Mohon tunggu...
Money Pilihan

Bukan Pekerja Gratisan!

9 Juni 2018   00:00 Diperbarui: 9 Juni 2018   00:37 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Entah orang-orang menyadari atau tidak, dalam meniti arus modernisasi ini banyak orang memerlukan daya tarik pasar dan daya beli yang kuat salah satunya dalam bidang desain grafis. Dalam sebuah desain dapat mengkomunikasikan suatu maksud dan tujuan tertentu. Komunikasi melalui media visual saat ini sudah marak di berbagai hal dan kalangan karena sistem visual manusia lebih mudah untuk menyerap informasi. Namun, tidak semua orang dapat menciptakan sebuah desain yang tepat untuk mengkomunikasikan dalam bahasa visual. Diperlukan seorang yang mempunyai latar belakang seni dan komunikasi yang baik, maka dari itu lahirlah sebuah profesi yang dinamakan desainer grafis.

            Lalu, bagaimana kita dapat memberikan mutu perkembangan desainer grafis di Indonesia? Menurut saya sejak banyaknya permintaan terhadap desain, maka memicu orang-orang untuk berlomba menjadi desainer freelance dan biro desain di berbagai daerah dari tahun ke tahun. Dengan menjamurnya profesi tersebut maka dapat mengakibatkan majunya perkembangan desain di Indonesia menjadi lebih baik dan banyak desainer-desainer Indonesia telah diakui di mata Internasional. 

Selain itu semenjak pemerintahan Jokowi, industri kreatif anak bangsa sudah mendapat perhatian khusus dari pemerintah, kebebasan kegiatan kreatif sudah didukung, dan mendapatkan apresiasi terhadap karya bangsa. Selain itu juga munculnya BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) dari pemerintah untuk menjadi wadah dalam bidang ekonomi kreatif bagi para pekerja kreatif salah satunya desainer.

Namun apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, desain di Indonesia disamping telah berkembang juga mengalami dekadensi. Mengapa? Seorang desainer telah dijadikan seorang budak oleh klien di tengah iklim bisnis yang membludak, harga diri desainer menjadi murahan, standarisasi dan desain ideal desain menjadi turun, dan bobroknya harga desain di pasar Indonesia. 

Adanya paradoks mengenai "membuat desain itu murah" membuat pasar desain menjadi menurun karena pada kenyataannya pembuatan komunikasi dalam bentuk visual   cukup  merogoh kocek karena sebuah desain sangat penting sebagai penentuan kualitas dari suatu produk ataupun jasa seperti yang dikatakan Thomas Watson (1950s) Good Design is Good Business. Pada akhirnya sebuah desain dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, sehingga munculah desainer abal-abal yang menciptakan banyak sampah visual dan meresahkan profesi dari seorang desainer.

Yang menarik perhatian saya adalah fenomena free pitching. Ya, free pitching merupakan salah satu hal yang meresahkan dalam dunia desain. Di dunia desain, free pitching sudah bukan hal yang asing lagi didengar oleh desainer grafis dan klien. Free pitching merupakan sebuah ajang pencarian desain yang diciptakan oleh klien dan mengirimkan permintaan kepada beberapa desainer freelance maupun biro jasa, dimana klien akan memilih satu desain yang paling cocok, terbaik, dan hanya akan membayar seorang yang menang tersebut sesuai dengan standar tarif yang diberikan desainer. 

Namun, kebanyakan klien biasanya akan memilih desain yang sesuai dengan budget mereka. Menurut hasil penelitian terbaru dari design week tahun 2017 membuktikan bahwa 70% klien masih berekspektasi desainer grafis akan mengikuti free pitching dan klien tidak berkeinginan untuk membayar pitch. Bagaimana menurut anda? Bagaimana desainer mendapatkan hak dan kesejahteraannya? Padahal, desainer grafis merupakan suatu profesi. Bagaimana para desainer dapat bertahan hidup apabila hasil karyanya tidak diberi bayaran?

Jika diibaratkan dari mata klien, ketika kita akan membeli sebuah sepatu, kita akan menjajal sepatu satu persatu dan pada akhirnya akan memilih satu dari beberapa sepatu pilihan yang menurut kita cocok dengan kaki kita yang sesuai dengan budget yang kita miliki. Namun, pada kenyataannya desain tidak dapat disamakan dengan memilih sepatu. 

Desainer grafis membutuhkan banyak waktu dan pikiran, serta ide-ide kreatif untuk melahirkan suatu desain. Dapat dikatakan pula bahwa seorang desainer grafis bukan hewan yang dapat diadu, ketika menemukan pemenangnya dapat ditinggalkan begitu saja. Desainer juga memerlukan sebuah apresiasi dalam bentuk materi atas hasil kerjanya, tidak hanya ucapan maaf dan terima kasih yang sebagian masyarakat lakukan atas hasil kerja dari seorang desainer.

 Pada titik ini, menurut saya dibutuhkan penghargaan terhadap para desainer yang telah menciptakan sebuah karya desain karena membuat desain tidaklah mudah. Para klien seharusnya memberikan penghargaan dengan memberlakukan fee pitching yang dapat mensejahterkan desainer walaupun hasil desainnya tidak dikomersilkan, hal tersebut sangat merugikan desainer. Para desainer grafis membuang waktu, tenaga, bahkan kocek yang cukup dalam untuk membua sebuah desain. 

Desainer tidak ingin melakukan Pro-Bono ketika melakukan free pitching, semua berlomba untuk menjadi pemenang. Desainer harus menempuh pendidikan desain yang tidak murah, mengasah ketrampilan berfikir kreatif, memerlukan tenaga dan waktu, dan menghadapi beberapa revisi yang cukup menyita waktu dan pikiran.

Banyak pula klien perusahaan yang besar dan ternama melakukan free pitching yang tidak memanusiakan desainer grafis sesuai dengan laba perusahaan mereka yang berlimpah. Hal tersebut juga membuat harga desain menjadi merosot dan tidak adanya penghargaan terhadap hasil kerja keras desainer grafis. Dampak yang dapat dirasakan untuk klien juga membuat namanya sendiri menjadi buruk karena tidak memiliki potensi kerja yang bagus.

Sebagai contoh pertama, ada sebuah perusahaan cokelat ternama dan beromset tinggi yang berjulukan cokelat asli Swiss yang bergambarkan orang bermain ski. Pertemuan seorang desainer dengan perusahaan cokelat tersebut mengikutsertakan desainer untuk proses pitching desain label cokelat edisi Valentine's Day. Apabila projek diterima maka akan mendapatkan biaya *juta rupiah saja. Hanya satu digit bintang saja, dengan omset yang sangat besar. Dari studi kasus tersebut dapat dilihat bahwa ada perusahaan besar yang menjadi klien namun masih meremehkan dan melecehkan sebuah profesi. [1]

Kedua, sebuah cerita dari kawan saya, seorang desainer grafis asal Jakarta yang mengemukakan keresahannya kepada saya, mengatakan bahwa ia pernah diajak untuk pitching oleh perusahaan berbentuk PT yang telah berdiri sejak tahun 1980. Berhubung perusahaan tersebut sudah merupakan perusahaan yang kondang di Indonesia, ia sangat mempercayai proses kerjanya akan profesional

Namun, pertemuan desainer dan penanggung jawab telah memilih kawan saya desain dari desainer grafis asal Jakarta itu untuk dipakai dan hanya dihargai sebesar 10juta saja. Padahal perusahaan tersebut merupakan perusahaan ternama dengan profit yang sangat besar mencapai miliaran.

 Adapula sebuah cerita dari seorang freelance designer asal kota Bandung, Jawa Barat telah mengikuti pitching dari perusahaan pakaian multinasional yang sangat terkenal dikalangan anak muda jaman sekarang untuk membuat konsep dan contoh campaign edisi Natal yang akan

digunakan untuk sarana promosi perusahaan tersebut di bulan Desember. Namun, ketika desainnya terpilih dan sudah menetapkan harga, perusahaan tersebut menawar harga desain yang telah di tetapkan oleh desainer. Dari harga 15 juta, perusahaan tersebut menawar hanya dapat memberikan harga 8 juta rupiah saja. Padahal untuk kelas perusahaan pakaian yang sangat terkenal di Indonesia tersebut seharusnya dapat membayar lebih.

Sudut Pandang Klien

            Apabila melihat dari masyarakat lokal sendiri, hasil wawancara dengan seorang pengusaha muda di Malang Raya yaitu pemilik sebuah pabrik minuman lokal, beliau mengatakan bahwa desain sangat berpengaruh terhadap usaha mereka. Tidak hanya dalam segi branding saja, namun desain packaging dan elemen lain yang terlahir sebagai karya visual berpengaruh terhadap hasil penjualan mereka. Ketika membuat packaging minuman sangat dipertimbangkan  dan melalui proses pembuatan desain yang cukup lama. 

Dikatakan juga karena perusahaan tersebut mempertimbangkan kebanyakan konsumen sebelum membeli sebuah produk, konsumen selalu melihat kualitas dari desain suatu produk, apabila menarik dan sesuai dengan target pasar maka konsumen akan dengan antusias membelinya. Namun, mereka mengatakan bahwa mereka tidak mau mengeluarkan biaya yang besar untuk sebuah desain karena sudah banyak orang yang dapat mendesain namun bukan dari kalangan profesi desainer sehingga harganya lebih murah dari seorang yang berprofesi sebagai desainer. Apabila mereka mengeluarkan biaya lebih untuk suatu desain, maka profit yang mereka dapatkan akan berkurang untuk menutupi biaya desain.

            Kasus lainnya juga, awal tahun 2018 yang lalu media sosisal dihebohkan dengan adanya sayembara untuk membuat desain logo Malang United yang berhadiah uang satu juta rupiah dan merchandise dari Malang United. Sayembara tersebut dibully oleh netizen karena kurangnya apresiasi terhadap desainer-desainer grafis. Presiden Malang United dalam detiksport menjawab pertanyaan dengan tidak simpatik dan bernada tinggi "Iya terserah kami, awalnya menuruti masyarakat, sekarang malah begitu". 

Tanpa melakukan permintaan maaf, sayembara tersebut masih tetap dilangsungkan dan poster ditarik namun terdapat pemberitahuan bahwa hadiah akan ditambah smartphone Samsung Galaxy S8+.[2] Dari kasus ini dapat dikatakan bahwa orang-orang dari kalangan manapun kurang dapat menghargai karya desain grafis dan dianggap sebelah mata. Orang tidak mempertimbangkan profit yang akan didapat dengan perjuangan berfikir kreatif para desainer grafis. Kejadian itu membuat citra Malang United menjadi buruk dan hubungan dengan pekerja kreatif menjadi disharmonis karena kurangnya apresiasi terhadap pekerja kreatif.

            Tidak hanya kasus di dalam negeri saja. Dilihat dari contoh kasus lainnya, sebuah perusahaan pakaian multinasional yang sangat ternama di dunia pernah beberapa kali terjebak dalam kasus pelanggaran hak cipta salah satunya karena tidak melakukan ijin untuk penggunaan desain produk mereka kepada seniman jalanan. Perusahaan tersebut menganggap bahwa karya yang bersangkutan ada di sebuah tembok-tembok jalanan dan mereka menganggap bahwa gambar-gambar yang ada di tembok dianggap illegal. 

Pada akhirnya perusahaan tersebut mengalami boikot dan didukung oleh banyak masyarakat di seluruh dunia karena dianggap mencari keuntungan untuk perusahaan yang cukup terpandang tersebut. Naasnya, perusahaan pakaian tersebut malah menuntut seniman jalanan yang bersangkutan. Berjalannya waktu perusahaan tersebut mencabut tuntutannya karena banyak tekanan dari seluruh dunia dan meminta maaf secara publik. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kurangnya respect dari perusahaan yang telah memiliki nama besar untuk menghargai karya-karya milik orang lain, dan menggunakannya untuk komersil dengan omset miliaran.

            Kasus lainnya, desain yang dianggap tidak penting oleh sebuah perusahaan pakaian dengan merek empat huruf yang sudah berdiri sejak 1975. Seniman Asal Los Angles yang sudah berpengalaman menangani brang ternama dunia, Tuesday Bassen mengatakan kekecewaannya bahwa perusahaan tersebut melakukan plagiarisme atas hak cipta karya miliknya lalu menuntut perusahaan pakaian tersebut. Namun, tanggapan yang dilontarkan oleh pihak perusahaan adalah menganggap bahwa Tuesday Bassen merupakan seniman indie dan perusahaan tersebut merupakan perusahaan besar yang telah terkenal di seluruh dunia

Namun, kasus tersebut tiba-tiba menghilang dan perusahaan kondang tersebut tidak memberikan komentar apapun atas kasus yang menimpanya. Dari kasus ini disimpulkan bahwa profesi seorang seniman desainer direndahkan karena tingkat kepopuleran mereka hanya sebatas populer di kalangan lokal saja sehingga dianggap tidak berperan di dunia luar, padahal sangat disayangkan perusahaan besar tersebut tidak memiliki penghargaan terhadap sebuah desain.

            Design Business Asossiation (DBA) menunjukkan bahwa hampir 90% klien yang melihat desain penting bagi keberhasilam merk, namun 70% klien mengungkapkan bahwa mereka tidak mengharapkan untuk membayar pitching yang telah diselenggarakan tersebut, karena sebagian menganggap bahwa desainer bertanggung jawab atas desainnya dan mereka yang mau untuk melakukan free pitching tersebut.[3] Apabila tidak dilakukan free pitching, mereka akan mendapatkan harga sangat mahal dan kesulitan untuk menutupi profit mereka.

Untuk Klien: Fee Pitching!

            Dalam kerjasama bisnis, seharusnya hubungan baik antara desainer dan klien dapat terbangun dengan saling menghargai profesi masing-masing. Untuk menanggulangi keresahan tersebut, lebih baik apabila diberlakukan fee pitching untuk menyejahterakan dan memberikan apresiasi kepada para desainer. Ada tiga alasan mengapa fee pitching harus diberlakukan.

Pertama, dengan adanya fee pitching, maka akan sulit dalam persaingan dikarenakan desainer akan memberikan yang paling baik untuk kliennya. Klien akan dimudahkan dalam pemilihan desain karena hasil maksimal dari para desainer dan desainer merasa apabila kurang beruntung tidak dipilih mereka masih merasa aman karena mendapatkan kesejahteraan upah untuk proses kerja kreatif mereka.

            Kedua, Fee Pitching harus didasari dengan sebuah landasan bahwa berfikir kreatif itu memerlukan waktu yang menyita dan membutuhkan kebutuhan hidup yang cukup banyak pula. Upah yang diberikan harus sesuai dan rasional dengan pengapresiasian desain oleh klien. Selain itu, upah yang dijanjikan harus dicantumkan dalam kontrak kerja sama, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dalam kerja sama ini. Perlunya kontrak kerjasama juga dapat memberikan kejelasan terhadap sistem pitching, sehingga desainer juga dapat mempertimbangkan baik-buruknya apabila mengikuti sistem fee pitching.

            Ketiga, apabila tidak melakukan fee pitching maka sangat banyak kemungkinan desainer tidak akan mengikuti sistem ini karena dianggap merugikan diri sendiri. Ketika desainer tidak merasa dihargai, maka ia akan melakukan self branding yang akan menaikkan namanya sendiri tanpa perlu mengikuti sistem pitching ini, dan dengan melakukan self branding sendiri desainer dapat dengan mudah menerima klien yang sudah pasti dibandingkan sistem pitching yang hanya akan membuang waktunya dengan hasil yang tidak pasti.

Untuk Desainer : Self Branding! 

            Bertahan di dunia kreatif terlebih desain grafis cukup berat dan dari hari kehari akan semakin sulit karena kurangnya apresiasi terhadap profesi. Desainer tidak hanya hidup dari sebuah sistem pitching yang dapat merugikan diri sendiri. Ketika merasa dirugikan oleh proses free pitching, keluarlah dan jangan menerima tawaran pitching agar klien merasa harus membutuhkan bantuan ke desainer-desainer grafis melalui proses yang layak.  Menurut saya pribadi, apabila ingin terus hidup dalam dunia kreatif, kuncinya hanya satu yaitu menciptakan perbedaan antara satu dengan lainnya dengan memberikan pengetahuan dan kreatifitas secara profesional.

            W.Chan Kim dan Mauborgne telah berbicara mengenai gagasan kreatif dan inofatif dalam menciptakan sebuah pasar dengan pesaing yang sedikit. Hal tersebut diberikan istilah sebagai Blue Ocean, yaitu menciptakan inovasi yang belum dijelajahi, dengan kompetitor masih sedikit, penciptaan permintaan, dan peluang pertumbuhan yang menguntungkan. Namun pada kenyataannya, banyak masyarakat masih menggunakan paham Red Ocean yaitu suatu power yang besar untuk mengalahkan pesaing. Dimana memiliki mangsa yang sama, produk yang sama, dan pasar yang sama yang akan menciptakan pertarungan yang sengit antara satu dengan yang lainnya.[4]

            Jadi, untuk mengaplikasikan Blue Ocean Strategy, dibutuhkan self branding. Analoginya, makan yang dimasak oleh chef memiliki cita rasa bintang lima, dimana hidangan yang disajikan berbeda dengan masakan pada umumnya, maka klien akan datang dengan sendirinya untuk mencicipi hidangan yang telah dimasak melalui proses-proses yang tidak instan dan memerlukan waktu berfikir, karena hanya terdapat pada diri chef itu sendiri. Begitu pula desainer grafis, apabila telah memiliki portfolio yang menarik dan berbeda dari lainnya maka klien akan datang dengan sendirinya. Tidak hanya portfolio yang menarik saja, percuma apabila desainer memiliki portfolio yang menarik namun kurang mempromosikan dirinya sendiri. Bagaimana caranya?

            Pertama, 'menjual diri' lewat sosial media. Desainer akan menampilkan yang terbaik di sosial media untuk mencipatkan siapa saja pasarnya, segmentasi yang diciptakan dan karya yang ditampilkan. Seperti yang semua orang ketahui bahwa sosial media memberikan dampak yang luar biasa besar bagi penggunanya, sarana itu dapat dijadikan sarana untuk 'menjual diri'. Lewat sosial media pula dapat melahirkan informasi dari mulut ke mulut yang dapat membuat diri untuk level up.

            Kedua, kolaborasi dengan pekerja kreatif yang lain atau orang yang telah maju selangkah di depan. Dengan kolaborasi dapat meningkatkan dan mengembangkan diri dalam bidang proses kreatif dan karakter seorang desainer. Tidak hanya stuck pada satu hal, namun harus melalui proses kolaborasi untuk menciptakan networking antara satu dengan yang lainnya. Dengan network yang dimiliki, akan mudah pula untuk mendapatkan suatu project. Seorang desainer grafis harus memiliki tujuan untuk memberikan dampak yang besar, bermimpi, menjaga hubungan baik dengan banyak orang, dan start doing something.

***

            Jadi, dapat disimpulkan bahwa banyak sekali klien yang menganggap bahwa desain sangat penting dan sangat memperngaruhi untuk usaha mereka. Baik buruknya produk atau layanan yang ditawarkan seorang klien dapat terlihat dengan desain yang dipakai karena mata manusia lebih cepat menangkap pesan secara visual. Namun, lebih dari 50% klien tidak mengharapkan adanya pengeluaran biaya yang mahal untuk membuat sebuah desain. Hal tersebut dikarenakan tidak diinginkannya profit yang didapat berkurang untuk menutupi jasa desain.

 

Pada intinya, kita tidak boleh menyamakan sebuah desain dengan produk yang sudah pasti memiliki nilai karena sebuah desain memerlukan waktu berfikir kreatif yang panjang. Selain itu desainer grafis bukan seorang yang mudah di adu dan dianggap mengerjakan pekerjaannya karena kesenangannya saja sehingga klien merasa tidak apa-apa ketika tidak membayarnya. Ya, desainer grafis mengerjakan pekerjaannya sesuai passion, namun sebaiknya dari klien sendiri harus dapat mengapresiasi sebuah karya tanpa memandang siapa yang mengerjakannya.

 

            Banyak klien yang kurang menghargai hasil karya desainer grafis sehingga dapat memunculkan kurang baiknya citra perusahaan di mata pekerja kreatif dan memiliki hubungan yang disharmonis Maka dari itu untuk mengatasi keresahan tersebut, klien diharapkan menggunakan kebijakan fee pitching dan kejelasan kontrak agar terhindar dari pengharapan besar seorang desainer. Seorang desainer pula tidak boleh bergantung kepada pitching karena tidak semua klien dapat memberikan janji yang menyejahterakan desainer. Sebagai solusinya dapat dilakukan self branding dan penerapan blue ocean strategy agar dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat tanpa harus merasakan rugi. Dengan cara tersebut desainer dapat menetapkan tarif dan menentukan siapa mangsanya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun