Rosikhatul Fadilah
rosikhatulf@gmail.com
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sultan Syarif Kasim Riau.Â
Abstract
The purpose of this study was to identify and explore the differences between what dyslexics
feel in movies and what dyslexics actually feel. This research also introduces the differences between dyslexic and autistic people, who look the same but each has unique abilities, symptoms and difficulties in social skills, communication and behavior. This study used a qualitative method using interview techniques as a data collection strategy, qualitative with this approach applying phenomenology/IPA (Interpretative Phenomenologycal Analysis) (The subjects consisted of 2 teenagers who used to have mild autism and dyslexia) The results of this study were that the two informants both had advantages in the academic field, both had normal intelligence and even above average IQ as evidenced by various kinds of achievements. the two informants reach. And also there were some differences in the two informants, for example the first informant who was a former person with mild autism had no difficulty identifying letters and numbers while the second informant who was a former person with dyslexia tended to find it difficult to identify differences between one letter and another letter that had similarities.
Keywords : Dyslexia, Autism and Taare Zameen Par
Pendahuluan
Film Taare Zameen Par merupakan film edukasi Bollywood yang rilis pada 21 Desember 2007, dengan Amole Gupte sebagai penulis naskahnya dan disutradarai oleh Aamir Khan yang sekaligus menjadi pemeran dalam filmnya (Nurlela, 2018). Film ini diangkat dengan tema permasalahan seorang anak pengidap disleksia. Disleksia merupakan gangguan linguistik language disorder yang merupakan salah satu jenis kecerdasan dan berhubungan langsung dengan akademis seseorang yang mana hal itu banyak menjadi pertimbangan orang- orang disekeliling dalam memandang kecerdasan intelektual, cepat tidaknya seorang anak memahami tulisan seakan membuat image tersendiri akan kecerdasannya. Ishaan pemeran utama yang ada didalam film Taare Zameen Par atau Like Stars on Earth memiliki bakar spesial dalam seni harus tertimbun dengan pandangan orang-orang yang mengatakan dia kurang dalam akademis dan terpaksa ibunya mengirimkan ke sekolah yang lebih disiplin agar dapat mengimbangi kecerdasan seperti kakaknya.
Sosialisasi akan berbagai jenis kecerdasan masih kurang di lancarkan, terbukti bahwa masih saja ada orang tua maupun guru yang belum mengenali kecerdasan anak didiknya dan bagaimana penanganan yang tepat saat anak itu terjadi kendala, dengan pembuatan film Taare Zameen Par dapat menjadi ulasan kembali untuk orang tua maupun guru dalam mengenali anaknya. Layaknya sebuah sastra, film menyajikan pesan tersirat pada nilai estetikanya, menjadikan adanya keperluan penulisan detail dalam bentuk jurnal, artikel, konten atau bahkan seminar.Â
Memahami adanya disleksia pada anak dapat mengantisipasi orang tua atau pengajar agar dapat mencari kembali jenis kecerdasan apa yang dimiliki seorang anak Relevans mengetahui disleksia dalam dunia pendidikan sangat dramatis karena dapat merubah cara seorang guru disekolah dalam mengajarkan materi, dengan hal tersebut seorang anak dapat tumbuh percaya diri dan menjadi aset negara yang cemerlang sesuai dengan keadaan kadar kecerdasan masing-masing.Â
Namun pada beberapa gejala pengidap Disleksia mempunyai kemiripan dengan pengidap Autisme, perlu diketahui bahwa disleksia dan autisme bukanlah kondisi yang sama, meskipun keduanya tampak hampir sama. Karena secara sederhana Disleksia adalah gangguan belajar sedangkan Autis adalah gangguan perkembangan(Arum, 2018) Seseorang yang menderita autisme bisa saja menderita disleksia sedangkan seseorang yang menderita disleksia tidak bisa disebut dengan autis. Tetapi perlu diketahui bahwa apabila seseorang hanya terkena disleksia, umumnya tingkat kecerdasan mereka adalah normal, sehingga apabila dilakukan pelatihan dan terapi yang baik, maka orang-orang dengan disleksia dapat berprestasi dengan baik (Devina, 2019).
