Stamina seluruh keluarga khususnya di bulan ramadhan menjadi perhatian utama, demikianpun penulis membiasakan minum juice tomat plus 2-3 sendok teh madu, atau hanya sekedar air putih hangat plus madu di variasi dengan jeruk lemon plus madu, atau puding agar – agar di tabur madu.
Gula putih memang sudah sejak lama sangat dihindari dengan berbagai pertimbangan, diantaranya alergi.
Alergi yang di maksudkan penulis adalah, jika air teh, atau kopi menggunakan gula putih buat kondisi penulis sudah langsung saja uhuk . . . uhuk batuk ! lumayan jika tidak berkepanjangan, kalau berlangsung lama tentu sangat menyiksa dan mengganggu aktifitas harian.
Ramadhan tahun ini di kota Bandung hingga hari ke 12 tidak ada hujan sama sekali ditandai dengan keringnya tanah, debu dimana – mana, kulit putera – puteri penulis mengering dan perih, tidak ada jalan yang bisa kita tempuh selain banyak minum air putih, sayur – sayuran juga buah – buah, yang murah saja seperti pisang, pepaya, jeruk atau semangka, hal yang kami lakukan ini minimal berfungsi sebagai detoksifikasi di tubuh kendati shaum itu sendiri sudah berfungsi sebagai general detoks. Â
- Istirahat yang cukup , menghindari tidur bada Shubuh
- Selama bulan ramadhan, penulis tidur paling malam jam 21.30 ; bahkan diusahakan jam 21.00 sudah tidak ada kegiatan macam – macam lagi langsung istirahat, agar tidak terlambat bangun malam.
- Ba’da dzuhur jika tidak ada kegiatan keluar diusahan tidur setengah jam, paling panjang satu jam untuk memulihkan stamina karena bangun sejak jam 3 malam, tidak tidur hingga menjelang shalat dzuhur.
- Penulis, berusaha sepanjang Ramadhan setelah sahur tidak tidur lagi disamping secara pengalaman sering terjadi terasa letih dan lesu, kemungkinan disebabkan kurang oksigen yang didistribusikan ke otak disaat otak butuh suplai banyak, maka
- Jalan – jalan disekitar rumah bada shubuh sekitar 10 – 15 menit saja.
Â
- MENULISLAH . . . WALAU MERASA TIDAK PANDAI !
Setelah ditinggal pergi suami tercinta, jiwa ini seperti ditikam hidup . . . perih yang tidak berkesudahan, setiap waktu, siang dan malam, hampa dan tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya, yang terfikirkan hanya ingin pergi menyusulnya dan berfikir setelah itu tampak tidak akan berasa lagi keperihan, duka – lara yang menghunjam ini.
Dari banyaknya para pelayat yang berkunjung ke pondok, berlimpah informasi dan berlimpah advis baik itu kerabat, sahabat dan para simpatisan, memang ada berbagai cara yang dilakukan para Ibu yang baru ditinggal pergi sang suami saat berkisah di forum takziah diantara yang membuat penulis heran adalah sikap berkunjung ke makam suami setiap hari dan berdialog secara imaginer, konon ini meringankan beban . . . tidak logis namun terbukti menyembu hkan.
Akan tetapi banyak juga yang mengungkap dengan pendekatan spiritual, memperbanyak shalat, shaum dan berdo’a ( yang ini penulis, setuju . . . )
Mengingat wawancara Najwa Shihab dengan Bapak BJ. Habibie di salah satu program Mata Najwa, maka ini menjadi rujukan yang paling berharga dan paling mantap penulis lakukan, yaitu menulis sebagai sarana teraphy psickologis.
Alhamdulillah menulis menjadi salah satu kompensasi yang sangat membantu juga menghibur untuk meringankan beban psyckologis, meskipun yakin tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan lebih, hanya ala kadarnya untuk mengalihkan ingatan yang over terhadap sang kekasih yang telah pergi.
Dengan keterbatasan kemampuan menulis, merayap merambah kata, menyusun paragrap, mencurahkan, dan memfokuskan apa yang tersisa dari ingatan penulis yang ngedrop tajam.