Mohon tunggu...
Roselina Tjiptadinata
Roselina Tjiptadinata Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Bendahara Yayasan Waskita Reiki Pusat Penyembuhan Alami

ikip Padang lahir di Solok,Sumatera Barat 18 Juli 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Kita Malu karena Tidak Ikut Menyumbang?

18 Mei 2020   04:41 Diperbarui: 18 Mei 2020   04:49 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: fundraisingzone.com

Ataukah menyumbang demi gengsi?

Arti murni dari :"menyumbang" sesungguhnya adalah pemberian setulus hati. Tetapi kemudian hakekat dari kata "sumbangan " ini telah dicemarkan sejak diterbitkannya "Sumbangan wajib " yang secara resmi oleh pemerintah pada waktu itu. Sejak saat itu arti kata :"sumbangan" menjadi kabur dan kehilangan maknanya. 

Bahkan belakangan ini, wadah sumbangan,menjadi sarana untuk pamer kebaikan diri ataupun demi popularitas diri,yang dapat menyebabkan efek negatif bagi yang kondisi ekonominya morat marit 

Menyumbang dalam bentuk apapun,selama diberikan dengan tulus,tentu saja merupakan ajakan yang sarat rasa kemanusiaan ,serta patut mendapatkan dukungan dari kita semuanya. Kita ikut menyumbang sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita. bila ada sesuatu yang perlu disumbangkan bagi kepentingan orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita.

Menjadikan tenggang rasa untuk membantu orang menderita sebagai bagian dari tradisi ,tentu saja merupakan hal yang patut diapresiasi. Sangat disayangkan,belakangan ,wadah yang diawali dengan niat baik,telah berubah arah menjadi ruang pamer diri .

Menjadi Tradisi

Untuk menyumbang ini dilakukan di WAG dengan mencantumkan nama nama si penyumbang dan jumlah sumbangan yang diberikannya.Hal mana membuat si penyumbang merasa gengsi kalau menyumbang kecil jadi diusahakan menyumbang tidak kalah dari orang lain.Sebagai contoh,diedarkan sebagai berikut :

Rembulan - Rp.500.000

Mentari      - Rp.500.000 

Bintang       - Rp.200.000 

Kalau secara wajar mengedarkan daftar sumbangan ini,tentu tidak menjadi masalah. Tapi sayangnya ,satu persatu dari anggota WAG ditanyai :"Hai John, anda nggak ikut menyumbang? Koq  pelit amat? Cuma sebungkus nasi rames ,masa iya nggak mampu? Dan kemudian suasana ini "dihangatkan" lagi dengan komentar yang bernada bercanda,tapi secara psikologis telah menyebabkan yang "ditodong" untuk menyumbang,merasa tertekan bila tidak ikut menyumbang,

Nah, kalau sudah disodorkan daftar begini,apakah orang tidak akan merasa malu bila menyumbang hanya Rp.50.000? Maka demi menjaga image ,agar jangan sampai dianggap remeh oleh teman teman satu grup,akhirnya  memakasa diri untuk ikut menyesuaikan sumbangan ,menimal  dengan jumlah nominal yang paling rendah,yakni Rp.200.000.--Padahal uang tersebut sesungguhnya untuk biaya hidup bagi anak istrinya. 

Karena itu,belakangan ini, kami tidak pernah lagi ikut dalam daftar sumbangan, karena menyaksikan efek negatif yang diakibatkan Rp.100.000 bagi kami, hanya 10 dolar, yakni harga secangkir kopi di Australia, tapi bagi orang yang sedang hidup berkekurangan, boleh jadi uang sejumlah itu, dapat dimanfaatkan untuk makan sehari bagi sekeluarga .

Tidak hanya sekali dalam sebulan

Sumbangan sumbangan ini bukan sekali dalam sebulan, melainkan  sering sekali  terjadi di  WAG, yakni meminta kesediaan anggota untuk menyumbangkan dana untuk daerah daerah yang sedang ditimpa musibah  atau memperlihatkan potret seseorang sedang tergolek sakit entah siapa dan dimana?

Tentu saja kegiatan kemanusiaan ini patut mendapatkan apresiasi dari kita, Tetapi bukanlah berarti kita harus memaksa diri untuk terus ikut menyumbang, bilamana kondisi ekonomi kita tidak mampu untuk mengikuti langkah tersebut. Karena seharusnya kepentingan keluarga adalah merupakan prioritas pertama kita.

Kesimpulan

Menyumbang  adalah memberikan dengan seikhlasnya dan sesuai dengan kemampuan diri .Kalau memang kita mampu tentu saja tidak ada salahnya berlomba lomba dalam berbuat  kebaikan. 

Tetapi tentu tidak harus memaksa diri untuk menyumbang ,sehingga uang yang sesungguhnya dibutuhkan untuk kebutuhan biasa dapur bagi keluarga dikorbankan, hanya karena kita tidak mau kalah gengsi dengan teman teman lain. Sehingga akibatnya menyebabkan kehidupan rumah tangga berantakan.

Kita tidak harus memberikan penjelasan ,mengapa kita tidak ikut menyumbang..Karena tidak ada seorangpun yang berhak untuk memaksa kita menyumbang,bukankah demikian?

18 Mei 2020.

Salam saya,

Roselina

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun