Pada debat capres malam nanti, hampir bisa dipastikan setiap pasangan sudah mengantongi data dari tema yang akan dibahas. Itu sah-sah saja. Tentu sebagai capres sudah sepatutnya menguasai masalah lewat data. Meski bisa terjadi pada parameter sama, data antar capres berbeda.
Selain bawa data dengan klaim "paling akurat", capres juga akan memberikan interpretasi, mengulasnya dan dikaitkan dengan kebijakan. Ujungnya menjadi modal dan janji kampanye. Dan kita sebagai penonton, dihadapkan pada perspektif capres dalam rencana sekaligus wacana menjalankan programnya.
Data yang dibawa pun pastinya bukan sembarang data, terlebih disampaikan pasangan capres. Mereka tentu telah menyiapkan data dalam segala aspek mendukung visi dan misi yang dibawa setiap pasangan. Komprehensif dan mendalam guna meyakinkan calon pemilih.
Namun dalam banyak hal, siapapun bisa membuat interpretasi atas data yang dibawa. Ya siapapun. Tapi apakah interpretasi sudah bisa dikatakan benar? Nanti dulu. Sekali lagi kita sebagai penonton, meski tetap berpikir waras dan jernih. Tidak terbuai dan terbawa larut atas interpretasi yang kadang dibuat untuk menyerang pasangan.
Dari sekian ribu tumpukan data, biasanya hanya mengambil yang "relevan" atau "berseberangan" dengan topik bahasan. Relevan dalam konteks mendukung, dan berseberangan dalam konteks menyerang lawan. Semua bisa digunakan pada saatnya.Â
Dalam dunia data, kita mengenal banyak hal. Ada istilah data, sampel, populasi, statistik, parameter, Â asumsi, hipotesis, informasi dan interpretasi. Masing-masing punya fungsi sesuai kondisi dan situasi saat digunakan. Ada garis jelas pembeda diantara mereka.
Lalu akankah capres kita nanti bisa mengurai sekaligus berikan pencerahan ke publik? Atau justru terjebak sendiri dalam lingkaran sesat pemahaman hanya karena terpancing lawan.
Data, merupakan potret suatu kondisi yang menggambarkan entitas pada parameter tertentu. Pengambilan data biasanya dilandasi sejumlah asumsi guna mendapatkan gambaran secara utuh dari sebuah entitas.
Asumsi, sebagai landasan sering menjadi perdebatan panjang dan tak bekesudahan. Setiap orang bisa memiliki angle berbeda untuk melihat sebuah ebtitas. Semua sah saja sepanjang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak melanggar koridor yang telah disepakati sebelumnya.
Penulis akan mengambil contoh data kemiskinan sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2018 lalu. Data ini sering menjadi kendaraan dan janji politik bagi setiap pasangan. Bukan saja capres, pasangan bupati dan gubernur pun tak luput dari instrumen satu ini guna memikat kaum papa.