Mohon tunggu...
Rosita Sinaga
Rosita Sinaga Mohon Tunggu... Guru - artikelmissrosita.blogspot.com, youtube: https://bit.ly/3nQfGqY

Seorang pendidik dan penulis yang ingin memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Terjebak Berlibur di Negara Pandemi Eropa, Ini Kisahku (Part 4, Akhir)

22 Mei 2020   07:00 Diperbarui: 1 Juni 2020   09:42 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waffle Belgia di sepanjang jalan Manneken Pis (dokpri.)

Hari ke 6 menuju Belgia dan Belanda

Setelah satu malam kami menginap di hotel Ibis, Prancis, kami bergegas menuju bus untuk melanjutkan perjalanan. Senangnya bisa bebas dari hotel tak bersahabat itu.

Rencana kami di hari ke 6  ini akan traveling ke Brussel, Belgia. Sepanjang jalan, saya  melihat rumah-rumah di Brussel  yang lebih mirip dengan rumah di perkotaan, berbentuk kotak dan rapat, berbeda dengan rumah di Swiss.. Mobil-mobil banyak parkir di jalan dan jalanan tampak sepi dari hilir mudik kendaraan. Pastilah negara inipun sudah diberlakukan karantina sehingga penampakannya seperti kota mati.

Untungnya bus yang kami tumpangi masih diperbolehkan masuk negara tersebut karena menurut  si supir bule, lock down  negara tersebut akan diberlakukan malam ini.  "Wah, untung masih bisa lewat, " semua peserta bersyukur.  Perjalanan kami seperti layaknya petualangan, melewati kota demi kota yang hampir ditutup. Tidak bisa terbayang seandainya kami terkunci di satu kota, tidak bisa keluar, tertahan 14 hari tanpa uang cadangan.

Untung kami masih bisa traveling ke Brussel, Belgia. Bus melaju menuju Atomium, tempat yang menjadi ikonnya Brussel. Bentuk Atomium ini seperti bola-bola yang terangkai. Kami hanya berfoto saja sebentar di sana  dan segera masuk bus karena tidak ada hal lain yang ingin difoto, hanya fokus ke Atomium.

Sekitar 10 menit kami berfoto di sini kemudian langsung melanjutkan perjalanan ke Manneken Pis, Brussel.  Apa yang terkenal di sini?

Tempat ini terkenal karena ada patung anak kecil sedang pipis.  Patungnya kecil dan tempatnya juga terpencil di tikungan jalan.  Di sepanjang jalan itu, banyak sekali penjual waffle. Saya penasaran dengan waffle di sini mengingat negara Belgia terkenal dengan kelezatan coklat dan waffle nya.

Rasa penasaran terpuaskan setelah membeli sekotak waffle  seharga 4 Euro dilumuri coklat cair di atasnya. Ternyata  rasanya sama saja dengan waffle AW di Jakarta, hanya suasananya saja yang berbeda. Yah, yang penting sudah merasakan seperti apa rasanya waffle Belgia.

Tidak jauh dari Manneken Pis terdapat Grand Palace. Grand Palace ini adalah alun-alun utama di kota Brussel. Tempat ini mirip dengan Marienplatz di Jerman, tempat yang dikeliling dengan gedung-gedung indah yang tinggi berbentuk kerucut.

Setelah puas berfoto di Grand Palace, kami bergegas menuju bus menghindari angin dingin yang semakin kencang.

Sesampai di bus, kami kembali mendapat informasi  mengejutkan dari pihak travel Jakarta agar peserta kembali pulang ke tanah air pada tanggal 19 Maret terkait adanya informasi di mana semakin mengkhawatirkannya kondisi tanah air terkait  covid19.  Jakarta termasuk Bandara Soetta direncanakan akan ditutup.

Kami semakin khawatir akan nasib kami di Eropa. Sebagian peserta setuju kalau kami pulang sebelum waktu yang direncanakan. Tetapi sebagian lagi tidak. Kalau saya, saya lebih setuju pulang ke tanah air lebih awal. Tidak apalah kalau tidak bisa kami jalani sesuai itinerary asalkan kami pulang ke tanah air dengan selamat. Tidak ada yang menghendaki keadaan seperti ini terjadi.

