Mohon tunggu...
Rosi Aswita
Rosi Aswita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Hallo Selamat datang!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus Susu Formula Berbakteri Menggunakan Cara Pandang Filsafat Hukum Positivisme

24 September 2024   21:05 Diperbarui: 24 September 2024   21:12 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama :  Rosi Aswita

Nim    : 222111169

Kelas  : HES 5E

Kasus susu formula berbakteri pernah mencuat di Indonesia ketika ditemukan produk susu formula yang terkontaminasi bakteri berbahaya (seperti Enterobacter sakazakii) yang berpotensi menyebabkan penyakit serius pada bayi. Meskipun penemuan ini memicu kepanikan masyarakat, langkah-langkah penegakan hukum terkait kasus ini menjadi sorotan karena adanya perbedaan pendapat di antara para pakar, lembaga pemerintah, dan masyarakat mengenai bagaimana kasus ini harus ditangani. Kasus susu formula berbakteri di Indonesia berawal dari penelitian ilmiah yang mengungkapkan adanya kontaminasi bakteri berbahaya pada produk susu formula yang beredar di pasar Indonesia. 

 Pandangan seperti John Austin dan H.L.A. Hart, menyatakan bahwa hukum harus dipisahkan dari moralitas. Mereka menekankan bahwa hukum adalah perintah dari otoritas yang sah dan harus dipatuhi selama sesuai dengan prosedur legal, tanpa memperdebatkan aspek keadilan atau dampak moral dari hukum tersebut. 

Dalam menganalisis kasus Susu Formula Berbakteri menggunakan perspektif filsafat hukum positivisme,  beberapa aspek yaitu:

1. Hukum Positif: Filsafat hukum positivisme menekankan bahwa hukum adalah norma yang dibuat dan diterima oleh masyarakat dan pemerintah, tanpa mempertimbangkan moralitas atau keadilan. Dalam konteks ini, keputusan Mahkamah Agung (MA) untuk memerintahkan pengumuman merek susu formula berbakteri adalah contoh dari penerapan hukum positif. Keputusan ini bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh pemerintah.

2. Kepatuhan terhadap Putusan Hukum: Dalam perspektif positivisme, kepatuhan terhadap putusan hukum adalah esensial. Ketidakpatuhan Menkes dan pihak terkait terhadap perintah MA menunjukkan pelanggaran terhadap norma hukum yang telah ditetapkan. Menurut positivisme, tindakan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan merusak integritas sistem hukum.

3. Peran Pemerintah: Pemerintah sebagai entitas yang bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat memiliki kewajiban untuk bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam kasus ini, ketidaktransparanan pemerintah dalam mengungkapkan merek susu yang tercemar bertentangan dengan tanggung jawab hukum mereka. Hukum positif menuntut tindakan berdasarkan norma yang jelas, yaitu perlindungan konsumen dan transparansi informasi.

4. Akibat Hukum: Jika pemerintah terus-menerus mengabaikan perintah MA, hal ini bisa berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan pemerintah. Dalam perspektif hukum positif, tindakan ini bisa diartikan sebagai pengabaian terhadap otoritas hukum yang berpotensi mengarah pada sanksi atau tindakan hukum lebih lanjut.

Kesimpulnnya diatas adalah Kasus susu formula berbakteri di Indonesia memperlihatkan bagaimana perbedaan pendapat antara pemerintah, lembaga pengawas, pakar, dan masyarakat dapat menimbulkan perdebatan yang luas tentang transparansi, penegakan hukum, dan perlindungan konsumen. Beberapa yang paling penting yaitu :

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun