Mohon tunggu...
Rosika Ngagelina
Rosika Ngagelina Mohon Tunggu... -

Lord Jesus Christ | Desain Komunikasi Visual's line | blogger. writer. photography. drawing. | February 2017 :) | Rainbow's line.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

First and Last–Tugu Kota Malang

2 Maret 2013   02:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:28 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

FIRST AND LAST –Tugu Kota Malang

“Bisakah kamu mengantarku ke tempat itu? Sepertinya kamu yang tahu lokasinya.” Tanya Radit padaku dipertengahan jam mata kuliah.

“Untuk mata kuliah gambar sketsa?”

“Iya, waktu itu bukannya aku absen kan Ren? Berhubung saat ini kamu yang bisa aku andalkan dari pada teman-teman yang lain untuk memberitahu lokasi tugas itu, mengapa tidak?” jawab Radit dengan senyumannya yang polos. Aku mengangguk dan membalasnya dengan senyuman.

Radit adalah salah satu teman baruku di kampus. Aku dan dia sama-sama seorang mahasiswa baru dijurusan Seni. Dia cukup baik padaku. Radit sangat mudah bersosialisasi dengan lingkungan barunya, termasuk denganku. Aku adalah satu-satunya anak perempuan yang paling dekat dengannya daripada dengan teman-teman perempuan yang lainnya dikelas. Selain itu kelas seni memang selalu “limited” untuk anak perempuan. Hanya segelintir anak-anak perempuan saja diantara banyaknya anak laki-laki dalam suatu kelas.

Sore itu suasana sedikit mendung. Matahari sudah sejak siang bersembunyi dibalik awan dan enggan menampakkan dirinya. Kami baru saja selesai mengikuti mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa semester awal. Aku masih sibuk membereskan alat tulisku dan berbicara dengan Santi, sahabat baruku di kelas ini.

“Lantas tugas kelompok itu kita harus mencari mengenai bab toleransi antar umat beragama Ren?” tanya Santi sambil mengecek daftar nama kelompok kami.

“Iya. Kan kita mendapatkan pembahasan mengenai sila pertama Pancasila, kan soal hubungan beragama.” jawabku.

“Baiklah. Ini minggu depan harus selesai makalah kita? Oh meeennn..” Santi mengeluh dengan menghembusakan nafas besar. “Tugas kita yang lain apa kabarnya? Gambar sketsa, nirmana, belum lagi makalah tinjauan desain.” gumam Santi perlahan.

“Sebanyak itukah? Aku baru sadar Sant.” Kataku sambil memandangi buku Santi yang penuh dengan coretan tugas mata kuliah untuk minggu depan. Kami saling berpandangan untuk beberapa saat. Saling diam. Dan saling tersenyum miris melihat daftar tugas mata kuliah yang terasa berat untuk kami, sebagai mahasiswa baru.

“Hey, masih lama?” suara Radit membuyarkan pandanganku di depan Santi.

“Oh, nggak. sudah selesai. Jadi berangkat sekarang?” tanyaku.

“Iya, masa mau besok? Sekarang saja sudah mendung kan? Ayo segera.” Kata Radit sambil memberikan helm yang dibawanya padaku.

“Ini untuk?”

“Untuk kamu. masa mau pergi kamu nggak pakai helm?”

“Oh, ya.” Jawabku gugup. “Sant, ayo pulang.”

“Ah, kamu pulang duluan saja Rena. Aku masih harus memfotocopy bahan mata kuliah PKn ini.”

“Wah, maaf aku tak bisa menemani”

“Sudah. Tidak masalah. Cepatlah keburu mendung gelap dan hujan.”

Aku bersama Radit segera meninggalkan kelas. Berjalan berdua menuju area parkir di samping gedung kuliah bersama. Radit tampak diam, tak banyak bicara seperti biasanya. Entahlah, aku tak tahu apa yang sedang dia pikirkan sekarang. Aku berjalan pelan sedikit, memperlambat langkah kaki, dan bermain dengan genangan air di dekat area parkir seraya menunggu Radit selesai mengambil motornya.

“Hey. Kotor nanti sepatumu.” Kata Radit dari atas sepeda motonya sambil memandangiku bermain air diatas genangan air itu.

Aku hanya tersenyum.

“Kotor tahu Ren mainan air yang tergenang seperti itu, kamu lucu amat sih? Oh ya, ini lokasinya dimana? Berhubung aku tak tahu arah-arah kota Malang tercintamu ini, jadi jangan lupa pandu aku. Ayo naik.” Kata Radit padaku.

“Beres bos!”

Kami berhenti di Alun-Alun pusat Kota Malang. Pemandangan sore ini cukup ramai dari biasanya. Kedua langkah kaki kami berjalan menuju sebuah bangunan tua yang berdiri sejak sekitar tahun 1905. Sebuah gereja tua yang bernama Gereja Khatolik Paroki Hati Kudus Yesus, yang dijadikan sebagai pusat dari tugas mata kuliah gambar sketsa ini. Aku mendekat pada gerbang gereja yang megah ini, memandangnya berulang kali dari berbagai sisi. Aku memang anak Malang asli, namun aku belum pernah mengamati bangunan gereja ini sedekat dan selama ini.

“Ini yang harus kita sketsa? gereja dengan bangunan ornamen yang begitu megah?” tanya Radit padaku.

“Ya. Gereja tua ini. walaupun tua, namun kokoh sekali dan amat indah. Sepertinya ini dijadikan sebagai warisan budaya kota Malang. Bagaimana? Mengeluhkah? Terlalu megah dan istimewa? Atau mau yang lebih sederhana? Toko Oen dibelakang kita ini.” Jawabku yang masih asyik mengamati bangunan gereja ini. dan menunjukkan bangunan Toko Oen yang ada di depan Gereja Khatolik Paroki Hati Kudus Yesus ini.

“Untuk apa mengeluh? Malang is a beautiful city. I like it” kata Radit sambil tersenyum kecil padaku. “lalu, kita menggambar dimana? Apa kita boleh masuk dan duduk di bawah pohon itu untuk mengambil sisi samping bangunan gereja ini untuk digambar?” tanya Radit.

“Tentu. Aku izinkan dulu pada penjaga untuk masuk dan duduk sambil menggambar.”

Aku menikmati sore ini bersama Radit dibawah pohon di halaman Gereja tua ini. Menggambar selembar demi selembar dari sepuluh lembar tugas yang diberikan. Berpindah ke berbagai sudut untuk mencari berbagai sisi dengan berbagai pandangan perspektif. Sore ini aku habiskan bersama Radit hingga langit malam mulai menggantikan keberadaan langit sore. Lampu-lampu jalanan mulai bangun dari tidurnya dan menerangi jalanan yang seolah akan gelap karena malam. Kendaraan yang berlalu-lalang juga mulai menyalakan lampunya.

Tak terasa aku mampu menyelesaikan sepuluh sketsaku mengenai gereja tua ini. Sebuah sketsa tidak perlu bagus, namun mampu menggambarkan keadaan dan bentuk aslinya suatu benda atau suatu tempat. Aku masih menunggu Radit yang tinggal menyelesaikan satu lembar gambar terakhirnya. Aku memandanginya menggambar. Caranya menggoreskan pensil pada selembar kertas putih terlihat begitu menjiwai. Radit begitu memperhatikan sudut persektif untuk menggambar.

“Gambarmu bagus.” Gumamku. “boleh aku melihat gambarmu dalam map kertasmu ini?” tanyaku. Radit mengangguk.

Aku membuka map yang ada disamping kanannya. Sebuah map kertas yang berisi banyak kertas gambar milik Radit. Satu per satu aku keluarkan dan aku lihat apa saja yang dia gambar. Radit sangat hebat dalam menggambar karakter, dari keseluruhan gambar yang ada dalam map kertasnya, gambranya selalu berbeda dan masing-masing tokoh yang digambarnya memiliki karakter yang berbeda dan kuat.

“Aku sudah selesai Rena.” Kata Radit sambil menggoyang-goyangkan kakiknya yang dari tadi tertekuk. “kamu lihat apa? Haha.. gambarku ya? Jelek Rena. Jangan dilihati semua.” Kata Radit padaku, seolah ia tak mau dipuji karena gambarnya.

“Jelek apanya, ini bagus banget tahu Dit, coba gambarku. Kalah jauh sama kamu. bagus banget dit. Aku suka liat gambar karaktermu. Aku dengar dari anak-anak kamu suka banget menggambar karakter dan monster ya?” tanyaku pada Radit dengan masih terkagum akan gambarnya.

