Jelang pemilihan umum (pemilu) pada Februari 2024 mendatang, kota Jakarta dipenuhi dengan banyaknya sampah visual dari berbagai macam Alat Peraga Kampanye (APK) seperti baliho, pamflet, poster dan banner dari para calon legislatif.
Kendati meriah, meningkatnya sampah visual ini malah menimbulkan kekhawatiran akan lingkungan dan kebersihan kota serta mengganggu estetika ruang publik.
Menurut Dellya Maytha Viana, mahasiswa Mercubuana, banyaknya baliho di sepanjang jalan mengganggu pejalan kaki.
"Saya sebagai pejalan kaki tentunya merasa terganggu dengan banyaknya baliho di sepanjang trotoar, terutama jika masangnya tidak bijak dan asal-asalan," ujar Dellya Maytha Viana, Sabtu (30/12/2023).
Di sisi lain Fahrul Hidayat, seorang Graphic Designer, melihat alat peraga kampanye ini kurang informatif, tidak menyenangkan secara visual dan memiliki dampak minim dalam mempengaruhi pilihan pemilih.
"Kampanye melalui baliho atau banner di jalan kurang efektif dan justru malah menciptakan polusi atau sampah visual. Ukuran dari banner yang terbatas tidak bisa mencakup informasi yang banyak dan memadai. Bagi saya, baliho atau banner tersebut juga kurang berpengaruh dalam menentukan pilihan nanti," ungkap Fahrul Hidayat, Jum'at (29/12/2023).
Meskipun sebagian calon legislatif telah menggunakan media digital untuk melakukan kampanye, alat peraga kampanye tetap menjadi elemen penting bagi partai politik.
"Meski kurang efektif, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melarang penggunaan alat peraga kampanye. Namun, perlu pembenahan dalam desainnya agar lebih informatif sehingga dapat membangun komunikasi dua arah," tambahnya.
Kendati demikian, masalah timbul ketika alat peraga kampanye dipasang di tempat-tempat yang tidak diperbolehkan. Namun, belum ada solusi dan penanganan yang jelas terkait hal tersebut.
"Saya rasa sudah saatnya untuk kita manfaatkan kampanye melalui media digital dengan berkompetisi dalam program-program yang menarik perhatian rakyat," imbuhnya.