Mohon tunggu...
Roselina Tjiptadinata
Roselina Tjiptadinata Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Bendahara Yayasan Waskita Reiki Pusat Penyembuhan Alami

ikip Padang lahir di Solok,Sumatera Barat 18 Juli 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toleransi Harus Dimulai dari Diri Sendiri (Seri 2)

21 Desember 2020   04:38 Diperbarui: 21 Desember 2020   04:39 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama teman dari Pasaman Pak Muchtar Nurdin dan kawan kawan(dok pribadi)

Membuka Hati Menerima Perbedaan

Setelah nikah kami pindah ke Medan selama hampir dua tahun Kemudian kembali ke Padang dan berpindah pindah tempat tinggal Sampai pada tahun 1972 kami tinggal di Kampung Nias Pada masa itu, sisa sisa gaya hidup peninggalan jaman kolonial masih terasa kental,yakni warga hidup dalam berkelompok sesuai etnisnya 

Ada kampung Cina, Kampung Nias, Kampung Jawa ,Kampung Keling dan Banjar. Misalnya  etnis Cina tinggalnya di kampung  Cina,orang orang Nias tinggal dikampung Nias dan orang Keling atau India tinggal dikampung keling.dan yang lain tinggal di daerah lainnya. Kebanyakan orang Cina tinggalnya di daerah Pondok,Jalan Niaga ,kelenteng dan belakang Pondok.Sebagian mereka tinggal di Kampung Nias demikian juga dengan kami.

Pada masa itu ,menyebut nama "Kampung Cina" sama sekali tidak merasa ada yang salah .Belakangan baru diubah dengan sebutan "Kampung Tionghoa " 

makan bersama keluarga Kol Jamaris Jamaan Alm (dok pribadi)
makan bersama keluarga Kol Jamaris Jamaan Alm (dok pribadi)
Membuka Hati Menerima Perbedaan

Anak anak kami  tidak tahu kami itu orang asal etnis mana   ,karena tidak pernah membicarakannya . Yang mereka tahu kami adalah orang Indonesia. Dirumah kami berbicara bahasa Padang dan hubungan dengan para tetangga sangat dekat  Tidak ada tetangga yang memanggil saya dengan sebutan "Enci" atau "Koh " kepada suami, yang biasa digunakan sebagai pembeda etnis Cina .Semuanya memanggil bu dan pak.

Suatu waktu ,  ketika kami sedang  jalan kaki ,tiba tiba ada diteriaki oleh sekelompok  anak anak :" Hai Cino "  Kami tidak merespon ,tapi  putri kami yang waktu itu masih  kecil (Irvianti) langsung balas  berteriak pula :" Hai Cino "

Sehingga anak anak tersebut heran dan melihat kekami ,karena mereka merasa aneh kok diteriaki Cino pula. Akhirnya mereka diam Mungkin merasa salah sasaran.

Mendidik anak anak 

Untuk mendidik anak anak  mengenai hidup bertoleransi,  kami sengaja pindah dari zona nyaman dan nyaman  Yakni  dari Kampung Nias ke  Wisma Indah, yang merupakan daerah  pemukiman yang penduduknya hampir seratus persen  Muslim  Tidak ada etnis  Cina disana kecuali satu orang pak Solihin ,karyawan Bank BI. Awal kedatangan kami mengundang pak RT dan pak Lurah serta para tetangga  makan malam bersama  di rumah kami  Sejak saat itu sebagai pendatang ,kami  bergaul dengan penduduk setempat ,tanpa membedakan latar belakang sosial mereka Sehingga dalam waktu singkat kami sudah merasa aman dan nyaman ditempat tinggal yang baru 

Kami diterima penduduk sebagai warga baru yang disamakan dengan warga lama dimana kami setiap Hari lebaran merayakan lebaran karena itu kami merayakan 3 x dalam setahun hari Raya,yaitu Imlek,Lebaran dan Natal. Karena kalau imlek semua pengawai dan anak anak sekitar rumah pada berdatangan memberi selamat Imlek ,Bila Lebaran anak anak sekitar juga datang memberi selamat lebaran Begitu juga dengan hari Natal ketiga hari raya ini kami menyediakan angpao (uang yang dibungkus kertas merah) setiap tahun 3 kali .

bersama anggota Orari (dok pribadi)
bersama anggota Orari (dok pribadi)
Toleransi dalam beragama

Kami menyediakan tempat khusus untuk Sholat bagi teman teman dan langganan bisnis  yang datang dari kampung dan mampir kerumah kami Juga bagi teman teman sesama orari yang singgah dirumah . Adik Ipar saya seorang muslim dan juga datuk dari kaumnya .Oleh karena itu  kami tidak pernah memasak daging babi di rumah. Sehingga  teman teman tidak ragu bila kami undang makan bersama  Bila kami mau makan yang masakan mengandung daging babi, maka kami pergi kekampung Cina dan makan disana. 

Kesimpulan :

Untuk dapat hidup damai dalam keberagaman sudah kami terapkan sejak kami di Padang. Teman kami  berasal dari berbagai daerah dan beragam latar belakang sosialnya. Misalnya pak H.Andri dari  Pariaman. Pak Haji Jurmalus dari Padang Panjang,Haji Syamsuddin yang akrab dipanggil pak Sep asal  dari BatuSangkar,pak Kol Jamaris Jamaan dari Padang Panjang dan pak Kol Sugiri dari Jawa Tengah  dan bu Kiki Sianipar dari Tapanuli .

Kami tidak perlu lagi mengajarkan anak anak dengan berkothbah panjang lebar untuk mendidik anak anak tentang hidup bertoleransi  Karena mereka sudah belajar dari apa yang kami aplikasikan dalam kehidupan nyata Hingga mereka dewasa dan berkeluarga ketiga anak kami sudah terbiasa hidup dalam keberagaman Bahkan salah satu menantu cucu kami Gulce Bakri adalah gadis asal Turki yang beragama Islam. Begitu juga dengan beberapa keponakan kami.

Dalam keluarga besar  kami terdiri dari multi etnis ,namun tak sekali jua ada masalah dengan perbedaan etnis  ,budaya maupun beda agama  . Hidup damai dalam keberagaman sungguh merupakan hal yang sangat membahagiakan. 

21 Desember 2020.

Salam saya,

Roselina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun