Mohon tunggu...
Rosiy Lawati
Rosiy Lawati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Terkait Waduk Ciawi

22 Februari 2014   19:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih berlanjut dari berita usaha pembebasan tanah di desa-desa yang akan dibangun waduk Ciawi, saya membaca begitu banyak komentar di media yang menghakimi dan terindikasi mem-bully warga di desa-desa tsb hanya karena warga meminta harga jual yang dianggap tidak logis oleh Pemda DKI. Saya ingin memberikan sudut pandang lain yang mungkin berharga untuk dipertimbangkan.

Sebagian besar dari kita pernah mengalami proses pembuatan keputusan untuk pindah ke tempat lain entah karena alasan pribadi ataupun dinas. Kita juga pernah mengalami kerepotan mencari rumah tempat tinggal, sekolah buat putra-putri, mengangkut barang dari rumah lama ke rumah baru dll. Terkadang kerepotan karena pindahan rumah bisa membuat kita stress apalagi jika kita tidak berhasil beradaptasi dengan lingkungan baru.

Bandingkan pengalaman kita itu dengan pengalaman yang akan dialami oleh warga di desa-desa tsb. Jika kita ada di posisi mereka yang diminta pindah untuk kepentingan orang banyak (istilah halus dari dipaksa pindah), apa yang akan kita alami?.

Kalo kita cuma punya villa di desa tsb ya gampang tinggal kita negosiasi harga dan setelah sepakat, transaksi jual beli terjadi dan kita tinggal cari atau bangun villa baru di daerah lain secara perlahan-lahan.

Kalo kita adalah pemilik tanah yang sudah SHM dan professi kita adalah petani atau peternak, kita punya masalah baru selain mencari rumah untuk tempat tinggal atau sekolah untuk anak. Kenapa begitu? Karena kita dipaksa untuk memikirkan apa yang akan kita lakukan untuk mencari nafkah nanti. Kalo tetap ingin jadi petani atau peternak, artinya kita harus mencari lahan yang kurang lebih sama struktur tanahnya dengan tanah kita yang akan dijual. Hal ini tidak mudah mengingat penawaran tanah yang sesuai dengan keinginan kita belum tentu ada. Kalo kita memutuskan tidak menjadi petani atau peternak lagi artinya adalah 100% perubahan gaya hidup. Istilahnya yang tiap hari rutin ke sawah atau ladang, nantinya harus berubah.

Banyak yang bisa beradaptasi dengan perubahan gaya hidup tsb tapi banyak juga yang menjadi berantakan keluarganya dan mungkin menderita stress berlebihan. Biasakan kalo keluar dari habitatnya banyak yang mati karena tidak bisa beradaptasi (kalo pakai bahasa biologi).

Kalo kita hanya petani garap yang tidak punya tanah di desa tsb dan mengandalkan nafkah dari kerjasama dengan yang punya tanah, bagaimana dengan nasib kita? Ke mana kita harus pindah kalo kita tidak punya uang? Bagaimana kita mencari nafkah sesuap nasi kalo tanahnya dijual si pemilik ke Pemda DKI?

Saya gak punya tanah dan gak punya kenalan di desa-desa yang akan dibangun waduk Ciawi tsb. Istilahnya no conflict of interests. Hanya saja saya concern dengan nasib penduduk di desa-desa tsb jika memang tidak dipikirkan kepentingan hidup mereka.

Apa manfaatnya kepentingan orang banyak (Jakarta) jika harus mengorbankan kepentingan orang sedikit (mungkin orang miskin dalam artian petani garap yang tidak punya tanah)?

Bila kepentingan warga di desa-desa tsb diabaikan bukankah itu termasuk pelanggaran sila ke lima dari Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun