Mohon tunggu...
Rosikhotul Marfuah
Rosikhotul Marfuah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa di salah satu Universitas swasta Surabaya dengan prodi Pend.Bahasa dan Sastra Indonesia. saya memiliki Hobi menulis dan juga membaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lentera

4 Januari 2024   19:26 Diperbarui: 4 Januari 2024   20:13 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Marni terdiam “betapa kejamnya DI?” Batinnya.

“ Lalu Mbah?”

“Kondisi saat itu sedang rancuh, Darma tidak bisa melakukan perlawanan, bahkan istrinya Surastri tak mampu menolongnya. Dia ditendang, dipukul, disiksa dengan berbagai cara hanya untuk memuaskan ego mereka. Darma diminta mengakui kesalahan yang dia rasa tidak pernah dia lakukan. Hingga Darma bilang.“Demi Allah bahkan hingga Akhir khayatku sekalipun aku tak akan pernah mengakui sesuatu hal yang tidak pernah aku lakukakan” ucapnya. Sedangkan Surastri, dia mengamuk dan diludahinya wajah para tentara itu. Si mbah juga tak bisa menolong kala itu nduk, kerono kita iki wong cilik saben obah mesti salah.”

Marni menelan Salivanya, dia memang pernah mendengar sedikit cerita tentang DI tapi dia tak begitu tertarik dengan cerita itu, siapa yang menyangka bahwa si mbahnya ini dulu ternyata juga menjadi salah satu saksi kekejaman DI.

“Lalu bagaimana akhirnya mbah? Apa Darma selamat?”

Mbah Prapto menggeleng “ Darma di tembak dan mati, sedangkan istrinya dia pingsan di hadapan jasad suaminya. Sangat miris nduk walaupun begitu, tentara DI masih sempat berbicara dan mengancam.

“ KALIAN LIHAT! SIAPAPUN YANG BERANI MENGHIANATIKU, AKAN BERAKHIR SEPERTI BAJINGAN INI!” ucap tentara DI dengan lantang.

Beberapa orang merasa takut tapi si mbah ini, tidak takut. Karena mbah tidak mendukung siapa-siapa. Seminggu setelah kejadian itu, mbah ajak mbokmu untuk pindah ke jawa tengah, karena merasa disana sudah tak aman. Seperti yang kau tau, kita hidup berhasil bertahan hidup disini hingga saat ini.” Mbah Prapto tersenyum, matanya terlihat berlinang. Marni tau bahwa kejadian itu telah menyisakan luka dalam hati si mbah atau barangkali sosok Darma yang mampu menyentuh hatinya itu telah menyisakan kesan yang begitu mendalam.

 “ Ya begitulah ndok? Sulitnya dimasa itu, tapi apa kau lihat kita menjadi lemah dan mudah menyerah? Apalagi dizaman sekarang ini. Zamanku dan zamanmu sudah berbeda. Penjajah di masaku itu manusia, sedangkan penjajah dimasamu saat ini itu ini.” Sambil menunjuk dadanya “hati kamu sendiri” lanjutnya.

Marni terperangah ia masih belum faham maksud dari perkataan si mbah. Ya, begitulah si mbahnya selalu mengajak kita berfikir, berfikir, dan berfikir setiap kali sedang berdiskusi.

“Mbah, ki hajar Dewantara sudah mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan pendidikan bangsa ini. RA Kartini sudah bersusah payah memperjuangkan hak perempuan dalam memperoleh pendidikan di negara ini, Keumalahayati sudah menjadi bukti bahwa perempuan tidak lemah dengan hanya menunggu suaminya pulang dari peperangan dan si mbah sendiri dulu juga ikut berperang to? Lalu apa lagi yang kita masalahkan? Masih perlu bukti apa untuk menunjukkan kemerdekaan mbah? Kan Soekarno sudah bilang kalau rakyat kita sudah merdeka.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun