Mohon tunggu...
Rosiana
Rosiana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

A reluctant learner.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Suka Duka Menjadi Buruh Kimia (Part 2)

3 Maret 2019   20:43 Diperbarui: 30 Maret 2022   14:26 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat malam Kompasianers! Di malam senin ini saya ingin melanjutkan cerita sebelumnya. Setelah diingat-ingat kembali ternyata masih banyak pengalaman duka yang saya rasakan! Jadi bolehkah saya melanjutkan cerita tentang kedukaan yang saya alami selama menjadi buruh kimia? Boleh lah yaaaaa hehe.

Jadi begini, pengalaman saya menjadi buruh kimia ini terjadi di tahun 2014. Hanya berdurasi kurang lebih lima bulan. Dua bulan masa magang (PKL), tiga bulan masa bekerja. Mungkin lima bulan bekerja bagi sebagian orang adalah waktu yang sebentar. Tapi entah kenapa kalau saya ingat-ingat lagi, saat itu waktu lima bulan rasanya lama.

Ya mungkin karena merasa berat menjalaninya, jadi terasa lama ha-ha. Tapi saya selalu bersyukur punya pengalaman menjadi buruh kimia. Karena itu memberi bekal pelajaran hidup yang sangat amat berguna hingga saat ini.

Kalian tahu rasanya menjadi perempuan yang harus bekerja bersama laki-laki dengan pekerjaan yang beresiko tinggi? Ya begitulah, menegangkan. Apalagi di saat itu kalian menjadi perempuan satu-satunya.

Coba nih Kompasianer-wati bayangkan gimana rasanya? Kebayang enggak tuh? Kalau masih enggak kebayang ya enggak apa-apa. Tak perlu maksain hehe.

Pernah ada satu waktu saya enggak bisa menerima kenyataan bahwa saya ini adalah perempuan. Karena apa? Karena ya seperti di cerita sebelumnya, saya sering digodain abang-abang teknisi.

Kadang saya bertanya ke Allah, "Ya Allah kenapa saya enggak jadi perempuan jelek aja sih?"

Pernah lebih parah punya pikiran begini, "Apa saya harus nyamar jadi laki-laki aja gitu ya pas kerja biar ga diogadain terus?"

Ya keinginan dan pertanyaan yang jauh dari masuk akal sering kali terbesit mana kala tubuh mulai lelah dengan beban pekerjaan. Itu juga menjadi duka tersendiri bagi saya pribadi.

Tetapi energi yang terkuras secara fisik enggak seberapa. Karena kalau lelah fisik masih bisa diatasi dengan beristirahat, liburan, makan-makan, bercanda tawa dengan handai taulan, dan masih banyak lagi.

Tapi bagaimana dengan lelah psikis atau istilah lainnya lelah batin? Ini bagi saya lebih melelahkan. Ini juga yang membuat saya akhirnya berani memutuskan untuk resign sejak dini.

Bukan karena saya suka mengeluh. Bukan karena saya manja. Tidak begitu. Tapi faktanya memang menjadi buruh kimia buat saya itu sangat melelahkan secara psikis.

 Ingat, ini bagi saya ya. Ini menurut saya. Enggak tau deh kalau buruh kimia lain, mungkin beda cerita. Mungkin lebih indah ha-ha. Jadi tolong saya mohon kepada Kompasianer yang budiman jangan menggeneralisasi bahwa semua buruh kimia bernasib sama seperti saya. Sungguh tidak begitu, Ferguso.

So, untuk Kompasianer yang sedang membaca tulisan saya ini dan ada niat untuk melamar kerja di bidang kimia, enggak perlu takut ya. Coba dulu saja, toh dengan mencoba akhirnya punya pengalaman baru bukan? Dan pengalaman adalah sebaik-baiknya guru. Betul?

Oke, kembali menyoal kelelahan batin yang saya alami selama menjadi buruh kimia. Seorang buruh kimia yang berkutat dengan bidang spesifik "analisis kimia" pasti kerjanya enggak jauh dari perhitungan konsentrasi larutan, reaksi kimia, titrasi, dan pengukuran dengan instrumen-instrumen canggih lainnya. Ya pastinya bertemu dengan perhitungan matematis yang sudah baku.

Ini nih! Bertemu dengan hal yang baku itu jujur saja sudah membuat saya lelah! Tapi tenang, saya bisa atasi itu dengan cara saya.

Namun, masalahnya adalah cara yang selama ini saya gunakan ternyata tidak bisa diterima oleh atasan. Katanya cara saya itu ribet. Terlalu berbelit-belit. Jadi saya terpaksa harus menggunakan caranya atasan.

Bagi saya, menggunakan cara orang lain itu butuh waktu. Butuh waktu untuk menerima hingga akhirnya terbiasa. Ya begitulah cara kerja diri saya, agak lama dalam mencerna cara apapun yang bukan ciptaan saya sendiri.

Apa Kompasianer juga pernah mengalami kondisi yang mirip seperti saya? Kalau iya mari kita berpelukan. Ha-ha-ha.

Jadi pernah nih, saya ditanya oleh atasan. Dikasih semacam soal gitu deh, soal tentang perhitungan konsentrasi. Saya disuruh menjelaskan di depan tim kerja saya. Ya sudah, saya dengan percaya diri menuliskan cara perhitungan saya dengan ilmu yang saya punya -- lebih tepatnya sedikit ilmu yang saya punya.

Di perjalanan ketika menuliskan perhitungan saya kaget! Terkejut! Tau kenapa? Karena tiba-tiba atasan saya nyeletuk,

"Duh kamu ya ngitung begini aja lama banget, lelet banget, ini kan gampang.."

Settttt langsung dong itu perkataan menusuk ke hati! Eh enggak deh, masuk telinga dulu baru berlabuh ke hati ha-ha-ha! Saat itu juga jujur aja saya langsung sakit hati dikatain begitu sama atasan sendiri. Dalem hati saya hanya bisa ngebatin,

"Andai Ibu tau, saya bisa sampai mengerti perhitungan ini tuh butuh perjuangan empat tahun loh Bu... empat tahun... enggak sebentar Bu... udah syukur saya bisa memecahkan perhitungan ini. Kenapa Ibu ga bisa sedikit aja ngehargain usaha saya sih Bu?"

Saya hanya bisa mengatakan itu di dalem hati. Yang terlihat apa? Ya saya pura-pura tegar dan melanjutkan hidup. Eh, melanjutkan perhitungan maksudnya...

Nah, singkat cerita perhitungan selesai. Didapat lah hasilnya. Setelah dikroscek ternyata hasil perhitungan saya dan perhitungan atasan itu SAMA! WOW! Artinya apa? Berarti cara saya enggak salah dong? Cara saya bener kan? Karena hasil akhirnya ya sama!

Tapi lagi dan lagi, bukannya diapresiasi saya malah dikata-katai. Sakit hati ini, sungguh. Saya masih ingat saat itu reaksi atasan saya kurang lebih begini:

Dengan nada yang super duper sinis beliau bilang,

"Kamu itu beneran lulusan SMK Analis Kimia? Masa ngitung kaya gini aja muter-muter. Paham enggak sih sebenernya? Masa enggak bisa pake perhitungan yang lebih singkat? Kalo kamu ngitung gini terus, abis waktu kamu buat ngitung! Coba deh belajar lagi yang bener!"

Jujur saya yang waktu itu masih umur 18 tahun dihadapkan pada kenyataan seperti itu langsung lemes. Bukan lemes badan, tapi lemes hati! Makan ati cuy! Ha-ha. Ya lumayan sih untuk menerima kenyataan itu saya butuh waktu. Pasca kejadian itu saya langsung ngelamun, lalu sholat ashar. Saya berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuatan. Itu saja. Enggak lebih.

Kejadian itu untungnya terjadi menjelang waktu bubaran kerja, jadi enggak mengganggu pekerjaan setelahnya. Tapi selama di perjalanan pulang dari tempat saya bekerja ke rumah saya tidak bisa melepaskan semua perkataan atasan yang dilontarkan ke saya. Semua perkataan itu saya serap dalam-dalam. Saya pikirkan terus-menerus tanpa henti. Bahkan sampa di rumah pun saya masih memikirkan kejadian itu.

Batin saya rasanya campur aduk, beribu pertanyaan tanpa henti menguji batin saya

"Apa saya sebodoh itu?", "Apa saya memang tidak becus dalam bekerja?", "Apa salah kalau saya lelet dalam menghitung?", "Sampai kapan saya harus dibeginikan oleh atasan?", "Apa tidak ada sedikit pun pekerjaan yang saya lakukan dengan baik?", atau "Apa saya tidak berguna?"

Ya begitulah pertentangan batin yang saya rasakan tanpa henti hingga membuat saya lelah. Jika tidak menemukan jawaban saya hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuatan dan kesabaran. Dengan begitu setidaknya saya bisa istirahat dengan tenang agar sanggup menjalani hari esok.

Keesokan harinya saya bangun. Saya ragu apakah harus berangkat kerja atau tidak. Jujur saja, saya masih takut jika harus berhadapan dengan atasan lagi. Saya masih belum sanggup jika harus diberi perkataan yang menohok seperti kemarin.

Tapi ah sudahlah, saya berusaha menepis semua ketakutan itu. Saya bangun monolog untuk meyakinkan diri saya dengan sepenuh hati,

"Hey Oci! Kamu harus belajar dewasa! Jangan takut! Yang kamu lakukan sudah benar. Selama kamu jujur, bertahanlah! Jika kamu memang tidak bisa ya jujur saja. Jika kemampuanmu hanya sebatas itu ya mengaku saja. Perkataan Bu Bos kemarin itu anggaplah saja sebagai pelajaran agar kamu tidak berhenti belajar! Oke, Ci? Ayo berangkat!"

Ya begitulah cara saya mengobati luka batin. Berdoa dan yakin. Tapi betapa pun saya berusaha meyakinkan diri, akhirnya saya menyerah. Menyerah karena saya tidak bisa lagi menikmati hari demi hari menjadi buruh kimia. Batin saya berkata, "Ini bukan dunia saya. Ini bukan tempat saya."

Bisa saja saya memilih bertahan. Tapi untuk apa bertahan tanpa mampu memetik makna? Untuk apa bekerja menghabiskan waktu hanya demi uang semata?

Sampai akhirnya ada satu titik di mana saya merasa kehilangan kebermaknaan menjadi buruh kimia. Dampaknya apa? Ya saya bekerja tanpa motivasi. Kosong. Seperti robot. Hanya bergerak, bergerak, bergerak sesuai arahan. Rasanya kreativitas saya sudah mati total. Saya muak dengan keadaan seperti itu! Batin saya berteriak untuk lari. Tapi saya terikat kontrak kerja. Lalu saya harus bagaimana?

***

To be continue...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun