Mohon tunggu...
Hidayatun Nafiah
Hidayatun Nafiah Mohon Tunggu... Penjahit - Mahasiswi

Reading is Hot, Writing is Cool.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Muda Emak [Part 1- Demi Kunang-Kunang]

16 Februari 2021   08:07 Diperbarui: 16 Februari 2021   08:21 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.guelphtoday.com/

Aku iri dengan masa muda dan masa kecil emakku. Aku senang diceritakan olehnya tentang suasana hidup di tahun 80-90 an. Meski kata emak itu zaman susah, tapi aku merasa sangat ingin berada di zaman itu. Demi apa anak milenial sepertiku ingin kembali ke masa lalu?! Demi melihat kunang-kunang!

Aku sangat bersyukur tinggal di desa, meski aku tahu lambat laun tanah desaku akan semakin ramai dan bertambah sesak lalu berubah menjadi kota.  Di desa, aku bisa menghirup udara segar, bercocok tanam di lahan, mendengarkan burung bernyanyi dan menatap senja di ujung persawahan.

Desaku adalah desa yang unik. Letaknya sangat unik. Desaku berada di tengah tengah pulau Sumatra, persis di tengah. Tak ada gunung, pantai dan danau disana. Hanya ada beberapa anak sungai yang berasal dari muara Danau Ranau nun jauh di kabupaten sebelah. Karena itu, beribu syukur kami haturkan karena desaku hampir tak pernah terkena bencana alam seumpama gunung meletus, gempa bumi, tsunami atau tanah longsor. Paling-paling hanya banjir kecil yang merendam sawah-sawah yang letaknya persis di tepi sungai.

Ya, Emak Bapakku juga sedari dulu hidup di desa, tak pernah berpindah kemana-mana. Emak banyak sekali berbagi cerita tentang masa kecilnya yang penuh derita. Tapi bersamaan dengan penderitaan masa kecil Emak,aku melihat masa kecil yang sempurna dan bahagia. Masa keccil yang alami dan begitu dekat dengan alam yang masih asri.

Kunang-kunang adalah alasan terbesarku kenapa aku ingin kembali ke masa kecil Emak. Aku sangat prihatin mengetahui bahwa aku belum pernah sama sekali melihat kunang-kunang semasa hidupku. Terlebih lagi, kudengar habitat kunang-kunang akan segera punah! Bah! Cukuplah dinosaurus yang tak dapat kusaksikan karena keburu punah sebelum aku dilahirkan. Kunang kunang tersayang, jangan.

Kata Emak, dulu di rumah Embah, banyak sekali kunang kunang yang berterbangan di atas kolam ikan depan rumah. Sepulang mengaji dari langgar Pak Haji, Emak dan para Bibi berlarian mengejar kunang-kunang yang berterbangan riuh rendah di antara rerumputan. Setiap malam, kunang lah yang jadi hiburan. Kala itu, listrik belum masuk di desa emakku. Itulah! 

Kunang kunang dengan senang hati diciptakan Tuhan untuk menerangi gelap malam. Menemani anak-anak menikmati malamnya yang membosankan. 

Aku iri sekali mendengar cerita emak, aku terheran-heran bagaimana bisa kunang-kunang saat itu menjadi hewan yang sudah biasa kehadirannya di malam gulita seperti kehadiran laron di musim penghujan. Aku membayangkan Emak, para Bibi dan Paman tertawa kegirangan saat menangkap kunang-kunang dan meletakkannya di atas telapak tangan. Ah, sungguh masa kecil yang menyenangkan.

Lain lagi cerita Bapakku. Emak sesungguhnya lebih realistis daripada Bapak. Emak yang dasar agamanya kuat telah dididik oleh Mbah Biyung untuk lebih percaya Tuhan daripada hantu. Tapi bapak lebih percaya hal mistis. Tapi, aku dan adikku menyukainya! Kami lebih senang mendengar cerita Bapak ketimbang cerita Emak. Itu karena horror lebih menarik. 

Horor memberi sensasi mengerikan tapi juga menyenangkan. Ngeri-ngeri sedap. Dan bapak membuat cerita itu terasa lebih nyata karena Bapak sangat pandai bercerita. Sewaktu bercerita, Bapak mengatur intonasinya dengan sangat baik dan menggerak-gerakkan tubuhnya sehingga kami semakin bergidik ngeri.

Jika tadi cerita Emak tentang kunang kunang bernuansa menyenangkan. Cerita Bapak justru sebaliknya. Ketika kutanyakan pada Bapak pendapatnya soal kunang-kunang, Bapak akan menjawab bahwa kunang-kunang sesungguhnya hadir bersamaan dengan makhluk menyeramkan bernama Kemangmang. Sewaktu Bapak kecil, ketika belum ada listrik di desa, suasana malam terasa mencekam, apalagi jika tidak ada terang bulan. 

Di malam hari, pintu-pintu rumah dan jendela di tutup rapat. Orang-orang berdiam diri di rumah atau jika ada banyak orang, mereka akan berkumpul di teras rumah untuk mengobrol santai sambil makan ubi rebus.

Saat itu hampir tengah malam saat Bapak merasa perutnya mulas dan harus segera buang hajat. Di zaman itu, belum ada toilet. Orang-orang desa buang air di sungai atau di kakus tanah yang ditutupi dengan karung beras. Karena Bapak kecil tak berani buang hajat sendiri, Bapak pun minta ditemani Nenek pergi ke sungai. Rumah bapak terletak di ujung jalan. Sesungguhnya itu bukan ujung jalan, karena jalan itu masih berbelok dan berlanjut ke area persawahan. 

Di samping rumah Nenek, ada kebun kecil kosong berisi pohon-pohon besar dan lebat. Dan di samping kebun itulah sungai yang dimaksud. Jalan persawahan tadi dipotong oleh sungai, kemudian jalan itu mengikuti arah sungai dan memisahkan sungai dengan area persawahan. 

Di belokan tadi, diseberang sungai, di ujung kebun, ada pohon bambu yang rindang. Di sungai di bawah pohon bambu itulah, ditemani Nenek, Bapak berjongkok dan membuang hajat.

Nenek membawa pelita atau dimar. Sedangkan kunang-kunang sedang asyik bermain di atas persawahan. Bapak bilang, kehadiran kunang-kunang menjadi pertanda hadirnya Kemangmang. Melihat kunang-kunang menari di atas persawahan, Bapak mulai merasa gemetaran.

Tiba-tiba, tanpa adanya angin, dahan bambu yang menjulur diatas Bapak bergerak-gerak sendiri seperti dihinggapi monyet beruk. Bapak mulai merasa ada yang tidak beres. 

Dan dari kejauhan, di area persawahan yang luas dan lapang, sebuah cahaya seperti api berkobar. Bapak dan nenek sama-sama melihat ke arah cahaya itu. Lama lama, cahaya itu berjalan semakin cepat dan semakin mendekat. Nenek sebagai orang tua, merasa ada yang tidak beres dan menyuruh Bapak untuk cepat-cepat (tak sempat kutanyakan apakah Bapak sudah selesai buang hajat atau belum).

Cahaya api itu semakin mendekat dan mendekat. Namun sebelum cahaya api terbang itu menghampiri Bapak dan Nenek, mereka berdua buru-buru lari ke rumah. Ya, cahaya api itu bernama Kemangmang. Sesosok hantu mitologi zaman dahulu yang dekat dengan kegelapan. 

Kemangmang adalah hantu kepala dengan isi perut yang menjuntai di bawahnya. Seperti Leak dalam kepercayaan orang bali, atau Krause dalam kepercayaan orang Thailand. Cerita Bapak memang tidak masuk di akal. Tapi aku yang sudah hidup bersamanya selama bertahun-tahun tahu bahwa bapak bukanlah seorang pembohong. Jadi aku mempercayainya seratus persen. Berbeda sekali dengan Emak yang meragukan kisah itu.

Emak berfikir jauh lebih logis. Menurut pendapat Emak, cahaya api itu adalah obor yang digunakan oleh para pencari tikus di sawah dan bukan sosok hantu Kemangmang. Tapi, kataku jika itu adalah obor, bagaimana ia bisa terbang dengan cepat dan menghampiri Bapak dan Nenek?

Di akhir cerita, Bapak menambahkan bahwa zaman dulu, dimana desa masih diliputi kegelapan, bukan hanya kegelapan fisik namun juga kegelapan batin, sebab orang masih banyak yang percaya mitos, dukun dan setan, malam terasa sangat mencekam dan menakutkan. Banyak sekali makhluk halus berkeliaran. Itu sangat wajar karena makhluk halus memang senang hidup dalam kegelapan.

Meski aku disuguhi dua versi cerita berbeda tentang kunang-kunang, aku tetap bersikeras untuk kembali ke masa lalu dan merasakan sensasi bermain bersama mereka. Atau jika memang menggunakan mesin waktu terlampau mustahil, aku ingin sekali, setidaknya sekali dalam hidupku menjumpai kunang-kunang.

Namun sayang seribu sayang, kata Emak kunang-kunang semakin sulit di temukan, mungkin sekarang hanya bisa ditemukan di pegunungan atau hutan yang masih alami. Adanya listrik, cahaya buatan, polusi dan penebangan hutan membuat kunang-kunang tak bisa lagi beradaptasi dan bertahan dengan lingkungan. 

Lambat laun mereka mati dan hilang. Emak bilang, kunang-kunang adalah indikator alaminya sebuah tempat. Mungkin sudah instingnya untuk bisa menilai mana tempat yang bersih dan tercemar.

Aku semakin bersedih, ketiadaan kunang-kunang di desaku menandakan bahwa kini desaku sudah tak asri lagi. Ide gila sempat muncul di kepalaku untuk mengembalikan kunang-kunang di kehidupan sekarang. Aku ingin mengebom pusat listrik dunia, agar lampu-lampu padam.

Aku tak akan mengucapkan selamat tinggal pada kunang-kunang. Karena aku akan berjuang membawanya kembali. Lucu sekali, bagaimana bisa serangga yang 20-30 tahun lalu kehadirannya adlah hal yang biasa seumpama kehadiran nyamuk dan lalat, kini berada di ambang kepunahan. Aku curiga, akankah serangga lain mengalami nasib yang sama saat aku menghadapi hari tua?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun