Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik 2018 Lancar, Masih Kurang? [2]

24 Juni 2018   21:05 Diperbarui: 24 Juni 2018   21:11 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Boleh tidak setuju, tapi yang penulis rasakan sejak 1998, mudik 2018 adalah paling lancar dalam sejarah"

Tulisan sebelumnya, penulis bercerita pengalaman saat mudik lima hari jelang lebaran. Perjalanan dari Cibubur ke Pekalongan yang biasanya ditempuh lebih dari lima belas jam, kini hanya enam jam lebih sepuluh menit. Boleh dibilang sangat lancar. Jalan tol yang sebelumnya sempat menjadi momok pemudik, kali itu lancar tanpa hambatan. Bahkan tol fungsional Pejagan mampu berfungsi dengan baik tanpa kemacetan. 

Penulis mengapresiasi penyiapan infrastruktur jalan dan pengaturan serta penempatan petugas sepanjang perjalanan yang dilalui pemudik. Penyelenggaraan mudik tahun ini boleh dibilang sukses, meski dua hari jelang lebaran masih terjadi kapadatan di sejumlah ruas jalan tol lantaran puncak "arus mudik".

Kesigapan petugas di lapangan, segera mengurai kepadatan, mengkondisikan arus jalanan yang tidak terlalu lama dan lalu lintas kembali lancar. Tidak ada lagi cerita duka dan sengsara akibat kemacetan yang melanda para pemudik. 

Kali ini, akan coba bertutur pengalaman saat "arus balik" kembali ke Jakarta.

Seperti halnya saat mudik, persiapan arus balik ini tidak jauh berbeda. Kesiapan kendaraan, bekal makanan, baju kotor, oleh-oleh pun bertambah. Maklum dari kampung hasil kebun, ada mangga arumanis dan pisang sobo baru saja dipanen. Masuk kardus, jadi bagian oleh-oleh yang harus dibawa. Tambahan lainnya soal pijet badan sehari sebelumnya agar lebih segar kendalikan kemudi.

Anakku yang jelang remaja sudah meminta sejak masih di Jakarta, agar bisa makan soto saat di kampung nanti. Dia memang penggemar soto khas Pekalongan. Kalo mudik, "wajib" makan meski hanya sekali. Untuk kuliner satu ini, Insya Allah penulis akan bahas dilain artikel. Bukan saja soto, masih ada kuliner khas lain seperti tauto, kluban, pindang tetel, dan megono, yang mampu menggoda selera.

Usai shalat dhuhur, seluruh barang bawaan mulai dikemas dalam mobil. Volume bawaan lebih banyak dibanding saat datang. Tapi disitu tantangan agar mobil tetap nyaman berkendara. Tak lupa pamitan dengan orangtua, mohon maaf sekaligus doa semoga selalu diberikan keberkahan dalam hidup. Sudah siap semua, mobil pun bergerak. Bukan ke arah Jakarta, tapi kuliner soto.

Kami memutuskan berangkat dua hari jelang akhir liburan dengan beberapa pertimbangan. Pertama kondisi jalan belumlah mencapai puncak kepadatan. Kedua setidaknya masih ada satu hari istirahat dan bersih-bersih di rumah sebelum masuk kerja kembali. 

Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kondisi arus balik memang tidak separah saat mudik. Namun tetap saja antisipasi beberapa titik rawan kemacetan. Terutama jelang pertemuan dengan arus dari arah Bandung di tol Cikampek. Selain karena bertambah jumlah kendaraan, juga antri masuk tiga rest area hingga km 42.

Sekitar jam dua siang, mobil mulai meninggalkan kedai soto menuju Jakarta. Aplikasi Waze dinyalakan, disarankan melewati jalur Pantura, dan masuk tol Kanci. Tapi kali ini penulis kurang sepakat. Mengulang sukses saat mudik, penulis beranikan mengarahkan kendaraan ke pintu tol Pemalang. Meski disebut fungsional, ruas ini sudah dalam kondisi siap jalur kiri dan kanan. Kedua jalurnya diarahkan menuju Jakarta, alias contraflow hingga Brexit. Kendaraan bisa dipacu diatas kecepatan rata-rata.

Panas menyengat siang itu membuat penulis waspada. Kondisi aspal yang panas bisa menggerus ban dan berpotensi kecelakaan. Dan benar saja, satu mobil di depan oleng hingga berbalik arah, kehilangan kendali lantaran ban terkoyak aspal dan pecah. Untunglah tidak ada korban.

Mobil terus melaju tanpa hambatan berarti. Jelang km 237, lalu lintas nampak mulai padat dengan kendaraan. Sejauh mata memandang ke depan, kendaraan berhimpit dan merayap. Lampu rem sebagian besar mobil menyala pertanda perlambatan. Sementara di jalur kanan, terlihat petugas tengah membuka pembatas jalan siapkan contraflow.

Berselang sesaat, suara sirine mobil patroli polisi meraung pertanda dimulainya contraflow. Disusul rangkaian mobil dibelakangnya, seakan melambaikan tangan dan bilang "sayonara" kemacetan. Sementara kami di sisi kiri tetap dengan kesabaran. Tapi untunglah kondisi itu tidak lebih dari lima menit. Jalanan kembali normal, kecepatan seimbang dengan jalur kanan.

Mengambil lajur kanan, berharap ada pintu masuk contraflow. Dan akhirnya dapat, tanpa ragu kemudi alihkan ke kanan masuk jalur contraflow. Meski lancar, kewaspadaan dan kehati-hatian tetap dijaga. Maklum Indonesia tidak terbiasa jalan di sebelah kanan. Rem mendadak mobil di depan bisa saja terjadi.

Jelang pukul lima sore, badan mulai penat, kencing pun mulai terasa penuh. Saatnya istirahat, kebetulan didepan nampak rest area km 207. Enaknya pakai jalur contraflow adalah saat masuk rest area tidak perlu antri, relatif kosong. Tidak seperti di jalur kiri, rest area selalu penuh bahkan terjadi perlambatan jelang pintu masuk.

Istirahat dirasa cukup, saatnya bergerak lagi. Tetap di jalur kanan hingga pintu Palimanan. Jalanan mulai gelap. Rupanya contraflow masih terus berlanjut, kesempatan ini tidak disia-siakan hingga Cikampek. Sepanjang perjalanan dari Pemalang - Pejagan, Pejagan - Palimanan, dan Palimanan - Cikampek relatif lancar.

Jelang masuk Cikampek, meskipun tidak signifikan, mulai kemacetan malam itu masih terjadi. Area ini pertemuan dari tiga arus utama, Cikampek, Cipali, dan Bandung. Rest area km 62 tidak muat tampung pemudik yang hendak istirahat, dialihkan ke rest area berikutnya. Sebabkan kemacetan beberapa kilometer di belakangnya.

Satu-satunya kemacetan yang penulis alami adalah saat keluar Cikarang Utama. Sebenarnya jalur kanan masih contraflow hingga keluar Halim. Namun karena penulis pikir lebih baik lewat JORR, maka lepas dari pintu Cikarang Utama ambil ke kiri. Di sini kemacetan cukup lama, mungkin ada tiga puluh menit antri penyempitan jalan.

Singkat cerita sekitar setengah sepuluh malam, mobil sampai depan rumah. Alhamdulillah, meski telapak kaki dan betis rasanya pegal. Rasa syukur melebihi segalanya, bisa sampai rumah dengan selamat. Terima kasih juga untuk seluruh petugas yang turut mengawal suksesnya arus balik 2018 ini. Semoga mudik tahun depan lebih baik. 

Statistik perjalanan

Jarak tempuh - 387 km

Waktu tempuh - 6 jam 55 menit (tidak termasuk istirahat) 

Bayar tol - Rp 189.000,-

Bensin Pertalite - Rp 279.000,-

Cibubur, 20 Juni 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun