Mohon tunggu...
Rosikhatul fadilah
Rosikhatul fadilah Mohon Tunggu... Guru - UIN SUSKA RIAU

Read / ESTP /Motivation

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Autis dengan Disleksia pada Film Taare Zameen Par

4 Januari 2024   19:17 Diperbarui: 4 Januari 2024   19:28 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Namun pada beberapa gejala pengidap Disleksia mempunyai kemiripan dengan pengidap Autisme, perlu diketahui bahwa disleksia dan autisme bukanlah kondisi yang sama, meskipun keduanya tampak hampir sama. Karena secara sederhana Disleksia adalah gangguan belajar sedangkan Autis adalah gangguan perkembangan(Arum, 2018) Seseorang yang menderita autisme bisa saja menderita disleksia sedangkan seseorang yang menderita disleksia tidak bisa disebut dengan autis. Tetapi perlu diketahui bahwa apabila seseorang hanya terkena disleksia, umumnya tingkat kecerdasan mereka adalah normal, sehingga apabila dilakukan pelatihan dan terapi yang baik, maka orang-orang dengan disleksia dapat berprestasi dengan baik (Devina, 2019).

Pembahasan

Disleksia adalah suatu gangguan proses belajar dimana seseorang mengalami kesulitan membaca, menulis atau mengeja dengan kata lain, disleksia tidak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan seseorang umumnya usia 7-12 tahun (Budiani & Marhaeni, 2018). Mengutip (Sumarlis, 2010) Wakil Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia, di sela acara Dyslexia Awarness di Jakarta, anak disleksia tidak cocok masuk SLB karena sekolah tersebut menampung anak-anak dengan kecerdasan di bawah normal atau IQ di bawah 62. sementara anak disleksia memiliki IQ rata-rata 90 hingga 110. Anak disleksia masih memiliki penalaran yang baik, logika baik, serta kemampuan analisis yang baik. Menurutnya, selama ini orang sering salah persepsi Anak disleksia itu adalah anak yang normal. Yang membedakan, lanjut Vitri, hanyalah cara belajarnya. Banyak tokoh terkenal karena cara berpikir mereka unik dan tidak dapat dipahami semua orang mereka yang dahulunya adalah seorang disleksia walaupun dalam kadar yang berbeda dapat membuktikan pada dunia bahwa kecerdasan itu ada banyak seperti Leonardo da vinci yang kesulitan membaca dan menulis dapat membuat sejarah dengan lukisan terkenalnya yaitu Monalisa dan juga Abihsek Bachchan yang sekarang menjadi actor terkenal. Pablo Picasso dahulunya tidak dapat memahami 'angka 7' dan menyangkanya seperti hidung pamannya yang terbalik menjadi pelukis handal aliran kubisme dan Walt Disney yang mempunyai masalah pada tulisan tangannya juga menorehkan imajinasi jeniusnya pada dunia kartun, Juga terjadi pada Neil Diamond yakni penyanyi populer yang menumpahkan rasa malunya pada lagu lagunya dan begitu pula pada Agatha Christie penulis buku terkenal, bayangkan seorang penulis tidak bisa membaca dan menulis seperti anak kecil? Tutur Ram Shankar Nikumbh dalam film Taare Zameen Par. 

Oleh karena itu, peran dunia Pendidikan dalam menangani anak yang menderita disleksia sangatlah penting karena kebanyakan orang cenderung sering memandang sebelah mata pada anak disleksia dengan berpikiran bahwa mereka itu autis, idiot, down syndrome dan sebagainya. Padahal, anak-anak disleksia ini hanya memiliki gangguan pada proses belajar mereka akan tetapi masih bisa mengikuti kegiatan belajar di sekolah umum dan tidak perlu bersekolah di SLB sehingga memang dibutuhkan penanganan yang sedikit berbeda seperti pendekatan khusus dari guru dan juga metode pembelajaran yang tidak akan menunjukkan kelemahan anak disleksia di depan umum, seperti meminta mereka membaca di depan kelas atau menyuruh mereka untuk menjawab pertanyaan sulit, dan lain-lain. Hal semacam itu akan menurunkan motivasi dan kepercayaan diri sang anak karena merasa diri mereka sangat rendah (Pratiwi, 2022)

Berbeda dengan anak autis yang diagnosanya antara umur 2-4 tahun. Autis adalah suatu keadaan dimana seorang anak berbuat samaunya sendiri baik secara berpikir maupun berperilaku sedangkan autisme suatu gangguan tumbuh kembang berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal (Effrem Warung, 2020). Terlepas setelah autisme nya dinyatakan sembuh mereka malah mempunyai kemampuan diatas rata rata hampir seperti disleksia. Pada sebuah artikel di salah satu situs web. Kesehatan Indonesia, alodokter.com. Menurut (Agustin, 2021) tes IQ bukan menjadi satu-satunya indikator kecerdasan seseorang karena dinilai tidak adl terhadap orang-orang yang kurang dalam kemampuan kognitif dan dianggap mengesampingkan pentingnya kreativitas, karakter, empati atau kemampuan sosial dan kecerdasan spiritual seseorang adi, tes IQ tidak bisa dijadikan satu-satunya ppatokan dalam menentukan tingkat kecerdasan seseorang Peneliti menjelaskan bahwa kompleksitas otak manusia telah berkembang, sehingga gagasan tentang IQ juga harus disesuaikan atau berubah. 

Sebagai tenaga pendidik, hal yang tidak kalah penting untuk diketahui adalah macam-macam multiple intelligence atau yang kerap dikenal sebagai kecerdasan majemuk. Istilah multiple intelligence dicetuskan oleh seorang Psikolog Harvard yang juga ahli Pendidikan bernama Howard Gardner (Salsabila, 2022). Pada tahun 1983 Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan manusia bisa dibedakan menjadi beberapa macam (Fadhli, 2022a), Macam-macam kecerdasan tersebut antara lain, Kecerdasan visual-spasial, kecerdasan linguistik-verbal, kecerdasan logis-matematika, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan naturalistik serta kecerdasan Eksistensial (Fadhli, 2022b). Dengan hal tersebut kita dapat menggali potensi diri dan bisa mendalami pembelajaran sesuai minat, talenta dan kebutuhan kita bahkan orang lain yang membutuhkan arahan akan dir mereka sendiri terutama pada anak kecil yang belum paham akan jenis kecerdasan. Hal ini dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki seseorang dalam membangun dirinya. 

Kesimpulan

Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwasannya anak yang mengidap disleksia dalam film tidaklah sepenuhnya sama dengan anak yang menderita disleksia dalam kehidupan nyata Untuk itu, dalam mengidentifikas kasus disleksia dibutuhkan adanya pendalaman pengetahuan dan wawasan yang luas. Begitu juga dalam mengenali perbedaan antara anak disleksia dan autis yang secara sekilas keduanya memang terlihat sama namun memiliki kemampuan dan kesulitan yang berbeda dalam keterampilan sosial, berkomunikasi dan berperilaku. Oleh karena itu, kasus disleksia dan autis merupakan kasus yang tidak bisa dianggap sepele karena pengkajiannya butuh upaya pengenalan secara mendalam. Dan yang paling penting adalah seseorang tidak bisa menilai begitu saja bahwa anak ini menderita autisme dan anak itu menderita disleksia, karena seseorang yang menderita autisme bisa saja menderita disleksia sedangkan seseorang yang menderita disleksia tidak bisa disebut dengan autis.

Daftar pustaka

Agustin, S. (2021). Hasil Tes IQ Bukan Satu-satunya Penentu Kecerdasan. https://www.alodokter.com/tes-iq-bukan-satu-satunya-penentu-kecerdasan

Arum, S. (2018). Betapa Naif Kita Perihal Down-syndrome, Autis dan Idiot https://www.bulaksumurugm.com/2018/03/21/betapa-naif-kita-perihal-syndrome-autis- dan-idiot/#text=Secara%20sederhana%2C%20autisme%20adalah% 20gangguan down%20syndrome%20adalah%20gangguan%20intelektual

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun