Jarum jam mendekat angka tiga. Ritual umrah dilanjutkan Sai, berjalan dari bukit Shafa ke bukit Marwah, tujuh kali. Hawa dingin merasuk disela jari kaki. Lelah mulai terasa disetiap tapakan langkah. Dingin air Zamzam menjadi pelepas dahaga, memberi kesegaran raga, sekaligus menambah tenaga.Â
Rangkaian ritual umrah ditutup dengan tahalul. Dengan gunting yang telah kusiapkan, potong beberapa helai rambut, dan buang di tempat sampah. Pertanda selesai, boleh lepaskan kain ihram dan halalnya seluruh larangan ihram.Â
Melepas lelah, selonjoran kaki di bukit Marwah. Tak lama berkumandang suara adzan subuh. Pagi menyingsing, saatnya mengisi perut. Tak sulit dapatkan makanan siap saji pengganjal perut di pinggiran Masjidil Haram.Â
***
Keluar dari Masjidil Haram, bagi jemaah yang belum terbiasa menjadi persoalan tersendiri. Terlebih jemaah "sepuh" atau terlepas dari rombongan. Masjid seluas sepuluh kali lapangan bola, dengan ornamen pilar hampir serupa, bikin mata nanar saat cari jalan keluar, dikerumunan ratusan ribu jemaah.Â
Struktur bangunan melingkar, kelilingi Kabah, sulit mengingat arah mata angin. Berbeda dari Indonesia, shalat selalu menghadap arah barat sedikit serong kanan. Namun mata angin sebagai penanda arah shalat tidak berlaku di Tanah Suci. Semua melingkar menghadap Kabah.Â
Saat tersesat di Masjidil Haram, paling mudah jalanlah mendekat gedung dengan jam besar di atasnya. Keluar dari masjid, menuju pelataran luar. Di sini tempat lebih terbuka, bagi petugas haji lebih leluasa menemukan jemaah.Â
***
Hari ini, hari yang ku tunggu. Sesuai jadwal tanggal 8 Dzulhijjah bersiap menuju padang Arafah. Ke sana tujuan puncak berhaji, wukuf. Pagi nan cerah seperti biasanya. Langit tak nampakkan awan sedikitpun. Mesti pagi, teriknya menarik terasa menyengat kulit.
Padang Arafah, konon yang dulu tandus, kini mulai rimbun tumbuhan Soekarno. Tanaman ini tumbuh hampir disetiap sudut tenda. Tak lagi terasa terik saat siang. Jalanan tertata rapih. Setiap bloknya berpagar kawat, lindungi jemaah melintas ke jalan raya.