Mohon tunggu...
Rosiana
Rosiana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

A reluctant learner.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Suka Duka Menjadi Buruh Kimia (Part 2)

3 Maret 2019   20:43 Diperbarui: 30 Maret 2022   14:26 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ya begitulah pertentangan batin yang saya rasakan tanpa henti hingga membuat saya lelah. Jika tidak menemukan jawaban saya hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuatan dan kesabaran. Dengan begitu setidaknya saya bisa istirahat dengan tenang agar sanggup menjalani hari esok.

Keesokan harinya saya bangun. Saya ragu apakah harus berangkat kerja atau tidak. Jujur saja, saya masih takut jika harus berhadapan dengan atasan lagi. Saya masih belum sanggup jika harus diberi perkataan yang menohok seperti kemarin.

Tapi ah sudahlah, saya berusaha menepis semua ketakutan itu. Saya bangun monolog untuk meyakinkan diri saya dengan sepenuh hati,

"Hey Oci! Kamu harus belajar dewasa! Jangan takut! Yang kamu lakukan sudah benar. Selama kamu jujur, bertahanlah! Jika kamu memang tidak bisa ya jujur saja. Jika kemampuanmu hanya sebatas itu ya mengaku saja. Perkataan Bu Bos kemarin itu anggaplah saja sebagai pelajaran agar kamu tidak berhenti belajar! Oke, Ci? Ayo berangkat!"

Ya begitulah cara saya mengobati luka batin. Berdoa dan yakin. Tapi betapa pun saya berusaha meyakinkan diri, akhirnya saya menyerah. Menyerah karena saya tidak bisa lagi menikmati hari demi hari menjadi buruh kimia. Batin saya berkata, "Ini bukan dunia saya. Ini bukan tempat saya."

Bisa saja saya memilih bertahan. Tapi untuk apa bertahan tanpa mampu memetik makna? Untuk apa bekerja menghabiskan waktu hanya demi uang semata?

Sampai akhirnya ada satu titik di mana saya merasa kehilangan kebermaknaan menjadi buruh kimia. Dampaknya apa? Ya saya bekerja tanpa motivasi. Kosong. Seperti robot. Hanya bergerak, bergerak, bergerak sesuai arahan. Rasanya kreativitas saya sudah mati total. Saya muak dengan keadaan seperti itu! Batin saya berteriak untuk lari. Tapi saya terikat kontrak kerja. Lalu saya harus bagaimana?

***

To be continue...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun