“Mau ke mana Lin?” tanya Tiwi berbisik dalam himpitan orang-orang tak dikenal di halaman.
“Enggak.” jawabnya terus berjalan tanpa menoleh, pikirannya masih menancap kuat pada sosok mirip Gideon di barisan seberang.
Sekali ini saja diliriknya lagi sosok Gideon di antara kerumunan keluarganya. Gideon pun melambaikan tangan padanya, seolah hantu itu berusaha mencegahnya pergi.
Tidak, aku harus pergi dari sini.
Dengan jantung berdegup kencang, Linda melemparkan kakinya menjauhi rumah itu. Gerakan melempar kaki itu mungkin bukan cara berlari yang terbaik, tapi hanya itu yang bisa dipikirkan dan dilakukannya saat ini. Kordinasi antara otak dan kakinya sangat kacau, dan... olala, Gideon pun mundur dari kerumunan, lalu menghilang.
Oh, dia tidak boleh mengejarku, tidak bisa. Aku tidak mungkin mengalami yang seperti ini. Jangan aku...! Please, Gid, pilih orang lain aja. Papa kamu kek, Mama kamu kek, kenapa harus aku yang kamu temui? Serunya dalam hati sambil terus berlari tak beraturan. Ingin rasanya berteriak minta tolong pada banyak orang yang ada di situ, tapi tak satu kata pun bisa keluar dari tenggorokannya. Pita suaranya seperti menolak perintah otak yang sedang kacau.
“Udah mau pulang Lin?” sosok Gideon tiba-tiba saja muncul dari pintu belakang rumah itu.
Deg. Jantung Linda hampir copot.
Apa yang harus dilakukan jika bertemu dengan hantu teman sendiri? Haruskah menengkingnya? Tapi bagaimana caranya?
“I, iya, aku mau pulang!” Akhirnya pita suaranya mau berkompromi, Linda langsung berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh lagi. Bulu-bulu di permukaan kulitnya berdiri karena merinding.
Aduh, mimpi apa aku ini ketemu hantu ganteng. Tapi biarpun ganteng, dia tetep hantu!
“Linda! Tunggu Lin!” terdengar langkah kaki Gideon mengejarnya.
Waktu masih hidup aja Gideon larinya lebih cepat dari aku, apalagi sudah jadi hantu begini??? Jadi apa aku nanti? Mama... aku dikejar hantu...!!!
“Jangan ikuti aku! Aku nggak bikin salah sama kamu khaaan!!” teriak Linda di mulut gang.