Para peserta mulai berkumpul, berembuk untuk mengambil keputusan bersama. Peserta pada dasarnya tidak setuju jika balik ke tanah air lebih awal tanpa kompensasi dari pihak travel. Toh, peserta sudah memberitahukan pihak travel bahwa Eropa akan di lock down pada tanggal 19 Maret. Tapi tidak digubris. Singkatnya peserta tidak mau dirugikan.

Suasana cukup tegang saat itu. Kami meminta beberapa kompensasi dari pihak travel setidaknya mengembalikan uang hotel yang tidak jadi kami tempati atau memberikan diskon untuk jalan-jalan berikutnya dengan menggunakan travel ini lagi. Namun pihak travel tidak menyetujuinya.

Semua peserta terdiam di dalam bus. Diam dalam rasa takut, bingung, khawatir.

Tidak terasa bus sudah membawa kami pergi ke tujuan berikutnya yaitu Amsterdam, Belanda. Peserta masih membawa pikirannya masing-masing dengan pertimbangan mengenai kepulangan ke tanah air.

Tiba di Amsterdam sekitar jam 9 malam. Kami menginap di hotel Park Plaza, Amsterdam. Kali ini hotelnya benar-benar bagus dan besar.

Wah senangnya melihat kamar dan ranjang yang lega. Saya dan ibu langsung beberes dan mandi dengan air hangat.

Oh ya, saya hampir lupa bercerita kalau toilet di sini tidak disediakan semprotan air untuk membersihkan diri setelah BAB atau BAK. Jadi buat kita orang Asia pastinya akan merasa risih, aneh dengan kebiasaan ini. Saya selalu menyediakan botol kosong atau tisu basah tiap kali ke toilet. Ya, budaya orang bule memang beda dengan Indonesia.

Setelah mandi air hangat, kami masak nasi dan makan dengan lahapnya meski lauknya hanya sederhana. Setelah kenyang, kamipun tertidur pulas di kasur yang empuk dan bersih.

Kami bangun dengan segar, mandi dan sarapan dengan bekal yang ada. Pagi jam 9 kami sudah bersiap menuju Roermond Designer Outlet. Suhu saat itu berkisar 7-12 derajat celcius tetapi anginnya sangat kencang. Brrr..dinginnya terasa ke tulang. Dingin sekali. Rasanya Amsterdam jadi negara terdingin diantara negara Eropa lain yang kami kunjungi sebelumnya.

Roermond Designer Outlet adalah outlet tempat  segala macam barang branded.  Ada sekitar 127 branded factory outlet di dalamnya. Dari luar nampak kecil, begitu masuk ke dalam...wow besar sekali.

Calvin Klein, Adidas, D&G, Converse, Escada,Fossil, Furla, Guess, Hugo Boss, Puma, Polo, Reebok, banyak lagi. Sayang sekali banyak toko yang tutup karena lock down sudah berlaku di Belanda. 

Saya dan ibu hanya melihat-lihat sekeliling outlet, sesekali masuk untuk melihat tas-tas branded.

Tidak terasa kami sudah keliling outlet ini sampai 3 keliling karena kami hanya melihat saja tidak berbelanja hehe..yang ada kamipun bosan. Ingin mencari makan, semua tempat makan tutup. Tapi saya tidak putus asa untuk terus mencari. Saya melihat ada orang-orang hilir mudik sambil makan roti.

Saya segera mengikuti ke mana orang-orang tersebut membelinya. Setelah berjalan agak jauh dari outlet, saya menemukan sebuah toko roti yang buka.

Sayapun membeli roti yang saya lupa namanya, seperti roti gandum yang besar, roti tawar dan membeli minuman.

Setidaknya ada makanan untuk mengganjal rasa lapar saya dan ibu. Kami pun duduk dekat taman untuk makan roti sambil memandangi burung-burung yang mendekati mengambil remah-remah yang jatuh dari kantong roti.

Setelah melihat-lihat outlet kami kembali ke hotel. Meski para peserta puas belanja tetapi hati mereka termasuk saya sangat galau karena keluarga di Jakarta maupun berita media semakin kencang untuk memaksa kami segera pulang, kabarnya Jakarta mau di lock down.

Setelah berembuk dengan semua peserta, kamipun menyerah untuk pulang lebih awal dari yang seharusnya. Saya pribadi dari awal tidak keberatan untuk pulang lebih cepat mengingat keselamatan lebih penting dari apapun.

Kami kembali ke hotel pada saat hari masih terang. Saya sih senang saja karena bisa menikmati hotel yang nyaman. Namun ada peserta yang tidak setuju dan mengajukan protes karena hanya singgah di satu tempat dan menghabiskan waktu tiduran di hotel. Namun tidak ada jawaban dari pihak travel.

Hari ke 7 di Belanda

Tujuan akhir kami di Belanda menuju Volendam dan Amsterdam Central/ Dam square area.

Sebelum menuju ke sana, kami dibawa ke sebuah kebun yang penuh dengan bunga alamanda berwarna kuning. Kenapa harus ke tempat ini?  Dalam itinerary kami sebenarnya sudah ada rencana untuk melihat festival bunga di Belanda, tetapi karena wabah corona, semua wisata publik ditutup  dan jadilah kami dibawa ke kebun bunga ini.  

Meskipun kecewa, kami tetap mencoba tersenyum berfoto ria dengan latar bunga-bunga kuning. Tidak ada bunga tulip, bunga alamandapun jadi. Tidak jauh dari sana, ada lagi perkampungan yang penuh dengan bunga lavender berwarna pink dan ungu. Cantikkk sekali.

Kebun bunga alamanda pengganti festival tulip (dokpri.)
Kebun bunga alamanda pengganti festival tulip (dokpri.)

Selain ingin melihat bunga tulip, kami sebetulnya sangat ingin berfoto di depan rumah kincir angin yang menjadi ciri khas negara Belanda. Tetapi kenyataan berbeda, sesampai di desa kincir angin di Rotterdam, kami tidak diijinkan masuk karena tempat sudah ditutup untuk umum berdasarkan aturan lock down pemerintah setempat.

Sedih banget rasanya, kami hanya melihat rumah kincir yang menjadi ikon Belanda dari kejauhan. 

Tour guide kami tidak hilang akal untuk menjadi lokasi yang ada rumah baling-balingnya. Tidak jauh dari sana, kami menemukan rumah dengan kincir angin besar, hanya saja tidak sebagus rumah yang ada di Rotterdam. Yah, setidaknya kami sudah berfoto di depan rumah kincir angin.

Selanjutnya kami menuju dermaga di Volendam, di mana ada rumah-rumah bagus di sepanjang pesisir laut. Kami terkagum dengan rumah-rumah mungil yang tertata rapi di sana. Hanya saja selama di sini saya cukup terganggu dengan lalu lintasnya  yang membingungkan.  Lagi asyik memandang laut, tiba-tiba nyelonong sepeda dan mobil, sehingga saya selalu was-was berjalan di tempat ini. Peserta lainpun berjalan di tengah dan sama sekali tidak tahu ada sepeda atau mobil yang lewat. Kalau di Jakarta kan, jalur dekat pantai tidak ada yang lewat sepeda apalagi mobil.

Ada beberapa orang Belanda yang kesal dan mengumpat. Entah karena kesal melihat kami berjalan di tengah  atau karena rasis Asia akibat virus corona.

Laut di sana bersih, tidak ada sampah. Hanya saja warnanya kecoklatan, tidak biru seperti yang saya bayangkan. Kami terus menyusuri tepi pantai dan menemukan toko-toko souvenir yang masih buka. Kebanyakan mereka bisa sedikit berbahasa Indonesia. Mereka juga sangat ramah.

Kami membeli beberapa souvenir di sana sekalian bisa menghangatkan badan di tengah cuaca dingin. Sangat disayangkan lagi, rencana tur yang tadinya akan berfoto dengan baju tradisional Belanda batal lagi karena corona.

Semua karena corona yang membuat banyak rencana gagal.

Yah, sudahlah. Kami tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam keadaan seperti ini.

Setelah berbelanja souvenir, kami pun berjalan kembali menuju bus. Di tengah jalan, kami diteriaki beberapa anak remaja bule yang  sedang lari berkata "Run,Corona Virus is here!" sambil tertawa mengejek. Artinya virus corona ada di sini, yang maksudnya kami, orang Asia si pembawa virus ada di sini.

Ya ampun..kesal dengarnya. Kalau ada sandal jepit, bisa tuh dilempar ke arah mereka.

Ternyata benar apa yang diberitakan media kalau di Eropa terjadi rasis karena virus corona. Terkesan orang Asia sebagai pembawa virus ke negara mereka.

Setelah Volendam, kami menuju Amsterdam Canal di mana ada pusat kota dan pusat pemerintahan di sana. Di pusat kota, kami melihat tram dan gedung-gedung menjulang tinggi. Tidak lupa kami singgah di jembatan yang terkenal bagus spotnya buat foto dengan latar sungai, boat dan sepeda.

Tetapi sayangnya, pemandangannya tidak seindah yang saya bayangkan.  Sungainya memang tidak ada sampah, tetapi  karena warnanya coklat se kesan indahnya jadi berkurang. Sepedanya juga biasa saja. Boatnya tidak beroperasi karena sedang lock down.

Buat saya dan ibu, yang penting kami sudah melihat dan berfoto langsung di tempat yang terkenal bagus di Belanda.

Di pusat kota ini, kami bisa melihat lapangan luas di mana banyak sekali burung-burung berkumpul. Seru melihatnya . Mereka sangat bersahabat dengan manusia. Ketika ada orang yang  memberi serpihan makanan, mereka sampai hinggap di kepala dan pundak.

 Kami juga berkunjung ke supermarket Albert Heijn. Supermarketnya besar dan termasuk murah. Saya agak menyesal membeli oleh-oleh coklat dari Swiss yang lumayan mahal. Di sini coklat  ukuran sedang hanya 0,7 -2 Euro. Murah!

 Di supermarket ini terasa sekali pandangan yang sinis dari orang bule kepada kami karena bagi mereka orang Asia yang dianggap pembawa virus. Mungkin juga karena wabah covid19 sudah sangat luar biasa parah di negara mereka saat itu sehingga mental mereka tertekan.

Setelah berbelanja, kami kembali ke hotel dan mendapat kabar terbaru bahwa kami akan dipulangkan ke tanah air sesuai dengan keputusan kami yang terakhir. Hanya saja berita buruknya, kemungkinan kami tidak bisa pulang bersamaan. Akan dibagi ke dalam 2 kloter.

Aduh, deg-degan sekali mendengar berita tersebut. Artinya kami harus terpisah dengan peserta lain yang sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.

 Apalagi setelah disebutkan nama-nama yang bisa kembali lebih dulu ke tanah air. Saya langsung lemes karena nama saya dan ibu tidak ada di kloter pertama. Artinya kami harus tinggal sehari lagi di Belanda.

Saya tidak berhenti berdoa supaya nama kami boleh keluar dan segera pulang ke tanah air.

Hari ke 8 di Belanda

Matahari dari Amsterdam menyinari kamar hotel kami. Cuaca sangat bagus di luar, tetapi hati kami sangat galau. Kami masih menantikan kepastian kapan kami balik ke tanah air.

Belum lagi saya dikejar-kejar dengan pekerjaan di Jakarta yang mengharuskan saya untuk segera menyiapkan materi pelajaran secara online. Sesuatu yang baru buat saya.

Meski saya sedang berada di luar negeri,  saya tetap bertanggungjawab terhadap pekerjaan saya. Saya selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di tempat kerja supaya  tidak tertinggal jauh.

Saya tidak bersegera beranjak dari kasur mengingat nama kami tidak disebut dalam kloter pertama yang akan berangkat besok. Rencana kami harus tinggal sehari lagi di hotel ini.

Tidak berapa lama ada kabar di group whatsapp yang membawa kabar sukacita, kalau nama kami semua berhasil di konfirmasi untuk berangkat besok bersama peserta lain. Hore!!

Baru saja kami bergembira degan kabar kepulangan kami, datang informasi terbaru dari maskapai yang akan kami tumpangi. Beritanya, pesawat kami akan delay 23 jam karena adanya lock down.

Apa? 23 jam?!  Artinya kami harus menginap di bandara donk! Benar-benar terjebak. 

Tiket sudah dikonfirmasi bahwa semua peserta akan pulang ke tanah air bersama-sama, tidak ada kloter-kloteran. Peserta tur sudah tidak bisa protes lagi kepada pihak travel dengan keputusan ini.

Esok paginya, kami mulai bebenah barang untuk siap menuju bandara meskipun pesawat yang akan membawa kami dari Amsterdam ke Abu Dhabi baru berangkat jam 7.30 malam. Kami hanya ikut instruksi tour guide.

Barang semua sudah diangkut ke dalam bus. Kami semua terdiam di dalam bus karena bingung dengan keadaan saat itu. Apa kami akan terlunta-lunta di bandara? Apa ada yang jual makanan di bandara? Mengingat  hampir semua tempat di bandara sudah tutup karena aturan lock down.

Saya dan ibu sudah membawa bekal nasi untuk berjaga-jaga jikalau tidak ada toko yang buka.

Tiba di bandara Schiphol, Amsterdam, hati kami merasa lega karena setidaknya kami sudah selangkah lebih maju untuk tiba di tanah air.

Saya dan ibu sudah kembali memakai masker dan bersiap dengan hand sanitizer.

Suasana sudah sangat sepi. Petugas bandarapun hanya sedikit yang lalu lalang. Kami tiba di bandara sekitar jam 10 pagi sedangkan pesawat ke Abu Dhabi baru tiba jam 7.30 malam. Jadilah kami menunggu sekitar 9 setengah jam di Bandara Schiphol.

Bersyukur bandara Schiphol ini cukup besar sehingga untuk berjalan kaki menuju tempat menunggu di gate pun sudah memakan waktu lama.

Kali ini,saya melihat semua penumpang yang sedang  menunggu pesawat memakai masker, termasuk petugas kebersihan.

Kali inipun kami duduk saling menjaga jarak. Ketika kami mau duduk di mana ada seorang bule duduk tidak jauh dari kami, si bule langsung beranjak pergi.

Agak tersinggung sih, tapi ya sudahlah. Toh saya pun tidak mau berdekatan dengan dia hehehe.

Akhirnya panggilan pesawat yang akan kami tumpangipun diumumkan. Kami bersegera menuju gate dan masuk ke dalam pesawat. Seperti yang sudah saya duga, penumpang saat itu hanya sedikit. Jadilah kami duduk bebas, bahkan ibu saya bisa berselonjor tiduran di bangku yang seharusnya diduduki oleh tiga orang.

Perjalanan yang ditempuh dari Amsterdam ke Abu Dhabi sekitar  6 jam 30 menit.

Tibalah kami di Abu Dhabi, kalau tidak salah kami tiba di sana sekitar jam 4 subuh. Dengan mata yang masih mengantuk, kami masih harus melewati imigrasi lagi.

Di sinilah peperangan di mulai. Kami tidak tahu harus menunggu di mana sedangkan pesawat dari Abu Dhabi ke Jakarta akan tiba jam 3 subuh. Kami masih harus menunggu 23 jam di bandara.

Lalu kami diarahkan tour guide untuk menyewa  kamar semacam hotel di bandara seharga 1 juta rupiah selama 3 jam (sudah dikurs ke rupiah).

Wah, sudah tentu kebanyakan dari kami menolak untuk mengeluarkan uang lagi hanya untuk istirahat 3 jam, padahal kami butuh 23 jam untuk istirahat.

Ada beberapa peserta yang mencari tempat buat kami supaya bisa bersama-sama duduk dan istirahat sejenak. Puji Tuhan, seorang bapak peserta menemukan ruang duduk dan ruang makan dekat foodcourt. Dan tidak jauh dari sana pula ada toilet.

Masih ada beberapa tempat makan yang buka, tetapi mereka hanya buka setengah hari. Beberapa peserta ada yang sudah ketiduran di meja karena masih mengantuk. Saya sendiri tidak bisa tidur, saya hanya ingin segera sampai ke tanah air.

Jam 12 siang, ada petugas datang dan dengan sopan mengatakan bahwa ruang tersebut akan ditutup. Jadi diharapkan semua untuk keluar dari sana.

Dengan rasa enggan, kami keluar bersama-sama peserta lain. Saya bersyukur punya saudara-saudara baru yang senasib sepenanggungan selama di perjalanan ini. Kami bersama-sama mengatasi hal ini selama di bandara Abu Dhabi.

Kami terus mencari tempat yang dekat dengan gate, karena biasanya banyak bangku di sana. Setelah kami berjalan menelusui bandara, kami menemukan banyak bangku kosong, bahkan ada bangku besar empuk yang bisa selonjoran. Dan tidak jauh pula dari sana, ada air isi ulang. Wah,paket lengkap buat kami yang terlunta-lunta.

Kami bisa selonjoran, tidur siang di sana. Jam terus berjalan. Saya bersyukur bisa tidur siang yang nyenyak di bandara.

Ketika jam menunjukkan jam 11 malam, kami dapat info dari peserta bahwa masih banyak bangku dekat gate pesawat kami. Saya, ibu dan beberapa peserta segera beranjak ke arah yang ditunjuk.Di sana, saya lanjutkan tidur lagi.

Saya melihat ternyata cukup banyak penumpang orang Indonesia dari bandara Abu Dhabi ini, dan kebanyakan dari mereka adalah lelaki. Entah apakah mereka pada TKI  yang dikirim pulang ke tanah air. Yang pasti, ramai sekali penumpang kali ini.

Dalam pesawat, kami di sambut pramugari yang memakai masker. Semua pramugari memakai masker dan sarung tangan. Pemandangan yang sangat berbeda dengan ketika kami naik pesawat ini dari bandara  Soetta ke Abu Dhabi seminggu lalu. Mungkin karena pandemi corona makin parah sehingga seluruh dunia mengeluarkan aturan baru untuk maskapai penerbangan.

Di dalam pesawat saya tidak bisa tidur, tidak lapar juga. Mungkin karena merasa senang mau tiba ke tanah air.

 Lega sekali ketika dari kaca pesawat sudah mulai kelihatan rumah-rumah dan jalanan. Oh, Tuhan, akhirnya sampai juga saya di tanah air.

Di pesawat, kami diberikan kartu kuning yang berisi data nama, tanggal lahir, datang dari negara mana, dan menyebutkan negara-negara yang dikunjungi. Data ini  akan digunakan pemerintah untuk memantau WNI yang baru datang dari luar negeri.

Menuju imigrasi, kami di cek satu persatu suhu tubuh dan wajib menyerahkan kartu kuning. Kami juga diingatkan untuk isolasi diri selama 14 hari di rumah.

Puji Tuhan, imigrasi sudah kami lewati dengan aman. Kami segera ambil barang dan ber sayonara dulu dengan peserta lain karena kami akan kembali ke rumah masing-masing.

Perjalanan ini menjadi pengalaman luar biasa menegangkan buat saya.Yang terpenting sampai saat ini semua peserta aman, sehat dan tidak ada satupun yang terpapar covid19.

Demikian kisah perjalanan saya selama di Eropa Barat. Semoga kisah ini bermanfaat bagi pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun