Mohon tunggu...
Rosendah DwiMaulaya
Rosendah DwiMaulaya Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Universitas Darussalam Gontor

Penulis Amatiran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perspektif yang Berbeda

11 Juni 2024   23:44 Diperbarui: 12 Juni 2024   00:06 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah merasa heran dengan seorang murid di sekolah yang sulit sekali diajari sesuatu? Berkali-kali diterangkan, tak juga paham-paham. Berkali-kali disuruh mengerti, tak juga dapat mengerti. Sampai-sampai seorang guru merasa paling berjuang, mencoba berbagai hal, beragam usaha, tapi katanya sepertinya muridnya yang tak tahu diri. Tidak menghargai guru. Tidak serius mendengarkan penjelasan. Melengos ketika diterangkan. Atau malah bermain-main saat sang guru mengajar.

Bagaimana jika mereka ternyata hanya memerlukan perspektif yang berbeda. Setiap anak Istimewa dengan fitrah yang dibawanya. Namun, untuk mengembangkan bakat alamiah tersebut tak serta merta dapat disamaratakkan perlakuannya dengan anak-anak yang lain. Mereka menggunakan perspektif yang berbeda dalam memandang realitas sesuatu di sekitarnya. Sang guru pun perlu melihat dari kaca mata mereka untuk dapat menerangkan realitas sesuatu tersebut.

Tidak perlu ada label bebal, bodoh, tak tahu diri. Anak terbebal pun saat menemukan cara yang tepat untuk belajar, mereka dapat menjadi seseorang yang cemerlang. Tidak pernah ada yang menyangka seorang ilmuwan Thomas Alfa Edison adalah seorang anak yang dahulunya di-DO dari sekolah.

Kegagalan seorang guru adalah ketika ia tidak mampu memfasilitasi seluruh muridnya untuk berkembang. Hei, tapi tidak harus seluruhnya, kan? Jika sebagian besar murid di kelas berhasil mengembangkan potensinya dengan baik artinya sang guru berhasil, kan? Ah, iya, tentu tapi tidaklah sempurna.

Sangat jarang guru yang memberi perhatian khusus pada anak-anak yang tertinggal. Memberikan waktu yang lebih untuk mendekati mereka. Mencoba berkomunikasi, memberi dukungan moril yang berharga. Inklusifitas pendidikan saat ini masih rendah.  Penciptaan lingkungan yang aman dan ramah pada setiap anak  perlu menjadi perhatian untuk dapat menyentuh sisi afektif murid. Seorang guru harus mengondisikan hal tersebut. Sehingga, anak-anak dengan kemampuan khusus dapat merasa terayomi.

Kita tidak pernah tahu di tangan anak yang mana yang dapat mengubah peradaban dunia yang lebih baik. Maka dari itu, kita harus mengajarkan setiap murid di dalam kelas dengan porsi pemahaman yang sama meskipun melalui perspektif dan usaha  yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun