Mohon tunggu...
Intan Rosmadewi
Intan Rosmadewi Mohon Tunggu... Guru SMP - Pengajar

Pengajar, Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain ; sesungguhnya adalah kebaikan untuk diri kita sendiri QS. Isra' ( 17 ) : 7

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bersama Tim Kecil KBandung Mendaki 113 Tangga Membuka Jalur Alternatif Menuju Tebing Kraton,

6 Juli 2015   11:52 Diperbarui: 6 Juli 2015   12:12 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara sedemikian dingin menggigit tulang belulang,  pagi itu Wardah Fajri - -meskipun tampak menggigil kedinginan ia berusaha menghangatkan tubuh dengan merentangkan juga menggerak gerakan kedua tangan seperti orang yang tengah melakukan warming up senam pagi Indonesia, ia dengan ringan dan trengginas menjadi penyemangat rombongan kecil KBandung yang terdiri dari Bang Aswi - - beserta kedua puteri kecilnya, Fajr Muchtar Susanti Hara Jv dan penulis di temani puteri ke empat Mujahidah Raihanah bergerak menanti kendaraan yang akan kami tumpangi menembus gelap ba’da shubuh di Utara Bandung. 

Tujuan utama memang menuju Tebing Kraton (Tekra) dengan arah yang berbeda dan tidak biasanya, mengingat dalam tim kecil kami ada Fajr Muchtar dialah menjadi andalan yang kami semua tidak ragu padanya.

Pada umum – nya pengunjung yang bermaksud menuju TeKra akan melalui jalur rutin yang biasa di lalui pelancong – pelancong domestik, dengan rute :

  • Tahura ( Taman Hutan Raya Ir. Haji Juanda ), Warnang ( Warung Nangka ) ; Warban ( Warung Bandrek ) ; Desa Ciharegem berakhir di TeKra.

Tim kecil KBandung dengan komandan goweser Bang Aswi kali ini akan membuka Jalur tempuh alternatif beserta sang motivator dari admin K Jakarta Mbak Wardah Fajri menyusuri :

  • Tahura ( Taman Hutan Raya Ir. Haji Juanda ), Warnang ( Warung Nangka ) ; Warban ( Warung Bandrek ) ; Desa Pasangrahan, Desa Baru Tunggul, Tanjakan 113 tangga - berakhir di TeKra.

Dengan kehumble – lan Fajar Muchtar kami bergerak menggunakan avanza silver diantara bebatuan dan rumput – rumput membisu diiringi obrolan ringan meninggalkan pondok, dingin Bandung Utara entah berapa derajat berasa menusuk tulang belulang Ibu sepuh semodel penulis.

Arah desa Pasangrahan, Baru Tunggul Tebing Kraton, sepengetahuan penulis belum ada yang menuturkannya dalam artikel berbentuk reportase atau mungkin life Style, jalur ini pun belum sempat penulis tempuh.  

Ya dengan sangat senang hati perjalanan ini kami mulai, membawa bekal ala kadarnya, kue kacang hijau (sadru) dan kue coklat produk rumahan dengan bahan dasar tepung terigu, telor dan mentega plus coklat, penulis yang telah berusia kepala lima plus empat tahun menjadi skala prioritas membawa termos kecil berisi teh tawar seukuran kira – kira dua gelas belimbing, sedangkan bagi yang muda – muda dan kedua puteri Bang Aswi kami siapkan beberapa jenis kerupuk camilan.  

Sesampai di desa Pasanggrahan penulis agak heran dan bertanya – tanya dalam hati saja, karena khawatir salah menduga, wilayah ini telah beberapa kali kami sambangi khususnya SD Pasanggrahan, karena Fajr Muchtar mencoba parkir di depan gedung, padahal itu akan terlalu jauh menuju trek awal perjalanan.

“Lho koq parkir dimari, masih jauh lho . . . sebaik – nya kita cari lapang yang berdekatan dengan rumah penduduk” penulis berkomentar dengan pertimbangan karena hari ahad, dipastikan sekitar gedung SD tidak ada orang dan ini resiko tinggi dalam hal keamanan kendaraan.

Fajr berkomentar pendek : “gitu ya . . .” mobil pun bergerak keatas menuju tanjakan demi tanjakan ke arah Baru Tunggul.

Sebelah kiri kami saksikan rumah – rumah penduduk yang relatif sederhana, meskipun yang sebagian kecilnya lagi tampak mewah, sedang dibelakang rumah adalah tampak jelas bukit – bukit dengan tumbuhan aneka jenis tanaman sayuran diantaranya tomat, kol dan lombok rawit.

Demikianpun sebelah kiri kami membentang keindahan alam dengan tirai kabut turun dan kerlap – kerlip lampu dikejauhan di wilayah cekungan kota Bandung

Melihat lapang yang agak luas dengan diapit kiri kanan rumah penduduk dan pas bagian depan ada warung kecil, penulis berinisiatif turun terlebih dahulu dan bincang ringan dengan Teteh pemilik warung :

“Assalamu’alaikum, Teteh kami dari pondok Babussalam, bisa ikut parkir disini . . . ? mau ke Tebing Kraton . . . “ penyebutan Babussalam adalah password, agar situasi tidak bertele – tele, dan tentu saja si Tetehnya menjawab ramah :

“Ibu, Tebing Kraton magh atuh masih jauh . . . kenapa atuh ngambil arah dari sini . . . ”

dengan dialek bahasa sunda yang sangat khas.

“iya . . . sengaja ni Teh, bawa orang Jakarta . . . biar merasakan panjang perjalanan”  

“euleuh . . . si Ibu meni tega, tebih pisan Ibu” ( dhuh . . . Ibu koq tega ya . . . terlalu jauh ) 

“ya ngga lah . . . semoga bisa menempuhnya dengan lancar, titip ya mobilnya parkir disitu”

“Mangga Ibu . . . mangga”

Saat menempuh perjalanan yang cukup menantang, tentu saja kami memperoleh banyak pengetahuan berdasar pengamatan langsung setelah melewati perjalanan waktu hampir lebih satu jam lebih hingga sampai ke TekRa.

Misteri Anjing Penjaga

Rombongan kecil KBandung, berkali – kali disambut dengan cukup beringas gonggongan anjing – anjing yang sangat menakutkan kami jumpai satu, atau dua anjing penjaga liar bahkan berombongan mereka mendatangi kami secara agresif.

Bang Aswi dan kedua putrinya sering berhenti sambil menakar keberanian, antara melanjutkan perjalanan dengan gonggongan curiga atau standing kalem sebagai salam perkenalan bahwa antara Bang Aswi dan kedua puterinya tidak bermaksud mengusik kehidupan masyarakat sekitar, ala kadarnya saja, “Cuma numpang lewat koq”

Disela – sela gonggongan anjing Bang Aswi sempat berkisah bahwa dirinya sangat “trauma” terhadap anjing, suatu ketika saat bersepeda dikejar anjing dan akan digigit dari situ hatinya trauma.

Si kecil yang neplok di pundak Bang Aswi saat tengah berkisah sambil ketakutan, bertanya spontan : “Bi (Abi), apa sii artinya trauma ?” maka sang ayah pun mengurai kata “trauma” dengan kalimat sederhana yang semoga bisa difahami, tepatnya penulis lupa apa ya . . . uraian Bang Aswi di pagi itu, intinya “trauma, adalah perasaan takut yang lama terpelihara dan terpendam dalam diri kita dan sulit sembuhnya”.

Sepintas dengan uraian Bang Aswi, sepertinya dia tetap memelihara trauma – nya terhadap gonggongan anjing di kampung manapun juga, yang penting ada teman Bang ! minimal jaga image bahwa Abang ngga sempet trauma, pura – pura tidak punya masalah, terhadap lolongan atau gonggongan anjing seberapapun mengerikannya.

Tidak kalah penasaran Wardah Fajri bertanya sangat serius ( ya seram juga berjalan sambil digonggong rombongan anjing !) “Bund, kenapa koq masyarakat sini pada pelihara anjing ?”    

Bunda menjawab serius juga (kami serombongan makhluk pembuka jalan alternatif yang pada ketakutan, cuma semua jaim termasuk Susanti Hara Jv).

Dugaan penulis jika dilihat dari geografis, baik itu desa Pasanggrahan demikianpun Baru Tunggul plus Ciharegeum ketiga desa ini masuk wilayah Tahura, dan dibawah kecamatan Cimenyan.

Cimenyan sangat terkenal tempat bermukimnya aliran agama Sunda Permai, walaupun banyak lagi aliran kebatinan yang berkembang di wilayah ini baik yang disebut “agama karuhun”,   “sunda wiwitan”   agama . . . agama yang mirip kejawen (?). Aliran – Aliran agama Permai ini menjadi catatan dan referensi para juru dakwah atau misionaris karena memang peta dakwah mudah kita peroleh baik dari Kemenag maupun googling.

Penulis sedikit mengenal tentang Sunda Permai yang berkembang diwilayah ini sumbernya dari Pak Kiyai Muchtar Adam yang sangat memahami peta dakwah sekitar Bandung Utara, dan berkembangnya ajaran Sunda Permai menjadi salah satu sebab didirikannya Pondok Pesantren Al Qur’an Babussalam di wilayah Cimenyan ini.

Bahkan dari orang – orang militer yang bergerak sejak 1960 diantaranya Bapak Haji Ishak Buchory Alm. Saat beliau masih hidup dan aktif , penulis sempat berkunjung dan berbincang tentang wilayah Cimenyan khususnya desa Pasangrahan yang oleh beliau disebut “wilayah merah”.

Beliau berkisah bahwa wilayah merah, adalah tempat pelarian anggota ( bahkan beliau menyebutnya gerombolan ) PKI. Sepertinya mereka bermukim disekitar Tebing Kraton dengan imej wilayah merah itu penduduk setempat yang sudah sangat tidak terkait dengan gerakan PKI, merasa tidak nyaman dan salan satu pengamanan alamiah dan murah juga praktis pelihara anjing.

Fungsi anjing saat ini penulis pandang sebagai pengamanan ladang – ladang dan harta benda mereka, kalau pasang satpam tentu tidak praktislah dengan wilayah pertanian yang relatif cukup luas. Bayagkan saja jika tidak memiliki anjing penjaga sekiranya salah seorang penduduk memiliki beberapa jenis tanaman misalnya : kol, tomat, cabe dalam beberapa hari akan siap panen, lha tahu – tahu malam hari nya ada kol buntung entah dari mana, memanen semua jenishasil tani yang mereka kerjakan berbulan – bulan, hanya dalam satu malam ludes tanpa jejak, sakit . . . sakit pasti rugi besar bagi penduduk di seputaran Tekra.

Jalur Rahasia Misteri 113 Tangga

Mister Kandang Ternak

Sebelumnyapun kami tidak mengetahui akan melewati 113 tangga, yang secara inisiatif masing – masing dari kami berusaha menghitung tangga demi tangga termasuk puteri Bang Aswi, saat tangga ke 113 berakhir Mbak Wardah dengan terengah – engah plus bahagia karena pendakian usai, “ogh ya . . . berarti bener Bund tangga yang kita lewat ada 113 cocok perhitungannya.”

Pasti semua rombongan kecil KBandung tidak akan melupakan 113 tangga yang menantang betis, dengkul dan paha aduh . . . kami itu bukan pendaki, hanya kompasianer biasa dan ibu – ibu pula.

Akan tetapi saat menyusuri bukit – bukit mendaki dan menurun yang kadang – kadang sambil diselingi berhenti, untuk sekedar menarik nafas, memandangi sekeliling ciptaan Allah yang sedemikian menakjubkan dan bergantian mengambil gambar, bahkan menjerit berteriak ringan karena terpeleset, bahkan melihat ulat bulu dengan warna hitam pekat berjalan di depan kami itupun akan menjadi bahan perbincangan menarik. Tentu kami hirup udara super segar diseputaran wilayah Tekra yang mempesona, bagi penulis hal yang cukup menggangu dan lekat dalam memori rupanya penduduk sekitar juga banyak yang berternak hewan, diantaranya sapi dan domba.

Ada sekitar 5 kandang, yang sempat kami lewati kalau tidak keliru ingat tiga kandang sapi dan dua kandang domba.

Tentu saja penulis dan rombongan merasa tidak begitu nyaman dengan suasana sekitar saat melewati kandang – kandang tersebut tumpukan limbah sapi yang dibiarkan membusuk dan menggunung berdampak   polusi udara yang tidak terelakan aroma menyengat limbah sapi, menganggu sekali selama dalam perjalan, sempat eneg pengen uek . . . uek ditahan . . . di tahan agar segera lewat . . . dan memaklumkan diri, “toh kita hanya hari ini saja, setelah itu lewat.”

Dan . .. . rombongan KBandung seperti tadi saat kami memulai berjalan, masih tetap beriringan melewati kandang demi kadang dan “no . . . no . . . komen” polusi netra karena tumpukan limbah yang sangat menjijikkan dan polusi udara karena aroma menyengat bergerak hingga puluhan meter dibawa bersama angin pegunungan.

Seperti melewati rumah hantu rombongan KBandung diam tanpa suara, hening tak bicara. ( pastinya batin berperang menahan antara ingin muntah dan ingin selamat segera, kenyataannya aroma limbah tak pernah kami kaji juga biar toh sudah berlalu . . )

Penulis tidak faham apakah kepala desa setempat mengerti atau karena hal itu sudah begitu terbiasa, sehingga penduduk membiarkan limbah dan kandangnya kotor tidak dipelihara, karena kenyataan ini sangat mungkin bisa di rubah jika penduduk diberi penerangan dan penjelasan tentang cara memelihara sapi yang sehat dan cara pengelolaan limbah sapi. Jangankan Cuma sepuluh atau dua puluh ekor sapi bahkan ribuanpun jika masyarakat di ajak untuk membudayakan tentang pentingnya kebersihan kandang sebagaimana beberapa peternakan yang jumlahnya bahkan ribuan kandangnya bisa bersih dan kering, kemudian limbah sapi atau domba diolah dengan teknologi tepat guna.

Satu artikel menarik dari Kang Benny tentang “Elpiji Naik Pesantren Ini Tak Masalah”

Penulis sangat berharap sekali agar Kepala Desa setempat bisa membina masyarakatnya dalam hal pengelaan limbah ternak ini, karena banyak keuntungan dan manfaat bagi petani peternak.

Keuntungan Pengolahan Limbah Sapi dan Domba di Ruang Lingkup Wilayah Tekra :

  1. Limbah diolah menjadi biogas, ini akan menghemat ekonomi keluarga karena gas tidak perlu beli lagi ke kota yang relatif jauh dari wilayah Tekra.
  2. Limbah diolah menghasilkan pupuk cair, yakin jika pemerintah setempat peduli dan turun tangan pupur cairpun akan bermanfaat mengurangi atau menghemat pembelian pupuk untuk lahan pertanian masyarakat sekitar Tekra yang sedemikian luas.
  3. Limbah diolah, aroma tidak sedap hilang polusi lingkungan teratasi. Sehingga jalur alternatif yang kami tempuh terbuka untuk dilewati, bahkan jika pengelolaan ternaknya lebih tercerahkan lagi kambing, domba dan sapi yang benar – benar sehat dan terpelihara akan menjadi poin objek wisata laennya di wilayah Tekra.

Pesona indah Tebing Kraton, paling banyak dimanfaatkan oleh pengunjung untuk selfie atau wefie, apapun itu Tebing Kraton adalah asset kita semua selayaknya menjaga agar anak cucu bangsa yang akan datang bisa menyaksikan keindahan alam seputaran desa Ciharegeum. Pasanggrahan dan Baru Tunggul tanpa dirusak oleh kecerobohan penduduknya.

Sesuai perjanjian, Fajr Muchtar dengan salah seorang santri mengambil kendaraan yang di parkir di Desa Baru Tunggul, kami Bang Aswi, Mbak Wardah Fajri, Susanti Hara juga Euis menuruni Tebing Kraton menuju Warban dan kembali ke Pondok, untuk melanjutkan acara bersama Kang Pepih Nugraha, mengikuti Blogshop.

 

 

Program Munggahan KBandung telah dilaksanakan pada 6 – 7 juni 2015 di Pondok Pesantren Al Qur’an Babussalam, dengan dua acara, ba’da shubuh nyegat sang Mentari di Tebing Kraton, turun dari TekRa jam 10.00 – 12.00 blogshop dengan nara sumber Kang Pepih Nugraha yang kakoncara.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun