Mohon tunggu...
Rose putih
Rose putih Mohon Tunggu... Lainnya - pembelajar

Laki-laki yang mencoba menjadi pembelajar dengan terus belajar apa saja dan menulis yang diminati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru MTs Bantul: Yuk Belajar Nulis Cerpen kepada Prof. Dr. Suminto A Sayuti

8 September 2024   23:24 Diperbarui: 19 September 2024   05:37 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syamsul Maarif, guru MTsN 8 Bantul/ foto:dokumen pribadi

“Inspirasi memberimu keinginan. Keputusan menjadikannya sebuah tujuan. Tindakan menjadikannya nyata.” – Joe Vitale

Bantul-(MTsN 1 Bantul)

"Berapa jarak Sewon dan Kaliaurang?
Empat puluh kilometer.
Itu jawaban matematis!
Berapa Jarak antara Sewon dan Kaliurang? adalah jarak antara hatimu dan hatiku yang berdegup bersama, di waktu yang sama.
Itu kalimat puisi. Uraikan menjadi cerpen. Judulnya Jarak.

Cerpen ini kuberi judul Jarak. Tapi pembaca budiman jangan keliru, Jarak ini bukan nama tanaman. Ini adalah Jarak antara rumahku dengan rumahmu. ....
Lanjutkan kalimat-kalimat itu! Maka jadilah sebuah cerpen."

Itulah salah satu contoh mengawali menulis cerpen yang diberikan Prof. Dr. Suminto A Sayuti dalam acara "Pelatihan Menulis Cerpen Berwawasan Kebhinekaan" di hadapan guru-guru Bahasa Indonesia MTs se-Kabupaten Bantul, Selasa, 23 Juli 2024 di aula MTsN 4 Bantul.

Keragaman Peyek mbok Tumpuk dan Peyek Jingking

Profesor yang sastrawan itu memulai dengan cerita keragaman yang sengaja dipilih sebagai tema dalam pelatihan menulis cerpen yang diselenggarakan PPM FBSB UNY bekerja sama dengan MGMP Bahasa Indonesia MTs Kabupaten Bantul. Pelatihan yang diikuti 60 guru itu juga dihadiri oleh  kepala MTsN 4 Bantul, Sugeng Muhari, S.Pd.Si, M.Pd. dan Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kemenag Bantul, Ahmad Musyadad, S.Pd.I., M.S.I. Sebanyak 4 guru MTsN 1 Bantul juga tak mau ketinggalan mengikuti acara ini. Mereka Adalah Wicaksono, Noor Aini, Anuk Kuswanti dan Rusmantara.

Prof.Dr. Suminto A Sayuti, dan Andrian Eka Saputra. foto:dokumen pribadi
Prof.Dr. Suminto A Sayuti, dan Andrian Eka Saputra. foto:dokumen pribadi

"Kalau saya ke Bantul saya ingat peyek mbok tumpuk. Suatu hari saya dapat peyek jingking dari Pundong. Ini susu Boyolali (melihat Andriyan Eka Saputra, guru MTs dari Boyolali). Ada susu wonosobo (melirik Ridho, dosen UNY asal Wonosobo). Peyek mbok tumpuk dengan peyek jingking merupakan contoh keragaman. Walaupun sama-sama peyek, semuanya enak. Tidak bisa peyek mbok tumpuk diukur dengan peyek jingking Pundong. Karawitan Jogja dengan karawitan Solo tidak bisa dibandingkan. Semuanya baik." ujarnya.

Penulis antologi puisi Malam Taman Sari itu mengurai lebih lanjut tentang keberagaman. Menurutnya Indonesia memiliki beratus bahasa lokal. Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo bahkan mengemukakan bahwa Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, sebagaimana dirilis di situs https://www.kemdikbud.go.id 30 Januari 2024. Hal itu disebabkan Indonesia memiliki beribu pulau dan suku bangsa.

"Kita memiliki satu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pembebasan kita semua dari telikung lokalitas kita masing-masing. Bayangkan saja! Saya ke Papua ditanya: ko ma, ko pi mana? Tidak ngerti saya. Padahal maksudnya kau mau pergi ke mana. Harusnya jawabnya sa pi kofa (saya pergi ke kota).  (seperti juga kalimat) Ngo di ko no (nanti dulu), maring ngendi ko (mau pergi ke mana), maka perlu ada Bahasa Solo Jogja. Supaya membebaskan telikung dari Jawa lokal Banyumas. Bahasa Indonesia fungsinya ya seperti itu"

Keragaman Siswa Kebersamaan Pecel Kungkum

Ketika ada siswa rumahnya jauh, siswa tersebut harus masuk pukul 07.00 akan berbeda dengan siswa yang rumahnya dekat. Andri misalnya, harus berangkat jam setengah enam pagi karena takut terlambat di sekolah. Dia tidak sempat sarapan. Lalu mencari sarapan di warung pinggir jalan. Andre meminta diwungkuske (dibungkuskan) nasi gudeg. Tidak munkin dia minta soto wungkus, kecuali pecel. Itu pun bukan pecel kungkum.

Cerita sayur pecel kungkum yang disebut itu menurut salah satu anggota komunitas Persada Studi Klub Yogyakarta pimpinan Umbu Landu Paranggi ini, adalah makanan yang selalu dia pesan di FKKS ketika masih kuliah. Bersama Cunong Nunuk Suraja, Suminto A Sayuti  selalu menikmati enaknya pecel kungkum. 

Apa itu pecel kungkum? Pecel kungkum adalah pecel yang disiram kuah soto. Proses bersatunya pecel dan kuah soto itu adalah kebersamaan atau dialog. Setiap orang perlu berdialog, bertegur sapa dengan orang lain. Orang lain, liyan (jawa), the other (inggris) sangat diperlukan untuk merajut kebersamaan. Bebrayan, community, akan terbangun bila ada liyan, ada orang lain, the other. Cara membangunya dengan tegur sapa, give and take. Itulah menurutnya yang disebut Bhineka Tunggal Ika.

Tim PPM UNY, Ahmad Musadad, Sugeng Muhari. foto:dokumen pribadi
Tim PPM UNY, Ahmad Musadad, Sugeng Muhari. foto:dokumen pribadi

Menurut Pak Minto, sebutan akrabnya, tema keragaman sudah mengemuka sejak lama. Saat program SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) dicanangkan tahun 2000, Suminto berkeliling dari Aceh sampai Atambuwa dengan sastrawan lainnya seperti Taufik Ismail, dan di solo dia bersama Emha Ainun Nadjib, di Manado Bersama Mariani Katopo. Kegiatan selama 7-9 tahun tersebut merupakan peristiwa menjelajahi keragaman bangsa Indonesia.

Indonesia Lahir daru Rahim Kebudayaan

Lebih rinci dosen UNY ini meyakinkan bahwa bangsa Indonesia pertama kali dilahirkan dari rahim kebudayaan 28 oktober 2028. Lalu baru dilahirkan kembali lewat rahim politik pada 17 Agustus 1945. Keduanya menggunakan dua puisi besar yang bernama sumpah pemuda, dan proklamasi. Teks sumpah pemuda, teks proklamasi ditulis seperti layaknya puisi. Soekarno yang membaca teks proklamisi, menurutnya persis seperti orang membaca puisi. Bangsa Indonesia ini dilahirkan dari Rahim sastra budaya.  

Lakukan Menulis: ngelmu itu kelakone kanthi laku

Guru besar Fakultas Bahasa dan Seni dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta ini menyemangati para peserta. Siapapun yang tahu bahasa, pasti dapat nulis cerpen. Apalagi cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek. Cerita itu, dicari-cari supaya kelihatan nyata. Menulis cerita bisa bermula dari peristiwa keseharian. Dalam ilmu sosiologi sastra ada pernyataan: sastra itu membayangkan kenyataan.

Dia mengajak peserta pelatihan untuk melaksanakan seperti yang dikemukakan dalam tembang macapat Pucung, ngelmu iku kelakone kanthi laku, (Ilmu itu hanya dapat diraih dengan cara dilakukan dalam perbuatan). Bukan ngelmu iku kelakone kanthi celatu, (ilmu itu diraih dengan berbicara). Ungkapan ini bermula dari Serat Wulangreh yang dibuat oleh Pakubuwono IV. Dia pun menekankan kepada guru-guru untuk melakukan perbuatan yaitu menulis. Yang lebih penting nglakoni (melaksanakan menulis).

guru-guru MTs. foto:Suratmi
guru-guru MTs. foto:Suratmi

Menulis dimulai dari mana saja

Menurut penulis buku ajar Berkenalan dengan Prosa Fiksi ini, menulis cerita tidak harus dimualai dari kalimat "Pada suatu hari." Melulis cerpen dapat dimulai dari apa yang ada di diri kita, dari pengalaman kita, pengalaman para siswa. Kita hendaknya merombak cara-cara harus dimulai dari A, B, C, D, dan seterusnya. Mulai menulis dari D juga bisa; Cerpen dimulai dari dialog. misalnya dari pertanyaan: Ko pi mana? sa pi kofa. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya.  

Menulis cerpen bisa juga dari dialog yang dialami pada peristiwa keseharian. Lulu sastrawan yang berasal dari Purbalingga ini memberi contoh. "Saya tanya pada mas Andre. Ini waktunya berapa menit? Terserah Bapak. Dua orang itu sedang membicarakan sesuatu yang rahasia rupanya. Mereka akan gantian nunggu ...... Tulis saja. Itu kan sudah mulai nulis cerpen!" ujar Pak Minto dengan semangat. 

Dia menceritakan bahwa dirinya tatkala masih mahasiswa tahun 1970-an banyak menulis cerpen di harian Suara Karya, Berita Buana, Al Masaki/Masa Kini di Yogya. Karena tidak puas akhirnya dia lari ke puisi. Masa-masa itu Suminto menulis bersamaan dengan sastrawan seangkatnya yaitu Imam Budi Santosa, Cak Nun, Mustofa W Hasyim, dan Sigit Sugito dari Bantul.

Keragaman Sunatullah dan Siapa saja dapat menulis

"Siapapun bagi yang tahu bahasa pasti bisa menulis. Satu, iso cerito (bisa bercerita) dalam pengertian tuturan cerita. Dua, bisa menulis apabila ada kemauan menulis. Masalahnya itu hanya ingin. Aku pingin tenan pak. (saya ingin sekali menulis Pak?) Cuma serbatas keinginan. Tidak akan jadi cerpen!"  

Penulis buku Resepsi Sastra ini menjelaskan lebih lanjut bahwa  apapun bisa diceritakan. Tetapi dalam penulisan kali ini, dibatasi tematik kebhinekaan/keberagaman. Sebuah kata yang akhir-akhir ini dimaknai berbeda padahal keragaman itu sunatullah. Menurutnya dirinya dengan timnya (Else Liliani, Kusmarwanti, Ridho) punya kesamaan sebagai dosen dan kesamaan sebagai pendidik dengan para guru. Dari persamaan itu terdapat nuansa perbedaan.  Perbedaan Itu sunatululah. Jika ada perbedaan Anda harus mengakomodsasi dan mensyukuri. Itulah nilai yang perlu ditanamkan sebagai nilai dasar kepada siswa. Nilai dasar bahwa perbedaan sunatullah dan harus kita syukuri.

Syamsul Maarif, guru MTsN 8 Bantul/ foto:dokumen pribadi
Syamsul Maarif, guru MTsN 8 Bantul/ foto:dokumen pribadi

Ketika mengajar budaya, tepatnya kajian budaya di UMS Solo, Suminto selalu menyerukan bahwa seluruh budaya lokal Nusantara itu baik semua. Serat-serat budaya lokal di mana pun di Nusantara semuanya baik. Serat-serat itu harus ditenun menjadi satu karpet merah sebagai jalan menuju Indonesia. Itu wujud dari keragaman. Menurutnya, tidak bisa dikatakan bahwa Jawa lebih unggul dari Sumatera, lebih unggul dari Sulawesi.  

"Bapak ibu kalau kita ke Sumatera kita melewati Selat Sunda. Kalau dalam Bahasa geografis selat Sunda adalah selat yang memisahkan Jawa dan Sumatera. Selat Sunda itu kan, selat yang menyatukan hatimu dan hatiku. Karena apa? Karena kita NKR." tegasnya.

Kemudian sastrawan yang menguasai dunia pewayangan ini memberi contoh. Andre yang sarapan di kampus atau siswa yang tempat tinggalnya jauh dan belum sarapan pasti beda dengan siswa yang dekat dengan sekolah. Perlakuan kepada keduanya di dalam kelas harusnya berbeda karena pada manusia ada individual deferensis (menurut teori pendidikan). Itulah pentingnya guru harus memahami keadaan siswa. Semua siswa sarapan, yang satu sarapan dengan lauk tempe garit, satunya krupuk. Guru harus mengakomodasi perbedaan itu semua. Hal Itu dinamakan keberagaman.

Dalam budaya Jawa menurutnya ada gending kaduk reno. Dalam geding itu terdapat kalimat banjaran sari.  Sari yang bermacam macam itu menjadi satu. Serat budaya lokal di tiap daerah harus dijahit menjadi satu karpet merah bernama Indonesia.

Usulan keberagaman buat Jokowi

Tema keberagaman menurut Suminto telah digenjarkan sejak dahulu. Ketika pertama kali Jokowi menjadi presiden (tahun 2014) dirinya bersama Abdul Munir Mulkan, Prof Nirwan Abdullah (prof antropologi UGM), Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga dan Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah diminta memberi masukan menjelang 17 Agustus 2014. Suminto mengusulkan supaya Jokowi mengambil kebijakan seperti ini:

"Teman-teman dan siswa dari Aceh, Sumatera, hendaknya membaca Babad Tanah Jawi. Sementara itu, kita yang ada di Jogya hendaknya membaca Sabai nan Aluih, Contohnya seperti itu. Itu artinya apa? Ada tegur sapa. Tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Tidak, Kita egaliter, sama, sejajar. Caranya itu bagaimana kita memotivasi. Termasuk ketika kita membelajarkan cerpen kepada siswa atau mahasiswa. Bahwa kalian semua pasti bisa. Masalanya mau atau tidak. Siapapun yang menguasai bahasa pasti bisa menulis," ujarnya.

Prof.Dr. Suminto A Sayuti, Kusmarwanti, S.S., M.Pd., M.A., Dr. Else Liliani, M.Hum Foto:dokumen pribadi
Prof.Dr. Suminto A Sayuti, Kusmarwanti, S.S., M.Pd., M.A., Dr. Else Liliani, M.Hum Foto:dokumen pribadi

Penulis Jangan merangkap jadi Kritikus

Ketika menjawab pertanyaan dari peserta yang merasa tulisannya selalu kurang bermutu saat berproses menulis, Suminto pun menjawab dengan tegas. Penulis itu jangan merangkap menjadi kritukus. Tugas penulis hanyalah menulis. Menulis yang lebih banyak lalu sodorkan kepada kritikus biar kritikus yang menilai, yang mana diantara karya itu yang pantas dibukukan dan diperkirakan akan menarik khalayak.

"Dimana-mana dari Sabang sampai Atambua pertanyaannya selalu sama dan jawabnyanya juga sama. Anda baru mau menulis sudah punya keinginan mempunyai jabatan ganda: penulis dan kritikus.

"Sama dengan ketika saya memberikan workshop penulisan karya ilmiah. Sama seperti itu."

" Ingin bicara masalah pendidikan di Indonesia. Ini nulisnya dari mana pak? Ya, dari pertanyaanmu itu: Membicarakan Pendidikan di Indonesia merupakan benang ruwet yang tidak habis diurai. Itulah kalimat pertamanya."

"Apa yang menggejala di pikiran Anda, baik berupa tokoh, latar, konfliks dan seterusnya itu yang pertama dituliskan. Tidak harus dimulai dengan tema. Tema bisa lahir dalam proses penulisan. Tema bukan sebuah otopia kecil. Anda jangan jadi Machiaveli cerpen. Pingin cerpen yang kita tulis lancar. Ada fluency, nanti akan sambung menyambung seperti Indonesia. Sambung menyambung menjadi satu. Itulah cerpen kita, dari tokoh, latar dan seterusnya. Jangan bicara bahwa latar harus netral, latar harus spiritual. Itu dengan sendirinya akan muncul.  Teringat misalnya ada koleksi ingatan yang tiba-tiba mendesak minta dikeluarkan melalui tulisan, Keluarkan," urai Suminto untuk memotivasi peserta.

Memulai dari tokoh cerita

Ada penjelasan lebih lanjut dari dosen yang tinggal di Pakembinangun, Kaliurang ini. Dia menekankan jangan berpikir mulai menulis dari mana. Hal terpenting dalam cerpen adalah tokoh. Tokoh melahirkan peristiwa. Peristiwa Bersatu padu membangun alur. Terjadinya kapan dan di mana itu berupa setting atau latar. Menurutnya pengertian tokoh jangan dibatasi sebagai manusia. Tokoh bisa berwujud pohon, demit, sungai. Misalnya, manusia jahat kepada alam lalu sungainya marah sehingga muncul banjir. Dalam cerita tersebut sungai dapat menjadi tokoh.

Hal yang penting lainnya, penulis harus bisa membedakan antara peristiwa dan kejadian. Peristiwa menyangkut manusia yang jadi tokohnya sedangkan kejadian biasanya tokoh cerita menyangkut non manusia.

Metode menulis copy the master

Ada satu cara menulis cerpen dengan metode copy the master. Menulis model ini adalah menulis dengan mengikuti cara pendekar cerpen menulis. Pak Minto mencontohkan cerpen-cerpen yang ditulis oleh Umar Kayam. Seorang penulis jangan  berpegang pada pendapat bahwa cerpen harus ada endingnya seperti dongeng. Subuah cerpen tidak harus berakhir dengan simpulan atau akhir cerita yang jelas. Akhir ceria dapat juga menggantung. Penyelesaiannya terbuka dan diserahkan pembaca untuk meneruskan di pikiran pembaca masing-masing.

Di akhir tuturannya Prof Dr. Suminto Ahmad Sayuti ini menekankan untuk menulis dengan bahan dari peristiwa yang dialaminya atau diamati dari peristiwa yang ada di sekitarnya. Untuk memberi contoh cara ini, dia menceritakan Bakdi Sumanto yang menulis cerpen berjudul "Doktor Plimin". Suminto diminta memberi pengantar buku Kumpulan cerpen ini sebelum diterbitkan oleh penerbi Grasindo tapi dia menolak. Alasannya jelas bahwa cerpen ini mengambil kehidupan dirinya. Menurut dugaannya Bakdi Suminto selalu mengamati dirinya sebelum menulis cerpen tersebut.

" Bertolaklah dari kenyataan. Bapak Ibu silakan amati apapun untuk dijadikan cerpen. Tak ada teori: saya belum dapat inspirasi. Inspirasi itu urusan Nabi. Inspirasi bagi kita itu namanya dorongan mencipta. Inspirasi harus kita jemput, bukan datang dengan sendirinya. Dimanapun ada inspirasi. Dalam teori namanya the act of will (Tindakan atau kehendak) untuk menjemput dorongan mencipta bagi diri sendiri."

Begitulah kiat-kiat menulis cerpen dari Prof Dr. Suminto A Sayuti yang saya rekam kembali. Semoga menginspirasi. Salam literasi. Salam waras tuk menumbuhkan karakter anak bangsa. (jae)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun