebih utamakan menyangainya saja dengan satu atau dua sendok minyak goreng karena akan lebih sedikit kering dan memunculkan aroma gosong yang khas untuk masakan daerah Makassar.

Saat mengulek bawang merah, ketumbar, sedikit garam, beberapa butir bawang putih juga parutan lengkuas muda dan kacang sangai dengan tenaga prima mengulek seluruh bumbu yang telah disiapkan.

Aku penasaran tentang mu’jizat yang ia peroleh, “O . . . Daeng, adakah amalan khusus yang menyelamatkan diri Daeng sehingga bisa kembali ke darat dan berkumpul dengan keluarga di Selayar”.

Daeng Udji menghentikan sejenak gerakan mengulek bumbu – bumbu pada coet batu besar dan lebar yang biasa kami gunakan untuk membuat lotek ukuran 10 orang, ia memandang wajahku tajam dan berusaha mengingat – ngingat apapun yang bisa ia kenang.

“Intan, Tante selayaknya orang muslim lainnya rutin melaksanakan ibadah wajib dan sunnah ada doa – doa istianah mohon pertolongan pada Allah untuk diselamatkan dalam kehidupan di dunia demikianpun di akhirat”.

Sambil melanjutkan pekerjaan dan menyelesaikannya Daeng Udjipun menyempurnakan penjelasannya padaku bahwa keluarganya di Selayar hampir setiap malam melaksanakan Istighotsah, mohon pertolongan pada Allah agar dirinya di selamatkan.

Nabi Muhammad SAW menjelang perang Badar juga melakukan Istighatsah bersama sahabat – sahabatnya mohon kemenangan, maka kisah peperangan itu dimenangkan tentara Islam.

Rempah Dedaunan

Kisah Perang Badar memang sedemikian heroik dan tidak semua orang memahami di balik itu semua, akupun menatap wajah Daeng Udji yang menuntaskan transfer ilmu yang ia lakukan secara ihlas pada ponakannya sesungguhnya diriku tidak menyangka akan berjumpa dengannya dan mendengar langsung dari pelaku kejadian di lautan lepas bertahan hingga satu bulan penuh.

Untuk edisi memakan ikan – ikan mentah di lautanpun buat aku yang tidak mengalaminya, tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya.

Bahkan secara normal jika mengantuk dan ingin tidur cara bertahan memegang kayu merupakan pertanyaan berikut yang ingin kuajukan.

“Sudah selesai kau ulek semua bumbu, di tumis dengan minyak goreng secukupnya maka kasih sedikit air masukkan batang serai dan daun jeruk yang bentuknya seperti angka delapan aromanya lebih segar dan kuat bila dibandingkan dengan daun jeruk yang bentuknya biasa”.

Aku memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Daeng Udji, tentu saja tidak ingin satu langkahpun tertinggal dan berusaha merekamnya secara sempurna dan kelak menyadi salah satu ketrampilang yang menjadi kebanggaan buat mengenang perjuangan Daeng Udji di laut lepas.

Air Beras yang Paling Kental

Sesungguhnya Daeng Udji sudah menyampaika bahwa menggunakan air cucian beras disamping lebih nikmat berbeda dan tidak perlu menggunakan santan, ia segera menyiapka kira – kira 2.5 kg beras pada cucian pertama hanya alakadarnya membuang kotoran yang mengambang di permuakaan air, kemudian pada cucian kedua ia mengaduk – ngaduk beras sehingga airnya seperti warna susu.

Maka saat itulah ia tuangkan kedalam panci yang bersih dan di endapkan sejenak, gabah yang masih mengambang dialirkan dan di buang, air yang mengandung endapan inilah kemudian ia tuangkan kedalam tumis yang mulai mengharum, akibat beberapa rempah seperti daun jeruk yang telah sama – sama ditumis.

Daging,  Ati,  Jantung,  Usus  dan  Babat

Salah satu keunggulan Daeng Udji iapun memperhatikan pola makan beberapa saudara tuanya, bagi mereka yang resiko tinggi disiapkan daging sapi tanpa lemak dan disarankan tidak menyantap, babat, usus, jantung juga hati sapi tentu saja kandungan lemaknya cukup berbahaya.

Finishing dilakukan Daeng Udji di dapur kami yang cukup dengan ventilasi udara semuanya ia atur dengan sangat teliti dan detail.

“Daeng . . . , aku akan mencatat dengan baik dalam ingatan, terima kasih sudah mewariskan resep ini dan pertanyaan terakhir, bagaimana cara tidur Daeng dilautan lepas tanpa alas dan tanpa berbaring”.

Daeng Udji menatapku sabar dan sambil tersenyum menutup hari itu dengan satu ayat yang juga aku kenang selalu akan dirimu Daeng, mengutip satu wahyu Allah SWT ;

“Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat dan Dia menjadikan siang untuk bangun dan berusaha”.

QS. Al Furqaan (25): 47

Suatu saat aku, Ayah dan Ibu berbincang – bincang tentang Daeng Udji yang telah berpulang kehadirat Nya sekitar tahun 86 - an konon menurut Ibunda kehidupan ekonomi keluarga maju pesat setelah ia terombang ambing dilautan, bahkan Daeng Udji sendiri mengatakan bahwa uang itu sering datang entah dari mana ada yang berkirim dan berkirim.

Masa – masa hidup Daeng Udji memang ajaib bahkah sungguh – sungguh ajaib. SUBHANALLAH . . . . .

Bandung, Ciburial 2 Ramadhan 1437 H / 5 Juni 2016 M    


coto Makassar gambar  atas   

coto Makassar gambar bawah   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun