Menulis dimulai dari mana saja
Menurut penulis buku ajar Berkenalan dengan Prosa Fiksi ini, menulis cerita tidak harus dimualai dari kalimat "Pada suatu hari." Melulis cerpen dapat dimulai dari apa yang ada di diri kita, dari pengalaman kita, pengalaman para siswa. Kita hendaknya merombak cara-cara harus dimulai dari A, B, C, D, dan seterusnya. Mulai menulis dari D juga bisa; Cerpen dimulai dari dialog. misalnya dari pertanyaan:Â Ko pi mana? sa pi kofa. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Â
Menulis cerpen bisa juga dari dialog yang dialami pada peristiwa keseharian. Lulu sastrawan yang berasal dari Purbalingga ini memberi contoh. "Saya tanya pada mas Andre. Ini waktunya berapa menit? Terserah Bapak. Dua orang itu sedang membicarakan sesuatu yang rahasia rupanya. Mereka akan gantian nunggu ...... Tulis saja. Itu kan sudah mulai nulis cerpen!" ujar Pak Minto dengan semangat.Â
Dia menceritakan bahwa dirinya tatkala masih mahasiswa tahun 1970-an banyak menulis cerpen di harian Suara Karya, Berita Buana, Al Masaki/Masa Kini di Yogya. Karena tidak puas akhirnya dia lari ke puisi. Masa-masa itu Suminto menulis bersamaan dengan sastrawan seangkatnya yaitu Imam Budi Santosa, Cak Nun, Mustofa W Hasyim, dan Sigit Sugito dari Bantul.
Keragaman Sunatullah dan Siapa saja dapat menulis
"Siapapun bagi yang tahu bahasa pasti bisa menulis. Satu, iso cerito (bisa bercerita) dalam pengertian tuturan cerita. Dua, bisa menulis apabila ada kemauan menulis. Masalahnya itu hanya ingin. Aku pingin tenan pak. (saya ingin sekali menulis Pak?) Cuma serbatas keinginan. Tidak akan jadi cerpen!" Â
Penulis buku Resepsi Sastra ini menjelaskan lebih lanjut bahwa  apapun bisa diceritakan. Tetapi dalam penulisan kali ini, dibatasi tematik kebhinekaan/keberagaman. Sebuah kata yang akhir-akhir ini dimaknai berbeda padahal keragaman itu sunatullah. Menurutnya dirinya dengan timnya (Else Liliani, Kusmarwanti, Ridho) punya kesamaan sebagai dosen dan kesamaan sebagai pendidik dengan para guru. Dari persamaan itu terdapat nuansa perbedaan.  Perbedaan Itu sunatululah. Jika ada perbedaan Anda harus mengakomodsasi dan mensyukuri. Itulah nilai yang perlu ditanamkan sebagai nilai dasar kepada siswa. Nilai dasar bahwa perbedaan sunatullah dan harus kita syukuri.
Ketika mengajar budaya, tepatnya kajian budaya di UMS Solo, Suminto selalu menyerukan bahwa seluruh budaya lokal Nusantara itu baik semua. Serat-serat budaya lokal di mana pun di Nusantara semuanya baik. Serat-serat itu harus ditenun menjadi satu karpet merah sebagai jalan menuju Indonesia. Itu wujud dari keragaman. Menurutnya, tidak bisa dikatakan bahwa Jawa lebih unggul dari Sumatera, lebih unggul dari Sulawesi. Â
"Bapak ibu kalau kita ke Sumatera kita melewati Selat Sunda. Kalau dalam Bahasa geografis selat Sunda adalah selat yang memisahkan Jawa dan Sumatera. Selat Sunda itu kan, selat yang menyatukan hatimu dan hatiku. Karena apa? Karena kita NKR." tegasnya.