Mohon tunggu...
Rosita Primasari
Rosita Primasari Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi Bangsa Semakin Menyeramkan

7 Mei 2012   01:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:37 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu persoalan yang menyita perhatian para guru di zaman kini adalah ketika siswanya terlibat perkelahian atau tawuran. Maraknya aksi tawuran antar anak sekolah seperti tak mengherankan lagi. Nampaknya sudah menjadi sesuatu yang biasa dikalangan generasi muda. Tak jarang melihat mereka beramai-ramai berkumpul disuatu tempat daripada menjumpai mereka di perpustakaan. Pergaulan yang terlalu bebas menyebabkan anak sekolah menjadi tidak terkendali. Agresifitas remaja kiranya terus melonjak naik. Adanya demokrasi yang terlewat batas serta kebebasan berkreasi yang disalah artikan menjadi salah satu penyebabnya.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2011 ini merosot tajam, jauh bila dibandingkan dengan Negara Singapura, Brunei, Malaysia dan Filipina. Indonesia berada diurutan kelima di ASEAN. IPM merupakan alat untuk mengukur kualitas sumber daya manusia suatu negara. IPM menjadi dasar pengelompokan Negara maju maupun Negara berkembang melalui pengukuran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

IPM Indonesia merosot tajam pada bidang pendidikan. Pantas saja bila di ibukota Jakarta banyak anak usia sekolah terlantar, menjadi pengemis, pengamen dan pemulung. Anak berseragam sekolah pun banyak yang hanya nongkrong-nongkrong dan tawuran dijalan. Rasanya tidak pantas bila para pejabat tinggi ramai-ramai mengadakan study banding keluar negeri apabila kenyataannya jauh terbalik dan tak ada hasil. Apakah diluar negeri ada anak sekolah yang melempar batu dan bertindak anarkis? Pemerintah seperti tidak peduli terhadap dunia pendidikan yang sekarang ini. Akan dibawa kemanakah generasi bangsa ini bila kenyataan di dunia pendidikan terasa begitu pahit.

Tidak adanya perhatian dan ketegasan sikap dari pemerintah, para pendidik dan orang tua kepada anak sekolah menyebabkan maraknya aksi tawuran yang terjadi. Apabila aksi tawuran ini dibiarkan secara terus-menerus, apa yang akan terjadi pada generasi bangsa ini? Akankah akan timbul aksi yang lebih menyeramkan lagi seperti aksi John Kei atau aksi pembantaian yang dilakukan oleh geng motor? Maraknya aksi tawuran yang kecil akan menimbulkan kekacauan yang besar nantinya. Apabila aksi tawuran terjadi saat ini, maka tidak heran bila suatu saat nanti akan timbul aksi premanisme.

Aksi premanisme membuat tidak ada lagi rasa saling menghormati dan menyayangi. Aksi ini menimbulkan adanya pemisahan satu kelompok terhadap kelompok lain yang biasa disebut “Geng”. Dalam sebuah kelompok atau geng ini, yang ada hanyalah rasa setiakawan yang sungguh berbeda dari arti yang sebenarnya. Setia pada kawan yang satu geng, membenci kawan yang berbeda geng. Alasan yang muncul dari para siswa yang terlibat biasanya bernada klise seperti membela teman, disahului, membela diri, atau merasa dendam. Penyebab tersembunyi banyak tawuran adalah rasa bermusuhan yang diwariskan secara turun-temurun dari angkatan ke angkatan berikutnya. Hal ini menimbulkan mitos seolah-olah siswa dari sekolah tertentu adalah musuh bebuyutan dari sekolahnya.

Maka tak jarang kericuhan terjadi pada dua anak saja namun dampaknya melibatkan masing-masing kelompok sehingga terjadi tawuran. Padahal tawuran disebabkan hal kecil seperti salah paham, namun kerusuhan yang terjadi dapat memusnahkan benda-benda disekelilingnya bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang. Masyarakat sekitar dan para aparat terkadang tidak bisa menghentikan aksi ini dan malah ikut terkena imbasnya. Tak jarang pula pihak sekolah yang kewibawaannya nyaris sirna di depan siswanya karena tidak dapat menghentikan tawuran.

Seperti yang terjadi di Palu, siswa SD terlibat tawuran antar sekolah disebabkan karena tidak terima kekalahan dalam pertandingan futsal antar sekolah. Ternyata tidak hanya siswa SMP atau SMA saja tetapi juga siswa SD yang dapat terlibat tawuran. Jika kualitas tawuran semakin meningkat, maka tak heran apabila banyak pihak saling memojokkan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Pihak sekolah akan menuduh orangtua yang tidak peduli lagi, media massa yang menggelar tontonan kekerasan, atau meratapi sistem pendidikan yang telah dijalani. Kurikulum akan dituduh sebagai tidak memerhatikan pengasahan nurani siswa, pelajaran budi pekerti yang tidak lagi diperhatikan, atau semangat pendidikan yang kendur hingga melanggengkan penindasan berantai dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pemerintah sibuk untuk menaikkan standar pendidikan namun tidak memikirkan cara untuk menanggulangi aksi tawuran yang terjadi dan cara untuk membuat siswa betah disekolah. Jangankan betah di sekolah, kenyamanan belajar saja tidak siswa peroleh akibat bangunan sekolah yang sudah mengkhawatirkan akan roboh. Orang tua terlalu sibuk dengan tugasnya untuk mencari uang. Mereka semua tidak memperdulikan dampak psikologi para siswanya. Pada akhirnya anak sekolah terjerumus kedalam dunia yang kelam seperti pergaulan bebas, tawuran bahkan terlibat tindak pidana.

Anak sekolah yang terlibat tawuran mungkin mengalami gangguan emosional dan psikologis. Mereka perlu seseorang yang dapat membimbing mereka sehingga tidak terjerumus kepada demokrasi dan kreasi yang terlewat batas. Prilaku yang cenderung agresif dapat mereka tiru dari prilaku orang tua mereka atau diperoleh dari media elektronik. Keagresifan para remaja tidak terkontrol karena emosinya cenderung tidak stabil. Keagresifan juga disebut sebagai tindakan yang mempunyai maksud untuk merugikan dengan mencederai orang lain dan akan berakibat fatal. Sikap agresif akan muncul apabila seseorang tidak mendapatkan kepuasan pada tingkat tertentu, maka dia akan cenderung berprilaku melawan atau menyerang apa yang dianggapnya hambatan bagi pencapaian kepuasan tersebut.

Hal ini diakibatkan tidak adanya perhatian dari orang tua dan tidak harmonisnya hubungan orang tua dan anak. Kualitas hubungan dengan orang tua merupakan kualitas komunikasi antarpribadi yang terbangun dalam kehidupan sehari-hari di rumah.kualitas komunikasi ini akan memberikan pengaruh besar terhadap perilaku individu yang dapat menimbulkan gejala alienasi. Alienasi merupakan gejala dimana orang merasa terasing, kesepian dan kehilangan keakraban.

Faktor lingkungan juga ikut berpengaruh terhadap kondisi psikologis para remaja. Lingkungan yang baik akan membuat ketenangan dan lingkungan yang buruk akan membuat stress. Kualitas yang dipengaruhi oleh tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, akan dapat memunculkan kondisi yang menekan mutu hidup sehingga dapat mempengaruhi mental.

Perlu adanya upaya untuk membentuk suatu konsep diri remaja yang positif. Pendidik dapat melakukan beberapa cara yaitu melalui pembelajaran disekolah yang kreatif. Pemerintah dan para pendidik perlu memikirkan dan menetapkan solusi agar siswa betah di sekolah. Menjadikan generasi bangsa yang lebih cerdas dan positif menjadi tugas para pendidik, pemerintah dan orang tua. Sekolah harus mampu menciptakan generasi muda yang mandiri, kreatif, dan berprestasi. Tujuannya adalah untuk menjadikan generasi bangsa Indonesia lebih maju sehingga Indonesia dapat disandingkan dengan negara-negara maju di dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun