Mohon tunggu...
Rose putih
Rose putih Mohon Tunggu... Lainnya - pembelajar

Laki-laki yang mencoba menjadi pembelajar dengan terus belajar apa saja dan menulis yang diminati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru MTs Bantul: Yuk Belajar Nulis Cerpen kepada Prof. Dr. Suminto A Sayuti

8 September 2024   23:24 Diperbarui: 19 September 2024   05:37 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim PPM UNY, Ahmad Musadad, Sugeng Muhari. foto:dokumen pribadi

Kemudian sastrawan yang menguasai dunia pewayangan ini memberi contoh. Andre yang sarapan di kampus atau siswa yang tempat tinggalnya jauh dan belum sarapan pasti beda dengan siswa yang dekat dengan sekolah. Perlakuan kepada keduanya di dalam kelas harusnya berbeda karena pada manusia ada individual deferensis (menurut teori pendidikan). Itulah pentingnya guru harus memahami keadaan siswa. Semua siswa sarapan, yang satu sarapan dengan lauk tempe garit, satunya krupuk. Guru harus mengakomodasi perbedaan itu semua. Hal Itu dinamakan keberagaman.

Dalam budaya Jawa menurutnya ada gending kaduk reno. Dalam geding itu terdapat kalimat banjaran sari.  Sari yang bermacam macam itu menjadi satu. Serat budaya lokal di tiap daerah harus dijahit menjadi satu karpet merah bernama Indonesia.

Usulan keberagaman buat Jokowi

Tema keberagaman menurut Suminto telah digenjarkan sejak dahulu. Ketika pertama kali Jokowi menjadi presiden (tahun 2014) dirinya bersama Abdul Munir Mulkan, Prof Nirwan Abdullah (prof antropologi UGM), Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga dan Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah diminta memberi masukan menjelang 17 Agustus 2014. Suminto mengusulkan supaya Jokowi mengambil kebijakan seperti ini:

"Teman-teman dan siswa dari Aceh, Sumatera, hendaknya membaca Babad Tanah Jawi. Sementara itu, kita yang ada di Jogya hendaknya membaca Sabai nan Aluih, Contohnya seperti itu. Itu artinya apa? Ada tegur sapa. Tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Tidak, Kita egaliter, sama, sejajar. Caranya itu bagaimana kita memotivasi. Termasuk ketika kita membelajarkan cerpen kepada siswa atau mahasiswa. Bahwa kalian semua pasti bisa. Masalanya mau atau tidak. Siapapun yang menguasai bahasa pasti bisa menulis," ujarnya.

Prof.Dr. Suminto A Sayuti, Kusmarwanti, S.S., M.Pd., M.A., Dr. Else Liliani, M.Hum Foto:dokumen pribadi
Prof.Dr. Suminto A Sayuti, Kusmarwanti, S.S., M.Pd., M.A., Dr. Else Liliani, M.Hum Foto:dokumen pribadi

Penulis Jangan merangkap jadi Kritikus

Ketika menjawab pertanyaan dari peserta yang merasa tulisannya selalu kurang bermutu saat berproses menulis, Suminto pun menjawab dengan tegas. Penulis itu jangan merangkap menjadi kritukus. Tugas penulis hanyalah menulis. Menulis yang lebih banyak lalu sodorkan kepada kritikus biar kritikus yang menilai, yang mana diantara karya itu yang pantas dibukukan dan diperkirakan akan menarik khalayak.

"Dimana-mana dari Sabang sampai Atambua pertanyaannya selalu sama dan jawabnyanya juga sama. Anda baru mau menulis sudah punya keinginan mempunyai jabatan ganda: penulis dan kritikus.

"Sama dengan ketika saya memberikan workshop penulisan karya ilmiah. Sama seperti itu."

" Ingin bicara masalah pendidikan di Indonesia. Ini nulisnya dari mana pak? Ya, dari pertanyaanmu itu: Membicarakan Pendidikan di Indonesia merupakan benang ruwet yang tidak habis diurai. Itulah kalimat pertamanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun