Gid, Gid, kenapa meninggalkanku dengan cara seperti ini?
Linda tidak sanggup menyimak apa yang disampaikan pendeta, pikirannya tertuju pada bayangan Gideon yang begitu mempesona selama ini. Cowok pintar yang selalu ramah padanya.
Gid, Gid, selama ini kamu nggak pernah ngerti perasaanku, kenapa juga sekarang kamu malah pergi? Dunia ini sepi kalo nggak ada kamu...
Mata Linda mulai sembap, air matanya tidak dapat dibendung lagi. Suasana duka membuatnya semakin tidak bisa menahan diri. Ah, aku tidak boleh menangisinya seperti ini, nanti Gideon malah tidak bisa pergi dengan tenang.
Sudah, sudah, aku harus bisa menahan diri, tidak boleh cengeng.
Disekanya air mata dengan ujung lengan bajunya sampai dua kali, lalu mulai mengalihkan perhatiannya dengan melihat wajah orang-orang supaya tidak terlalu sentimentil. Di akhir kebaktian itu, Bapak Pendeta menutup kotbahnya dengan kalimat, “Setiap kita akan pulang ke rumah Bapa sorga, di mana saudara yang kita kasihi telah berangkat terlebih dahulu.”
Ya, Gideon sudah bersama dengan Tuhan di sorga. Kelak semua orang percaya juga akan ke sana, aku juga.
Lagi-lagi Linda menangis demi memikirkan kalimat itu. Ya ampun, aku tidak boleh menangis lagi! Disekanya sekali lagi pipinya sampai lengan bajunya basah, lalu kembali mengamati wajah orang-orang di ruangan itu.
Mereka kembali menyanyikan sebuah kidung berjudul Rumah Allah yang Kekal diiringi akordion. Linda pun berusaha turut menyanyi dengan mengikuti gerakan bibir orang-orang yang berdiri di seberang peti jenazah.
Gideon??
Seseorang yang sangat mirip dengan cowok pujaannya itu ada di sana. Ah, mungkin seorang kerabat yang mirip dengannya. Tapi, apa itu? Kenapa dia tersenyum pada Linda? Oh, mimpikah ini? Bagaimana mungkin dia ada di situ kalau dia sudah mati? Sekali lagi Gideon mengangguk padanya dan tersenyum.
Oh, tidak. Tidak mungkin dia hidup lagi. Itu jelas tidak mungkin.
Ditatapnya lekat-lekat sosok Gideon di seberang peti jenazah. Dia menyanyi dengan sungguh-sungguh, “Di rumah Bapaku, tiada susah...”
Oh, mengapa tidak ada seorangpun yang meresponi kehadirannya? Mengapa harus aku yang melihat dia? Tidak Gid, pergilah saja dengan tenang.
Linda merasa pusing dan agak mual. Dipaksanya kedua kakinya mundur dengan langkah terseret, sementara matanya tetap memandang lurus pada Gideon. Penampakan itu seolah nyata!