Pembahasan
Disleksia adalah suatu gangguan proses belajar dimana seseorang mengalami kesulitan membaca, menulis atau mengeja dengan kata lain, disleksia tidak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan seseorang umumnya usia 7-12 tahun (Budiani & Marhaeni, 2018). Mengutip (Sumarlis, 2010) Wakil Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia, di sela acara Dyslexia Awarness di Jakarta, anak disleksia tidak cocok masuk SLB karena sekolah tersebut menampung anak-anak dengan kecerdasan di bawah normal atau IQ di bawah 62. sementara anak disleksia memiliki IQ rata-rata 90 hingga 110. Anak disleksia masih memiliki penalaran yang baik, logika baik, serta kemampuan analisis yang baik. Menurutnya, selama ini orang sering salah persepsi Anak disleksia itu adalah anak yang normal. Yang membedakan, lanjut Vitri, hanyalah cara belajarnya. Banyak tokoh terkenal karena cara berpikir mereka unik dan tidak dapat dipahami semua orang mereka yang dahulunya adalah seorang disleksia walaupun dalam kadar yang berbeda dapat membuktikan pada dunia bahwa kecerdasan itu ada banyak seperti Leonardo da vinci yang kesulitan membaca dan menulis dapat membuat sejarah dengan lukisan terkenalnya yaitu Monalisa dan juga Abihsek Bachchan yang sekarang menjadi actor terkenal. Pablo Picasso dahulunya tidak dapat memahami 'angka 7' dan menyangkanya seperti hidung pamannya yang terbalik menjadi pelukis handal aliran kubisme dan Walt Disney yang mempunyai masalah pada tulisan tangannya juga menorehkan imajinasi jeniusnya pada dunia kartun, Juga terjadi pada Neil Diamond yakni penyanyi populer yang menumpahkan rasa malunya pada lagu lagunya dan begitu pula pada Agatha Christie penulis buku terkenal, bayangkan seorang penulis tidak bisa membaca dan menulis seperti anak kecil? Tutur Ram Shankar Nikumbh dalam film Taare Zameen Par.Â
Oleh karena itu, peran dunia Pendidikan dalam menangani anak yang menderita disleksia sangatlah penting karena kebanyakan orang cenderung sering memandang sebelah mata pada anak disleksia dengan berpikiran bahwa mereka itu autis, idiot, down syndrome dan sebagainya. Padahal, anak-anak disleksia ini hanya memiliki gangguan pada proses belajar mereka akan tetapi masih bisa mengikuti kegiatan belajar di sekolah umum dan tidak perlu bersekolah di SLB sehingga memang dibutuhkan penanganan yang sedikit berbeda seperti pendekatan khusus dari guru dan juga metode pembelajaran yang tidak akan menunjukkan kelemahan anak disleksia di depan umum, seperti meminta mereka membaca di depan kelas atau menyuruh mereka untuk menjawab pertanyaan sulit, dan lain-lain. Hal semacam itu akan menurunkan motivasi dan kepercayaan diri sang anak karena merasa diri mereka sangat rendah (Pratiwi, 2022)
Berbeda dengan anak autis yang diagnosanya antara umur 2-4 tahun. Autis adalah suatu keadaan dimana seorang anak berbuat samaunya sendiri baik secara berpikir maupun berperilaku sedangkan autisme suatu gangguan tumbuh kembang berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal (Effrem Warung, 2020). Terlepas setelah autisme nya dinyatakan sembuh mereka malah mempunyai kemampuan diatas rata rata hampir seperti disleksia. Pada sebuah artikel di salah satu situs web. Kesehatan Indonesia, alodokter.com. Menurut (Agustin, 2021) tes IQ bukan menjadi satu-satunya indikator kecerdasan seseorang karena dinilai tidak adl terhadap orang-orang yang kurang dalam kemampuan kognitif dan dianggap mengesampingkan pentingnya kreativitas, karakter, empati atau kemampuan sosial dan kecerdasan spiritual seseorang adi, tes IQ tidak bisa dijadikan satu-satunya ppatokan dalam menentukan tingkat kecerdasan seseorang Peneliti menjelaskan bahwa kompleksitas otak manusia telah berkembang, sehingga gagasan tentang IQ juga harus disesuaikan atau berubah.Â
Sebagai tenaga pendidik, hal yang tidak kalah penting untuk diketahui adalah macam-macam multiple intelligence atau yang kerap dikenal sebagai kecerdasan majemuk. Istilah multiple intelligence dicetuskan oleh seorang Psikolog Harvard yang juga ahli Pendidikan bernama Howard Gardner (Salsabila, 2022). Pada tahun 1983 Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan manusia bisa dibedakan menjadi beberapa macam (Fadhli, 2022a), Macam-macam kecerdasan tersebut antara lain, Kecerdasan visual-spasial, kecerdasan linguistik-verbal, kecerdasan logis-matematika, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan naturalistik serta kecerdasan Eksistensial (Fadhli, 2022b). Dengan hal tersebut kita dapat menggali potensi diri dan bisa mendalami pembelajaran sesuai minat, talenta dan kebutuhan kita bahkan orang lain yang membutuhkan arahan akan dir mereka sendiri terutama pada anak kecil yang belum paham akan jenis kecerdasan. Hal ini dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki seseorang dalam membangun dirinya.Â
Kesimpulan
Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwasannya anak yang mengidap disleksia dalam film tidaklah sepenuhnya sama dengan anak yang menderita disleksia dalam kehidupan nyata Untuk itu, dalam mengidentifikas kasus disleksia dibutuhkan adanya pendalaman pengetahuan dan wawasan yang luas. Begitu juga dalam mengenali perbedaan antara anak disleksia dan autis yang secara sekilas keduanya memang terlihat sama namun memiliki kemampuan dan kesulitan yang berbeda dalam keterampilan sosial, berkomunikasi dan berperilaku. Oleh karena itu, kasus disleksia dan autis merupakan kasus yang tidak bisa dianggap sepele karena pengkajiannya butuh upaya pengenalan secara mendalam. Dan yang paling penting adalah seseorang tidak bisa menilai begitu saja bahwa anak ini menderita autisme dan anak itu menderita disleksia, karena seseorang yang menderita autisme bisa saja menderita disleksia sedangkan seseorang yang menderita disleksia tidak bisa disebut dengan autis.
Daftar pustaka
Agustin, S. (2021). Hasil Tes IQ Bukan Satu-satunya Penentu Kecerdasan. https://www.alodokter.com/tes-iq-bukan-satu-satunya-penentu-kecerdasan
Arum, S. (2018). Betapa Naif Kita Perihal Down-syndrome, Autis dan Idiot https://www.bulaksumurugm.com/2018/03/21/betapa-naif-kita-perihal-syndrome-autis- dan-idiot/#text=Secara%20sederhana%2C%20autisme%20adalah% 20gangguan down%20syndrome%20adalah%20gangguan%20intelektual
Bagus Gde Pujaastawa, I. (2016). Teknik Wawancara dan Observasi Untuk Pengumpulan Bahan Informasi https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/8fe233c13f4addf4cee15c68d03 8aeb7.pdf
Budiani, L., & Marhaeni. A. (2018). KESULITAN MEMBACA KATA ANAK DISLEKSIA USIA 7-12 TAHUN DI SEKOLAH SDN I SANGSIT KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG BALI. 2(2) https://ejournal- pasca.undiksha.ac.id/index.php/jurnal pendas/article/download/2695/1291
Devina, V. (2019) dr. Velika Devina Image Buat pertanyaan K ko o Perbedaan autis pada anak dengan kondisi disleksia. https://www.alodokter.com/komunitas/topic/autis-dan- disleksia
Effrem Warung. Y. (2020). POLA KALIMAT LISAN DAN TULIS ANAK AUTIS. https://jurnal unikastpaulus ac id/index.php/jpro/article/download/628/378/
Fadhli, R. (20223). 8 Mulnple Intelligence untuk Menilai Kecerdasan Anak. https://www.halodoc.com/artikel/8-multiple-intelligence-untuk-menilai-kecerdasan- anak
Fadhli, R. (20226). Ibu, Ini 9 Kecerdasan Majemuk Anak yang Perlu Dipahami. https://www.halodoc.com/artikel/ibu-mi-9-kecerdasan-majemuk-anak-yang-perlu- dipahami
Hidayat, A (2022). Pengertian Metode Penelitian Kualitatif Menurut Ahli (Pakar) https://www.statistikian.com/2012/10/penelitian-kualitatif html?amp
Mufid Luthfi, M. (2020). Mengenal Apa Itu Metode Penelitian Pengertian, Macam- Macam, dan Contohnya - IDCloudHost
Nurlela, N. (2018). TAARE ZAMEEN PAR YANG MENGALAMI DISLEKSIA https://decode.uai.id/?p12313
Pratiwi, R. (2022). Home Parenting Anak Sekolah RECENT POSTS Strategi Belajar dan Terapi Disleksia Pada Home Kesehatan Mental sParenting Self-Improvement Psikologi, https://www.halopsikolog.com/strategi-belajar-dan-terapi-disleksia/
Salsabila, D. (2022). Dinar Salsabilla facebook instagram | twitter. https://yoursay suara.com/health/2022/02/04/223205/multiple-intellegence-mengenali- macam-macam-kecerdasan-manusia
Smith, J. A., Flowers, P., & Larkin, M. (2009). Interpretative Phenomenological Analysis: Theory, Method and Research, https://www.pdfdrive.com/interpretative- phenomenological-analysis-theory-method-and-research-e187749885 html
Sumarlis, V. (2010) . Masuk SLB, Anak Disleksia Bisa Syok! https://amp kompas.com/edukasi/read/2010/08/02/16273076/masuk-slb-anak-disleksia- bisa-syok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H