Mohon tunggu...
Rosi Rosyani
Rosi Rosyani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Saya memulai study S1-PGPAUD sejak 2021 dan memiliki hobi menulis, baik itu berupa tulisan ilmiah maupun fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dia Baik, tapi Kenapa Tiba-tiba Bunuh Dir1?

24 Oktober 2023   08:17 Diperbarui: 24 Oktober 2023   08:43 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Aku tahu itu salah, tapi aku 'tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, lebih baik aku tidak ada saja!

Kamu mungkin sudah geram dengan pernyataan di atas. Barangkali itu lah yang dirasakan oleh orang-orang yang terlihat 'manusia baik' di luar, tapi ternyata diam-diam menghilangkan diri. Jika kamu tidak setuju, mari kita diskusi. Ini hanya opini pribadi, kamu boleh menyanggahnya.

Coba bayangkan, ada orang yang menyesal kuliah karena terpaksa mendapatkan ilmu-ilmu baru yang berhasil mengubah hampir seluruh pandangannya pada dunia, bahkan pada keluarganya sendiri. Sebut saja dia 'Chaca', mahasiswa Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini. Mulanya, dia acap kali menghindar saat dihadapkan pada anak kecil. 

Muak dengan tangisannya, rewel, dan bandel.

Begitulah kira-kira alasannya. Namun, seiring waktu justru Chaca mulai tertarik pada perilaku anak. Kenapa anak itu pendiam? Apa yang dia pikirkan? Apa tidak tertarik bermain bersama teman-temannya? Amat banyak pertanyaan yang mengalir apa adanya dalam pikiran. Kenapa anak yang lain bertingkah sebaliknya? Mengapa begitu lincah berlarian? Apa tidak capek bermain seharian? Begitulah kebodohan Chaca jika diuraikan. 

Setelah melalui study-nya, Chaca baru paham bahwa banyak faktor yang menyebabkan anak berperilaku sedemikian rupa. Namun, kita 'tak akan membahasnya sedalam itu. Mari kita uraikan melalui masa kecil seorang Chaca.

Kembali pada 16 tahun silam, Chaca adalah anak periang yang amat disayang ayah dan ibu. Dia tumbuh dengan pribadi yang hangat selayaknya pribadi sang ayah. Ibunya sehat dan bahagia. Bahkan, 2 tahun selanjutnya Chaca memiliki adik mungil yang sama cantiknya. Cerita pada masa ini memang cukup membosankan karena Chaca 'tak banyak mengingat masalah apa yang ia alami di masa itu. 

Namun, mari kita beranjak pada pada masa dimulainya pribadi Chaca yang menjadi pendiam. Ayahnya tiada - meninggal - ibunya harus bertahan seorang diri. Pertahanan sang ibu diekspresikan dengan didikan yang keras. Bentakan-bentakan mulai menjadi sound pengiring pagi hari sampai malam berganti. Chaca dididik untuk mandiri. Melakukan hampir seluruh kegiatannya seorang diri. Momen paling miris adalah pembagian rapor di sekolah yang 'tak pernah sekali pun dibawa langsung oleh ibunya, padahal selalu mendapati peringkat 1. Minim apresiasi, karena tidak ada 'uangnya'. 

Hingga Chaca berhasil kuliah pun berkat sana-sini mencari beasiswa. Tibalah pada hari ini. Chaca benar-benar pribadi yang pendiam di rumah. Namun, sayangnya semakin diam, semakin dia depresi. Banyak hal-hal di keluarganya yang bertentangan dengan pemikiran sempitnya. Ah, iya! Chaca memiliki ayah baru, cukup baik, tapi ia tidak menyukai pola asuh yang diterapkan dalam keluarganya. 

Ayah adalah orang paling benar dan bisa seenaknya mengintimidasi anak ketika berbuat kesalahan.

Kembali lagi pada statement awal bahwa Chaca mulai tertarik pada perilaku anak, tapi - tidak - justru kini ialah yang merasa sangat peduli pada anak. Hatinya sensitif, mudah menangis jika matanya menangkap bentuk ketidakadilan pada anak, seberapa kecilpun itu. Pernah sekali Chaca benar-benar merasa muak pada ayah dan ibunya sendiri. Peran ibu harusnya menengahi, bukan memihak satu saja. 

Suami adalah segalanya, mau itu benar atau salah, pendapat anak 'takkan didengar.

Chaca tentu saja kecewa pada sang ibu yang amat ia hormati sejak kecil. Namun, lagi-lagi karena Chaca tahu ada yang salah dengan yang ibu lakukan, ia bingung harus bagaimana. Di sisi lain, Chaca memiliki banyak adik yang masih kecil. Mereka dididik dengan lembut, tapi secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai boneka untuk 'disuruh-suruh' saja. Sebagai seorang kakak, Chaca berusaha berbicara untuk berhenti bersikap seperti itu pada adik-adiknya. Namun, lagi-lagi, dibungkam. 

Cha, kamu kenapa sih ngeluh capek mulu, depresi mulu, hidup tuh bawa santai aja kali!

Itulah celoteh teman Chaca yang membuat dirinya semakin merasa sendiri. Jika kamu perhatikan, sebetulnya masalah Chaca itu simpel. Ia hanya 'tak tahan dengan ketidaksesuaian keadaan di rumah dengan pandangannya tentang keluarga. Ia merasa, definisi keluarga itu bukan seperti 'itu'. 

Itu saja. Chaca ingin mengubah keadaan di keluarganya lebih baik, tapi ia tidak mampu karena hanya sendiri. Maka beginilah jadinya, ia putus asa, ta tahu harus berbuat apa, dan akhirnya...

Lebih baik aku tidak ada saja!

Padahal, Chaca adalah kakak yang baik. Dia bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan adik-adiknya. Dia pun anak yang baik, tidak muluk-muluk, dan berprestasi dengan kakinya sendiri. Satu lagi, Chaca merupakan teman yang bisa diandalkan, tapi malah sering dimanfaatkan juga. 

Dari sinilah, persepsi terkait 'Orang Baik, tapi Tiba-tiba Bun*h Dir1' itu muncul. Bagaimana menurut kamu? Mari berdiskusi hangat di komentar!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun