Ini adalah sepenggal kisah di atas kereta Bima. Perjalanan dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Yogyakarta. Aku memilih moda transportasi ini karena ingin lebih santai.
Aku menyukai perjalanan dengan kereta, terutama untuk jarak pendek. Perjalanan ke Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, bagi ku sangat menyenangkan dengan kereta.
Selain tepat waktu. Sejumlah perbaikan layanan sangat signifikan memanjakan penumpang.
Sambil berjalan kembali menuju Gerbong Dua, tempat aku duduk. Bertanya-tanya kenapa harga teh bisa berbeda. Saat makan, segelas teh dikenakan harga lima belas ribu. Saat beli air panas berbonus teh dipatok harga sepuluh ribu.
Memang di resto, aku tidak melihat daftar tarif harga. Dan sayangnya penumpang pun tidak banyak bertanya.
Selain itu, kenapa beli air panas harus dipaketkan dengan teh. Toh sebenarnya aku hanya butuh air panas. Karena itu, teh yang sudah dikemas dalam gelas itu aku kembalikan. Aku tidak butuh itu.
Lantas bagaimana dengan penumpang lain yang mungkin sama dengan ku. Di antara mereka mungkin ada yang perlu air panas untuk seduh susu bagi sang buah hati misalnya.
Sebuah layanan yang menurut aku agak dipaksakan. Penumpang dipaksa membeli paket teh panas, padahal perlu hanya air panas.
Apakah PT Kereta Api Indonesia memang tidak punya layanan air panas di atas lokomotif, atau ini semua hasil kreativitas prama dan prami saja.
Parsoalan yang muncul bukan harga, tapi soal kepastian. Perbedaan harga untuk produk sama, juga menjadi problem. Terlebih tidak disertakan struk pembelian. Semoga ke depan, layanan membaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H