Deni terus berpikir sementara berjalan menuju ke sekolah. Apa artinya kegelisahan di hati ini? Mengapa rasanya sangat tidak enak dipuji-puji seperti ini? Aaah... Deni bingung, sungguh bingung! Menyesal sudah membuat cerita bohong di kantin. Menyesal sudah membohongi Ibu soal uang sumbangan. Menyesal sudah membohongi Ayah soal permasalahan di sekolah. Menyesal sudah menjelek-jelekkan teman-teman yang sebenarnya sangat baik. Menyesal sudah menjelek-jelekkan guru juga. Menyesal... Deni sungguh menyesal. Tapi apa yang harus dilakukannya?
“Ngelamun!!” teriak Bagus di telinga Deni.
“Uuuh... Bagus, kamu ngagetin aku Gus.” ucap Deni sedih.
“Kamu sih, pagi-pagi kok melamun kenapa?”
“Soalnya...” Ehm, Deni berpikir sejenak, jawaban apa yang akan diberikan untuk Bagus? Aduuuh, tuh kan, Deni merencanakan untuk berbohong lagi. Kenapa otak ini jadi semakin terbiasa berbohong? Rasanya seperti diset untuk otomatis berbohong saja.
Deni sudah tidak tahan kalau harus berbohong terus-terusan, berarti harus mengatakan yang sebenarnya. Tapi... kalau mengatakan yang sebenarnya, nanti akan dibenci teman-teman? Nanti akan dianggap pembohong? Aduhdikatai pembohong itu kan tidak enak? Tidak, Deni tidak mau! Jangan katai aku pembohong!
“Jangaaaan!!!” akhirnya Deni berteriak sambil berlari karena semua yang ada dalam pikirannya sangat membingungkan.
“Lho, apanya yang jangan?” gumam Bagus melongo melihat Deni terbirit-birit seperti dikejar anjing galak. “Deni kenapa ya?”
“Hh, hh!” Nafas Deni tersengal-sengal ketika sampai di pintu kelas.
“Halo Den!” sapa Anggar ceria. “Ini penggarismu kemarin ketinggalan di mejaku.” Anggar memberikan sebatang penggaris bergambar pesawat ulang-alik padanya. Oh, teman-teman di kelas begitu baik. Deni tidak sanggup kalau harus membohongi mereka lagi. Tapi bagaimana kalau nanti ditanya-tanya lagi?
“Makasih ya.” jawab Deni tersenyum, lalu berbalik lagi. Deni tidak jadi masuk ke kelas sekarang, lebih baik di luar saja menunggu bel supaya tidak ketemu teman-teman. Kalau ketemu teman nanti akan mengobrol, kalau mengobrol nanti akan berbohong lagi. Deni sudah tidak ingin melanjutkan cerita bohongnya.
Masih dengan membawa ranselnya, Deni pergi ke lapangan basket yang sepi lalu duduk di tepi lapangan. Saat itu dilihatnya bu Shinta berjalan melintasi lapangan menuju ke ruang guru. Oh, ibu guru yang sangat rajin datang pagi, tapi Deni sudah menjelek-jelekkan beliau di hadapan Ayah. “Huuuuh..” Deni menundukkan kepalanya dengan lesu. Merasa menyesal dengan semua kelakuannya, tapi tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
“Deni.” tiba-tiba saja Deni mendengar suara Ayah, rasanya suara itu begitu dekat dan sangat nyata.
“Deni.” sekali lagi terdengar suara Ayah memanggilnya. Oh, Deni sangat ketakutan hingga membenamkan mukanya di antara kedua lututnya.
bersambung ke http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/24/deni-jujur-dong-den-4/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H