Kalah dan Mengalah adalah hal yang berbeda
Kebanyakan orang berpendapat kalau di atas 50 tahun sudah dianggap lansia dan sudah mulai tidak produktif lagi dalam segala hal. Memang ada tipe orang semacam itu, yang merasa sudah tua sebelum waktunya. Di saat usianya semakin bertambah, justru semangat hidupnya terus merosot.
Maka terjadilah seperti yang dikenal dengan istilah "penuaan dini". Bukan hanya tampilan yang loyo, tapi juga cara berpikir dan gerakan menjadi lamban dan tak mampu hidup mandiri, apalagi bila harus bersaing dengan orang lain.
Tergantung pada pribadi masing-masing
Tetapi pendapat orang jangan sampai memengaruhi kehidupan pribadi kita. Dalam kenyataan di dalam hidup tidaklah demikian karena ada faktor lain yang menentukan, tergantung apakah yang bersangkutan aktif atau tidak.
Semua orang tahu seorang yang sudah termasuk kategori lansia dianggap sudah boleh pensiun dalam hal pekerjaan, karena dulu laki-laki pensiun di umur 60 sedangkan wanita pensiun di umur 55 tahun. Oleh karena itu banyak yang berpendapat kalau sudah melewati usia 50 terutama wanita tidak produktif  lagi.
Beda dengan zaman now, di mana pensiun di umur 65 bagi wanita dan untuk pria umur 70 tahun. Karena itu wanita usia 50 ke atas masih diberi kesempatan untuk bekerja di kantor atau tempat tempat lain sesuai dengan pengalamannya.
Berbagi pengalaman hidupÂ
Ketika kami pindah dari Padang ke Jakarta, usia saya sudah mendekati angka 50 atau tepatnya 47 tahun. Di mana kami berusaha dengan membuka usaha stasioneri, dengan berkantor di Lokasari Plaza untuk mengisi proyek ke berbagai perusahaan di  Cikarang, yang mana berlangsung sampai tahun 1996.
Tapi karena kami tidak biasa dengan permaianan proyek, yang bertentangan dengan hati nurani, maka walaupun menjanjikan keuntungan yang mengiurkan, tapi kami memutuskan untuk menghentikan usaha ini. Â
Karena sudah terbiasa sejak masih muda sudah ada jadwal kerja dari pagi hingga petang, rasanya sangat tidak nyaman bagi saya hanya duduk sepanjang hari di rumah, tanpa ada kegiatan yang berarti. Karena itu, pada tahun 1997 saya minta izin kepada suami untuk bekerja di perusahaan assuransi AIG Lippo sebagai tenaga Financial Consultant.
Pada awalnya, teman-teman sesama kerja yang rata-rata usia mereka jauh di bawah saya, mengetahui usia saya sudah 54 tahun mengatakan bahwa tidak mudah berkerja di bidang ini. Karena selain dari faktor usia, juga saya adalah pendatang baru . Bukan hanya di Jakarta, tapi juga baru di bidang pekerjaan ini.
Boleh dikatakan, saya mulai dari nol besar dalam hal pengetahuan di bidang asuransi. Biasanya yang maju dalam usaha asuransi kebanyakan anak anak muda yang gesit. Apalagi saya adalah pendatang baru yang sama sekali belum pernah bekerja di bidang ini.
Saya cuma tersenyum saja menanggapi pendapat mereka. Tapi saya bertekad dalam hati akan membuktikan pada teman-teman bahwa bagi saya usia bukan halangan untuk bisa berkarya. Saya tidak kalah dibandingkan teman-teman yang muda dan cantik-cantik, bahkan mungkin saya bisa mengalahkan mereka.Â
Membuktikan tekad, perlu kerja kerasÂ
Pada mulanya memang saya merasa mengalami berbagai kesulitan dalam mengawali pekerjaan di bidang ini. Karena itu saya berusaha keras untuk belajar dan menguasai product knowledge. Bagaimana mungkin orang mau membeli suatu produk bila yang menjualnya saja tidak tahu dengan jelas apa manfaatnya?
Saya mulai belajar tentang istilah yang sama sekali baru bagi saya. Walaupun sudah bekerja mendampingi suami selama belasan tahun di bidang finansial ketika suami berusaha di bidang ekspor biji kopi dan rempah-rempah, tapi bidangnya berbeda banget.
Yang mana saya mulai mencoba menawarkan pada pada seorang penjual martabak. Saya jelaskan secara rinci manfaat masuk asuransi, sehingga akhirnya ia bersedia masuk asuransi yang saya tawarkan kepadanya.
Maka saya berpikir kalau kita benar-benar yakin akan produk yang kita tawarkan, tidak ada orang yang tidak percaya. Saya pun mulai mengunjungi teman-teman saya.
Usaha dan kerja keras saya selama tiga tahun ternyata membuahkan hasil. Pada tahun yang ketiga bekerja, saya mencapai predikat Champion Honor. Berarti saya berhak ikut tour AIG ke luar negeri dengan membawa pasangan saya secara gratis.
Perjalanan pertama adalah ke Gold CoastÂ
Pada waktu itu kantor tempat saya bekerja, yang lokasinya di Jalan Suryopranoto -Jakarta, berada di predikat no 29 dari seluruh kantor cabang di Indonesia. Karena saya bisa mencapai Champion Honor dalam tahun ketiga, sekaligus ikut mendongkrak peringkat dari kantor cabang di mana kami bekerja, maka pimpinan kami, Pak Simon, menyampaikan harapannya bahwa suatu waktu  kantor cabang kami bisa mendapat predikat no 1 dari seluruh Indonesia.
Untuk memotivasi seluruh karyawan mana di dinding di tempelkan dengan huruf mencolok tulisan "To be number one !". Semua  teman-teman hanya tertawa mendengarnya, tapi saya dan Pak Simon yakin benar bahwa impian tersebut akan jadi kenyataan.
Impian yang menjadi kenyataan
Selanjutnya tahun berikutnya saya mencapai juga Champion Honor berarti saya boleh tour bersama AIG ke Perth  dengan pendamping yakni suami sendiri. Efeknya ternyata kantor cabang di mana kami berkerja ikut meroket, dari nomor 29 di antara seluruh kantor cabang, kini menjadi nomor 1 seperti impian kami.
Sungguh menakjubkan bahwa apa yang diyakini dan dikejar dengan kerja keras dan sesungguh hati, akhirnya impian yang awalnya menjadi bahan ketawaan bagi orang lain, terbukti menjadi kenyataan.
Pada tahun ketiga saya masih mencapai Champion Honor dan boleh tour ke Shanghai China. Jadi berturut-turut 3 tahun saya mendapatkan Champion Honor mengalahkan terman-teman yang masih muda dan berprestasi.
Kalau pada awalnya saya dianggap hanya sebagai wanita yang menghabiskan waktu dengan bekerja, kini justru saya setiap hari Senin diminta untuk menjadi pembicara di depan seluruh karyawan untuk memotivasi mereka, bahwa usia bukanlah halangan untuk berkarya.
Ketika saya lagi asyik-asyiknya menikmati berada di puncak prestasi dengan penghasilan fantastis setiap bulan, belum lagi bonus setiap 3 bulan dan travelling ke luar negeri secara gratis, tiba-tiba saya dihadapkan pada suatu hal yang paling berat. Suami menanyakan kesediaan saya untuk meninggalkan pekerjaan dan mengikuti suami keliling Indonesia untuk mengajar.
Sejujurnya pada awalnya saya sempat tersentak, walaupun sesungguhnya jauh sebelum ini, suami sudah pernah menceritakan kepada saya hasrat hatinya untuk mengelilingi seluruh Indonesia. Tapi tak urung, hati saya menjadi ciut.
Saya minta waktu kepada suami untuk memberikan jawabannya. Sungguh merupakan sebuah pilihan yang teramat berat bagi saya, yakni memilih bersedia kehilangan semua penghasilan yang sudah saya capai tiap bulan demi untuk mendampingi suami?
Padahal bila saya melanjutkan, maka akan mendapatkan pensiun 2,5 tahun lagi tanpa bekerja, mendapatkan penghasilan setiap bulannya. Ikut suami, berarti tidak akan ada lagi tepuk tangan setiap kali saya selesai memberikan motivasi setiap Senin pagi dan tidak akan ada lagi jalan jalan gratis ke luar negeri.
Tapi seandainya saya tetap melanjutkan karier, sementara suami akan melakukan perjalanan seorang diri, sungguh tidak tega saya memikirkan hingga ke sana. Akhirnya dengan ikhlas saya meninggalkan karier dan mendampingi suami. Karena apalah artinya uang dan popularitas, bila saya harus kehilangan keharmonisan rumah tangga?
KesimpulanÂ
Tidak ada  yang tidak mungkin di dunia ini, asal kita benar-benar yakin dan berusaha. Usia boleh bertambah, tapi bukan berarti semangat hidup ikut menua. Dan ketika tiba saatnya berada di persimpangan jalan, di mana dhadapkan pada pilihan antara karier dan suami, maka bagi saya rasa keharmonisan rumah tangga adalah di atas segala-galanya. Apalah artinya karier, bila kita kehilangan orang yang dicintai?
16 Maret 2020.
Salam saya,
Roselina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H