"Ini seharga teh", jawab Agus.
"Oke". Ku jawab sambil menerima bikisan kemasan teh itu seraya meninggalkan meja dapur resto lokomotif.
Berjalan sambil membawa teh kemasan, "kenapa aku harus bawa teh ini" tanyaku dalam hati "toh ga perlu. Kalo mau minum teh kan mending langsung di resto tadi".
Akhirnya aku berbalik arah ke meja dapur dan mengembalikan teh tersebut.
"Ini tehnya aku kembalikan, aku ga perlu" ucapku kepada Agus seraya meletakkan teh di atas meja. Ku dengar lirih Agus menjawab "iya". Dan sejurus kemudian aku berbalik arah menuju pintu.
Menjelang sampai pintu keluar, aku berpikir kenapa harga teh tadi sepuluh ribu. Padahal tiga jam sebelumnya aku makan dan minum teh, dengan harga berbeda.
Sebelumnya, Mitha, prami kawan Agus yang melayani saat itu bertanya. "Tadi pesen apa aja pak". Aku bilang "nasi goreng dan teh panas".
"Jadinya lima puluh tiga ribu pak" sahut Mitha. Dan kemudian dia melanjutkan jawabannya. "Nasi goreng tiga puluh delapan ribu dan teh lima belas ribu, semua jadinya lima puluh tiga ribu".
"Ok", jawab ku.
Ku berikan uang lembaran seratus ribu kepada Mitha. Dan segera dia keluarkan beberapa lembar uang receh dari kantong bajunya sebagai kembalian. Kemudian dia memasukkan lagi uang-uang tadi ke saku baju.
Aku sebagai pembeli tidak mendapat struk sebagai bukti bayar. Ku lihat beberapa pembeli lain pun bernasib sama. Baik beli di resto atau gerbong, sama-sama tidak diberi struk.