“Haha.. iya. Aku suka menggambar monster dan juga menggambar karakter Ren.”

Handphone dalam sakuku bergetar.

“Aku angkat telepon dulu ya Dit.”

Shinta memanggil..  –

“Hallo? Ada apa Shint?” tanyaku pada Shinta, sahabat lamaku ketika aku masih SMA.

“Ren, aku mau cerita nih, tapi kamu jangan kecewa ya? Janji loh.” Kata Shinta dari balik telepon.

“Iya. Cerita saja.”

“Ren, lebih baik kamu sekarang jangan berharap sama Andre ya. Soalnya dia sekarang sudah sama Amanda. Amanda teman sekelasmu dulu itu. Aku nggak tahu kapan mereka jadian, Cuma aku dapet kabar dari anak-anak kalo mereka sudah jadian. Jangan sedih ya Rena sayang. Semangat.” Shinta menjelaskan panjang lebar.

“Haha.. iya gapapa kok Shint, makasi ya. Oh ya aku lagi dijalan ini. maaf gak bisa lama-lama. makasi ya shinta.” Jawabku dengan nada sedikit kecewa.

Teleponpun ditutup. Aku tak tahu harus bagaimana dan apa yang akan aku lakukan sekarang. Pikiranku kosong dan pecah. Berdiripun aku tak mampu. Aku hanya memandangi langit malam, berharap bintang disana mendengar apa kata hatiku sekarang. Berharap bintangpun juga melihat apa yang terjadi padaku sekarang.

Radit tak berkata sepotong katapun padaku dalam perjalanan pulang. Aku rasa Radit tahu apa yang aku alami. Atau mungkin Radit mendengar pembicaraanku dengan Shinta dalam telepon? Aku juga tak tahu mengapa aku jadi sebodoh ini dalam masalah hati kali ini.

**

Aku masih tidak berada pada kondisiku yang sebenarnya. Santipun juga tidak banyak berbuat. Sepertinya ia tahu apa yang aku rasakan. Aku sudah bercerita padanya tentang hal ini. namun aku sendiri belum bisa bangkit karena masalah ini. hanya hiburan sederhana seperti bernyanyi bersama yang bisa kembali menceriakan hariku dari masalah hatiku karena Andre. Hari ini aku kembali diajak Radit mengerjakan tugas gambar sketsa berikutnya, ya menggambar Tugu dan Balai Kota Malang. Dengan Raditpun aku juga tak banyak bicara.

“Gambarmu yang itu jelek.” Ungkap Radit sambil menunjuk cover binder kuliahku.

“Kenapa jadi mengomentari gambar coverku ini? mengapa tidak mengomentari gambar sketsaku?” tanyaku.

“Sobek saja covermu. Buang.”

“Apa?”

Radit diam. Aku kembali melihat gambar cover binderku ini untuk beberapa saat. ini gambar yang aku buat ketika aku masih duduk dibangku SMA. Itu gambar kecilku, gambar karakterku dengan Andre. Teman laki-lakiku yang aku kagumi sejak aku duduk di kelas dua belas Sekolah Menengah Atas. Dan teman yang membuatku sakit hati akhir-akhir ini karena dia telah menjalin hubungan bersama Amanda, teman sekelasku kelas dua belas SMA. Aku tak memahami apa maksud Radit menyuruhku menyobek gambar itu. Dan aku tak pernah tahu apa alasan Radit berkata seperti itu.

“Sepertinya menghasbiskan sore disini enak ya Ren.” Radit bergumam kecil.

“Baru sadar ya? Suasana Tugu Balai Kota ini indah apalagi saat bunga teratai yang mengelilingi Tugu juga bermekaran. Sayangnya kali ini tidak.”

“Sepertinya aku akan sering bermain disini saat sore. Sekalian menyegarkan otak. Haha..” kata Radit dengan penuh senyum.

“Haha.. makasih ya Dit.”

“Makasih buat apa?”

Aku hanya tersenyum.

Radit terlalu baik padaku. Radit orang yang sangat peduli pada orang lain. Radit suka menghibur. Dan Radit orang yang patut diteladani dari banyak sisi. Aku lebih sering satu kelompok atau bekerja bersama dengan Radit. Atau juga bermain? Radit adalah orang yang tak pernah membedakan siapapun yang dekat dengannya.

