Kita memasuki bulan penuh berkah, dimana segala sesuatu tampak seperti suatu kebutuhan. Dari kebutuhan untuk diri sendiri sampai kebutuhan untuk berbagi kepada keluarga dan orang-orang di sekitar.
Adanya tambahan penghasilan yakni THR dan berbagai produk di pasaran yang menggempur dengan harga diskon yang tidak tanggung-tanggung, seolah memberikan alasan yang semakin kuat untuk beli ini itu.
Seperti yang saya alami pagi ini di salah satu grup Whatsapp, seseorang mengirimkan informasi terkait diskon spesial dari suatu merk produk. Terdiri dari kosmetik, alat masak, asesoris wanita dan lain-lain. Bukan main-main, diskonnya bahkan mencapai 90%!
Segera aku mengecek daftar barang yang sedang promo itu. Hatiku berdebar saat melihat harga produk yang begitu murah dibanding harga normalnya. Beberapa produk tampaknya sudah kosong, dengan panik aku segera memasukkan beberapa produk ke dalam keranjang belanja online. Aku ingin segera memborong semua barang yang sedang diskon itu. Kapan lagi dapat harga segini?
Namun saat akan checkout belanjaan itu, dalam hatiku muncul kegalauan. Semua produk yang lagi diskon itu tidak ada dalam daftar barang yang ingin aku beli dalam budget bulan ini. Sisi diriku yang  berkesadaran menghalauku untuk tidak membeli produk-produk itu. Â
Ini bukan kebutuhan. Kalau aku tak lihat info promo ini, aku tak akan kepikiran beli barang-barang ini. Bagaimana mungkin sekarang hal ini menjadi suatu kebutuhan? Bahkan kebutuhan yang mendesak? Mau harganya diskon 90% kek, tapi kalau ini bukan kebutuhan, buat apa juga?
Aku tak butuh beli tas baru ini, aku tak butuh beli kosmetik baru ini dan aku tak tau mau dipake kemana asesoris ini. Semua keinginan mendadak ini hanya sebuah gairah lapar mata.
Walau aku galau, namun aku tetap memutuskan untuk beli beberapa produk. Sampai aku tiba pada keputusan untuk checkout, ternyata barang-barang tersebut sudah kosong. Aku kesal. Kenapa butuh lama banget untuk menimbang-nimbang? Namun, satu sisi, aku juga bersyukur bahwa aku tidak se impulsive itu untuk beli hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan itu.
Aku sudah diselamatkan oleh keadaan bahwa barang-barang itu sudah kosong.
Lalu aku sadari, ternyata aku kadang-kadang masih impulsive. Membeli sesuatu tanpa pikir panjang, kemudian barang itu menjadi tidak digunakan juga, dan tindakan itu menghianati niatku untuk stick to budget. Dana yang sudah jelas alokasinya untuk apa saja jadi berantakan. Pengelolaan keuangan jadi tidak stabil dan aku harus pusing untuk hal-hal tidak penting itu.