Bahkan dari orang – orang militer yang bergerak sejak 1960 diantaranya Bapak Haji Ishak Buchory Alm. Saat beliau masih hidup dan aktif , penulis sempat berkunjung dan berbincang tentang wilayah Cimenyan khususnya desa Pasangrahan yang oleh beliau disebut “wilayah merah”.
Beliau berkisah bahwa wilayah merah, adalah tempat pelarian anggota ( bahkan beliau menyebutnya gerombolan ) PKI. Sepertinya mereka bermukim disekitar Tebing Kraton dengan imej wilayah merah itu penduduk setempat yang sudah sangat tidak terkait dengan gerakan PKI, merasa tidak nyaman dan salan satu pengamanan alamiah dan murah juga praktis pelihara anjing.
Fungsi anjing saat ini penulis pandang sebagai pengamanan ladang – ladang dan harta benda mereka, kalau pasang satpam tentu tidak praktislah dengan wilayah pertanian yang relatif cukup luas. Bayagkan saja jika tidak memiliki anjing penjaga sekiranya salah seorang penduduk memiliki beberapa jenis tanaman misalnya : kol, tomat, cabe dalam beberapa hari akan siap panen, lha tahu – tahu malam hari nya ada kol buntung entah dari mana, memanen semua jenishasil tani yang mereka kerjakan berbulan – bulan, hanya dalam satu malam ludes tanpa jejak, sakit . . . sakit pasti rugi besar bagi penduduk di seputaran Tekra.
Jalur Rahasia Misteri 113 Tangga
Mister Kandang Ternak
Sebelumnyapun kami tidak mengetahui akan melewati 113 tangga, yang secara inisiatif masing – masing dari kami berusaha menghitung tangga demi tangga termasuk puteri Bang Aswi, saat tangga ke 113 berakhir Mbak Wardah dengan terengah – engah plus bahagia karena pendakian usai, “ogh ya . . . berarti bener Bund tangga yang kita lewat ada 113 cocok perhitungannya.”
Pasti semua rombongan kecil KBandung tidak akan melupakan 113 tangga yang menantang betis, dengkul dan paha aduh . . . kami itu bukan pendaki, hanya kompasianer biasa dan ibu – ibu pula.
Akan tetapi saat menyusuri bukit – bukit mendaki dan menurun yang kadang – kadang sambil diselingi berhenti, untuk sekedar menarik nafas, memandangi sekeliling ciptaan Allah yang sedemikian menakjubkan dan bergantian mengambil gambar, bahkan menjerit berteriak ringan karena terpeleset, bahkan melihat ulat bulu dengan warna hitam pekat berjalan di depan kami itupun akan menjadi bahan perbincangan menarik. Tentu kami hirup udara super segar diseputaran wilayah Tekra yang mempesona, bagi penulis hal yang cukup menggangu dan lekat dalam memori rupanya penduduk sekitar juga banyak yang berternak hewan, diantaranya sapi dan domba.
Ada sekitar 5 kandang, yang sempat kami lewati kalau tidak keliru ingat tiga kandang sapi dan dua kandang domba.
Tentu saja penulis dan rombongan merasa tidak begitu nyaman dengan suasana sekitar saat melewati kandang – kandang tersebut tumpukan limbah sapi yang dibiarkan membusuk dan menggunung berdampak polusi udara yang tidak terelakan aroma menyengat limbah sapi, menganggu sekali selama dalam perjalan, sempat eneg pengen uek . . . uek ditahan . . . di tahan agar segera lewat . . . dan memaklumkan diri, “toh kita hanya hari ini saja, setelah itu lewat.”
Dan . .. . rombongan KBandung seperti tadi saat kami memulai berjalan, masih tetap beriringan melewati kandang demi kadang dan “no . . . no . . . komen” polusi netra karena tumpukan limbah yang sangat menjijikkan dan polusi udara karena aroma menyengat bergerak hingga puluhan meter dibawa bersama angin pegunungan.