Lalu bagaimana dengan Andre? Aku sempat bertemu beberapa kali dengan Andre dalam suatu acara. Namun aku sudah tak lagi peduli padanya. Aku rasa aku juga percuma jika terlalu banyak berharap padanya. Andre mungkin jauh lebih bahagia dengan wanita yang memang sudah ia suka sejak awal masuk SMA, Amanda. jadi untuk apa aku tersu mempertahankan perasaanku pada Andre jika Andre jauh lebih mencintai Amanda?

**

Aku tak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi padaku. Santi lebih sering bertanya padaku, “kamu suka sama Radit ya?”. Ribuan kali pertanyaan intu terlontar dari mulut Santi. Namun aku tak pernah menjawab dengan pasti. Aku rasa itu hanya hiburan santi saat aku mulai galau tentang Andre. Aku juga tak ingin tahu apa alasan teman-teman dikelas selalu berkata, “kamu sama Radit aja Ren.”. entahlah, mungkin mereka memiliki ribuan alasan yang selalu membuatku terpojokkan saat aku bertanya balik, “kenapa kalian selalu berkata aku dengan Radit? Maaf kita haya teman.” Aku juga tak pernah paham, kenapa Radit jauh mengandalkanku daripada mengandalkan teman-temannya yang lain. Selalu meminta tolong saat sakit untuk aku yang mengizinkan dia pada dosen di setiap mata kuliah. Yang selalu bertanya dan meminta tolong untuk membantunya menyelesaikan tugas mata kuliahnya saat ia benar-benar kualahan dengan tugas yang semakin membukit disetiap akhir semester.

Sore ini aku pergi berdua bersama Santi. Hanya iseng untuk berkeliling di pusat Kota Malang. Kembali mengingat saat-saat mendapat tugas menggambar sudut-sudut Kota Malang, atau saat harus berbelanja kebutuhan peralatan menggambar bersama Santi.

“Hei. Tempat ini.” gumamku. Seketika itu juga langkahku aku hentikan didepan sebuah bangunan tua.

“Kenapa Ren?” tanya Santi.

“Aku, aku ingat.. oh sudah lupakan Sant. Ayo lanjutkan langkah kaki kita.”

“Kamu ingat Radit kan?” tanya Santi padaku.

“Tidak. Kamu sok tahu akan hal itu.”

“Aku tahu kamu mengkhawatirkan keberadaan dia. Aku tahu semua. Aku tahu kamu suka sama dia. Aku selalu memperhatikanmu saat kamu dengan cerianya bercerita mengenai Radit. Aku tahu perasaan yang kamu alami Rena. Aku tahu. Aku tahu semua, tentang Radit yang menghiburmu saat kamu patah hati karena Andre. Radit kan yang mengusulkanmu menyobek gambar kecilmu bersama Andre? Radit juga yang membuatmu tertawa saat kau sedih. Aku melihatmu begitu merindukan dia sekarang. Merindukan Radit yang tak pernah lagi menyapamu.  Radit yang tak pernah lagi mengajakmu belajar bersama. Radit yang semakin menghilang tanpa ada kabarnya.”

“Cukup Santi. Cukup. Jangan lagi kau lanjutkan.” Jawabku dengan menahan tetesan air mata yang hendak aku luapkan. “Aku tak tahu apa kabar Radit sekarang. Ia hilang, mungkin juga tidak hilang. Ia tetap ada, hanya saja aku tak lagi dekat dengannya. Sudah terlalu banyak hal bahagia yang aku lewati bersama Radit. Masihkan aku harus menunggu hal-hal bahagia bersamanya lagi? Dia sudah jauh pergi Santi. Tak ada yang aku harapkan dan tak ada yang bisa diharapkan lagi. Tempat ini, Gereja Tua di Kota Malangku ini mengingatkanku akan banyak hal-hal yang aku alami bersama Radit. Pertama kali aku pergi bersamanya, dekat bersamanya, tertawa, dan pertama kalinya aku diam padanya karena Andre. Sudahlah Santi, tidak ada lagi yang harus aku ingat tentang dia, yang mengajariku move on dari masa laluku.”

Santi dan aku sama-sama terdiam. Ini adalah hari-hari terakhir kami sebagai mahasiswa sebelum minggu depan kami harus diwisuda dan mendapatkan gelar sebagai Sarjana Seni. Hari yang begitu berarti, mengingatkanku pada Radit lagi. Setelah tiga atau empat semester akhir ini aku jarang melihat dan bertanya kabar tentangnya.

“Aku kagum padamu yang tetap setia menunggu Radit. Walau kau tahu, dia sudah dengan yang lain” Kata Santi.

Aku tak menjawab. Sejujurnya hatiku menangis.

**

Aku mendapatkan jawaban dari lamaran kerjaku di luar kota Malang. Puji Tuhan aku diterima disana. Mungkin dengan berat hati aku akan beberapa kali pulang dalam setahun ke kota yang membesarkanku dari kecil ini.

Beberapa minggu yang lalu aku mendapatkan kabar dari Santi mengenai Radit. Sekarang dia juga sudah bekerja di sebuah tempat pembuatan film animasi 3d. Radit teryata menunda wisudanya beberapa waktu yang lalu, oleh karena itu saat aku dan kawan-kawan diwisuda, Radit tidak ada, karena dalam beberapa mata kuliah lainnya Radit masuh harus mengulang memperbaiki nilainya. Aku sedikit senang namun juga sedikit kecewa. Namun aku tetap bersyukur saat tahu bagaimana kabar Radit sekarang.

“Hallo? Rena?” suara seorang pria terdengar dibalik telepon itu.

“Ya, maaf ini siapa?” tanyaku.

“Kamu lupa sama suaraku ya Ren? Apa kabar disana? Katanya kamu diterima kerja di luar Malang ya?”

“Maaf. Ini siapa?”

“Ini Radit, Ren. Ingat? Jangan sekali-kali melupakan teman menggambar bersamamu ini.” terang Radit dari balik teleponnya.

Jantungku berdetak semakin cepat.

“Ra—dit?”

“Iya, ini Radit, Rena. Apa kabar?”

Aku terpaku diam. Aku kembali mendengar suara Radit walau itu hanya melalui media telepon seluler. Aku tak menyangka bahwa Radit akan meneleponku.

“Ren? Kok kamu diam saja? Hallo? Apa kabar? Aku mau ngajak kamu main nih, selagi aku masih ada di kota yang membesarkanmu, Malang. Dan sebelum kamu akan pergi kerja di luar kota. Bisa ya?” tanya Radit dengan penuh semangat.

“Ha? Main? Bi—sa bi—sa kok Dit. Lama nggak main sama kamu. kangen juga.” Jawabku dengan senang hati.

Kami mengobrol panjang lebar di dalam telepon. Saling bertanya kabar, berbagi seputar kehidupan, dan kembali mengungkit hal-hal sederhana yang pernah kami alami bersama. Namun hal kecil itu mmebuatku tersenyum senang, tahu bahwa Radit telah kembali pulang, dan tak akan lagi kehilangan kabar.

**

Aku berjumpa dengan Radit di Tugu Kota Malang, disebuah tempat dimana kita pernah bersama dalam beberapa peristiwa. Tempat dimana kita sama-sama mengerjakan banyaknya tugas dan tempat untuk menyegarkan otak karena banyaknya tugas sebagai mahasiswa baru (dahulu).

“Hai. Rena” sapa Radit dari kejauhan sambil melambaikan tangannya. Ia tersenyum. Langkahnya membawanya mendekati tempat dimana aku menunggunya. “Rena. Apa kabar? Udah lama nunggu aku ya? Maaf telat ya.” Jawabnya yang selalu diikuti senyuman manisanya.

“Haha.. nggak apa-apa kok Dit, lagian aku juga belum lama nunggu kamu.”

Kami berdua saling diam dalam beberapa saat.

“Eh. Kamu ingat tempat ini? ini tempat kita duduk dulu waktu mengerjakan tugas gambar sketsa diawal kita jadi maba. Iya nggak sih? Terus pas itu kamu diem aja. Tahu deh masalah patah hatimu itu. Haha” kata Radit sambil menoleh memandangi wajahku.

“Haha.. kamu masih inget aja. Aku aja sudah lupa bagaimana itu terjadi.”

“Kan kamu patah hatinya pas kita lagi menggambar gedung gedung Gereja Paaroki Hati Kudus Yesus di Kayutangan? Terus pulang-pulang cuma diem aja. Eh aku baru tahu kamu patah hati soalnya aku tanya ke Santi.”

“Haha.. itu masa lalu, Dit. Udah hambar kalo diinget.”

“Haha.. asik banget tahu. Aku sering ke tempat ini, ke Tugu ini kalo lagi buntu pikiran. Kan kamu yang bilang, tempat ini asik buat membuang penat, menyegarkan pikiran dari tugas.” Cerita Radit perlahan.

“Kok kamu ngilang gitu aja sih Dit dulu dari kuliah-kuliah? Wisuda nggak barengan sama kita-kita? Kamu kemana dan kenapa? Jarang masuk kuliahlah, jarang nongol di kampus..” itu pertanyaan yang aku selalu simpan sampai saat ini.

Radit terdiam.

“Aku pas itu banyak banget masalah Ren, terus aku juga gak bisa kontrol waktu kuliahku dengan baik. Aku keteteran sendiri. Pas aku sumpek kayak gitu aku bolos lah. Lebih baik aku menunda beberapa matakuliah saat itu daripada aku mengikuti dan mendapat nilai D atau E. Tapi aku sering ke sini, nyegarin pikiran yang bikin aku gak bisa mikir.” Radit menjelaskan dengan santainya.

“Kamu tahu Dit, aku selalu khawatir sama kamu. aku selalu tanya ke diriku aku harus ngapain buat tahu kabarmu?”

“Kamu peduli banget sama aku Ren. Makasih ya, kamu juga selalu jaga perasaanmu suka sama aku.” Kata Radit.

“Dit—aku nggak tahu mau bilang apa lagi. Aku tahu kamu mungkin sudah tahu soal hal ini. aku tahu kok. Aku juga gak akan maksa kamu. kan kamu juga sudah ada yang nemenin sekarang. Ya udahlah, itu masa lalu, mungkin lain kali kita juga bakalan bersama selamanya, nanti juga akan ketemu kan? Oh ya, besok aku udah meninggalkan kota Malangku ini, jangan kangen sama aku ya, haha..”

“Kamu masih aja bisa bercanda ya. Maaf ya Ren.”

“Apasih. Makasi ya Dit.”

“Aku akan inget selalu tempat-tempat ini, dua tempat yang terkenang buat aku sama kamu. walau kita nggak bersama sekarang tapi kamu masih akan tetep inget dua tempat yang sama-sama kita pernah gambar kan? Kamu nggak akan ngelupain itu kan Ren?”

“Nggak kok Dit. Aku akan inget semuanya. Satu lagi, jangan bikin orang yang udah sama kamu sekarang, maksudku cewek kamu kecewa karena kamu nanti bakalan mikirin aku. Haha..”

“Rena!”

“Kalo kita akan bersama, pasti kita akan ketemu lagi kok. Pertama dan terakhir sebelum aku pergi ke luar kota, Tugu Kota Malang ini tempat kita berbagi cerita suka dan duka dalam semua hal. Tapi jangan jadikan tempat ini benar-benar terakhir buat semua peristiwa bersama aku sama kamu ya Dit. Aku nggak kecewa sama semuanya, aku ikhlas aja seandainya kamu memang sama dia dan bukan sama aku. Jangan kecewain dia ya, jagain dia cewekmu itu..”

**

Esoknya aku telah bersiap untuk meninggalkan Kota Malangku tercinta. Sebuah Kota yang membesarkanku sejak aku kecil. Kota yang tahun di tahun selalu mengalami pertumbuhan disegala bidangnya. Kota yang begitu dikenal karena “tempe” dan supporter fanatik “Arema Indonesia” , dan sebuah kota yang dikenal sebagai Kota Pendidikan. Aku harus rela meninggalkannya demi sebuah pekerjaan besar yang bersiap menyambutku di depan mata. Mungkin selama setahun hanya bisa beberapa kali saja aku pulang ke kota kesaayangaku ini.

Kereta api Gajahyana telah bersiap di jalur satu pemberangkatan menuju Jakarta. Kelak yang akan menjadi Kota keduaku setelah Malang.

“Dit, kalo kita akan bersama, pasti kita akan ketemu lagi kok. Aku masih setia nunggu kamu. Walau aku tahu kamu sudah ada yang menemani.” –Tugu Kota Malang.

Keretaku melaju dengan kencang menuju kota besar dimana setumpuk pekerjaan baru yang menungguku.

**



Twitter : @rosikangagelina

Email : ngagelina.rosika@yahoo.com

Blog : rosikangagelinaa.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun