Mohon tunggu...
Rosa Folia
Rosa Folia Mohon Tunggu... Independent Writer -

Bachelor of Arts in International Relations from Universitas Airlangga; Master of Arts in International Relations from Universitas Gadjah Mada. Politics, social, culture, football (not necessarily in that order). [Twitter: @folia_deux] [E-mail: rosafolia20@gmail.com]

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dunia Setelah Trans-Pacific Partnership Agreement (Bagian I)

24 Desember 2015   19:43 Diperbarui: 24 Desember 2015   20:04 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan pakar ekonomi, bukan juga orang yang mengerti ekonomi. Pemahaman saya tentang bagaimana ekonomi bekerja masih sangat dangkal. Tapi saya sering bertanya apakah globalisasi secara alamiah membuat kita tidak bisa mengelak dari kapitalisme? Atau apakah kita sengaja dikondisikan agar seakan-akan tidak bisa menghindarinya padahal ada alternatif lain? Saya membayangkan gambaran besarnya dimana dunia ini bergerak secara sistematis. Jika sekarang kita harus berada dalam sistem ekonomi kapitalis, setidaknya saya meyakini ini bukan karena kebetulan Amerika Serikat memenangkan Perang Dingin dan kita sudah terlanjur terjerambab di dalamnya sehingga tidak ada pilihan lain, bahkan hingga saat ini. Terlalu naif bila kita percaya itu yang terjadi.

RANCANGAN POSISI NEGARA DALAM SISTEM DUNIA

Immanuel Wallerstein pernah menulis tentang sistem dunia dalam World System Theory. Menurutnya, sistem dunia adalah sistem sosial yang memiliki batasan, struktur, anggota, aturan legitimasi, dan koherensi. Walter Goldfrank menambahkan bahwa sistem dunia yang dimaksud Wallerstein juga berarti “ekonomi dunia” yang terintegrasi melalui pasar, bukan politik, dimana dua atau lebih negara memiliki interdependensi dalam, misalnya, makanan dan bahan bakar. Negara-negara tersebut juga berkompetisi untuk dominasi tanpa ada satupun yang muncul sebagai pemenang.

Dalam sistem dunia ini, menurut Wallerstein, tenaga kerja sangat penting dalam hubungannya dengan produksi dan pertukaran barang serta bahan baku. Proses ini melahirkan dua wilayah utama yang bergantung pada satu sama lain: inti (core) dan pinggiran (periphery). Adapun negara semi-pinggiran menjadi zona penyangga antara keduanya. Masing-masing memiliki karakter sendiri. Negara-negara inti fokus pada kapital, sedangkan negara-negara pinggiran pada tenaga kerja. Hubungan antara keduanya sangat struktural. Kepemilikan teknologi, utamanya di jaman sekarang, sangat penting serta menjadi salah satu faktor penentu posisi negara. Ini sesuai dengan prediksi siklus ekonomi dunia yang didasarkan, salah satunya, pada Long Wave Theory atau K-wave yang digagas oleh ekonom Soviet pada awal abad ke-20, Nikolai Kondratieff.

Teori K-wave meyakini bahwa perekonomian dunia berjalan mengikuti alur gelombang jangka panjang yang dinamis. Satu gelombang berlangsung selama 40 hingga 60 tahun dengan sebuah periode peningkatan ekonomi diikuti stagnansi atau depresi. Sejak krisis tahun 2008 kita berada di akhir gelombang ke-5 dan sedang memasuki gelombang ke-6. Masing-masing gelombang memiliki karakteristik sendiri. Misalnya, selama gelombang ke-4 (1930-1970) perekonomian dunia didominasi oleh eksplorasi minyak dan produksi mobil. Sementara itu sepanjang gelombang ke-5 (1970-2010) teknologi informasi dan komunikasi menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan teori K-wave negara manapun yang menguasai sektor-sektor tersebut berarti memegang kendali perekonomian dunia.

Bila kita kembalikan ke teori Wallerstein mengenai sistem dunia yang terbagi ke dalam negara inti dan pinggiran, maka cukup jelaslah penyebab negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, serta yang berada di kawasan Eropa Barat berada di kategori inti. Para penemu hebat dunia lahir, besar, dan bekerja di negara-negara tersebut. Begitu pula perusahaan-perusahaan besar dunia yang hingga kini terus mendominasi. Sedangkan negara seperti Indonesia yang mengandalkan ketersediaan tenaga kerja murah serta pasar yang besar jatuh ke dalam kategori negara pinggiran. Cina tentu menjadi kasus spesial dengan pertimbangan kebijakan transfer teknologinya yang ketat.

Jika menganut teori K-wave maka gelombang ke-6 yang dimulai tahun 2010 hingga setidaknya 2050 akan didominasi oleh sektor bioteknologi, nanoteknologi, dan layanan kesehatan. Teknologi informasi yang sudah tersistematis di gelombang sebelumnya memudahkan eksplorasi dan produksi dari sektor-sektor tersebut. Segelintir negara-negara maju telah memiliki modalnya termasuk unit research and development yang merupakan “otak” dari penemuan, pengembangan serta pengaplikasian teknologi yang ada. Ini memberikan mereka keuntungan dalam sistem ekonomi kapitalis. Kontrol pemerintah dibuat seminimal mungkin agar inovasi terus berjalan. Namun, seiring waktu yang terjadi adalah ketimpangan dimana kita selalu membutuhkan teknologi terbaru hampir dalam semua aspek kehidupan, sedangkan para pekerja yang mengerjakan produksi massal dibayar murah dengan dalih pemenuhan lapangan pekerjaan.

DAN MONOPOLI ITU TERUS BERLANJUT…

Konsisten dengan teori World System dan K-wave, perjanjian perdagangan bebas yang selama beberapa tahun belakangan ini menjadi pembicaraan semakin menegaskan monopoli negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, dalam sistem ekonomi dunia. Trans-Pacific Partnership Agreement (TPPA) atau Perjanjian Kerjasama Lintas Pasifik. Anda mungkin mendengarnya baru-baru ini dari media ketika Presiden Jokowi menyatakan Indonesia ingin bergabung di dalam zona perdagangan bebas beranggotakan 12 negara kawasan Pasifik ini. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Australia, Brunei Darussalam, Chile, Jepang, Kanada, Malaysia.

Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam. Sebenarnya negosiasi pembentukan TPPA sudah berlangsung sejak 2008 dan bersifat sangat rahasia. Hanya perwakilan perusahaan-perusahaan besar (terutama dari Amerika Serikat) dan segelintir delegasi masing-masing negara yang boleh mengikuti proses negosiasi. Sebelum rancangan resmi dirilis pada Oktober 2015, sebagian besar orang, termasuk anggota-anggota DPR dari negara anggota, memperoleh informasi tentang TPPA dari Wikileaks.

Banyak pihak dari berbagai kalangan menentang TPPA awalnya karena negosiasinya yang bersifat sangat rahasia melebihi level kerahasiaan perjanjian perdagangan bebas lainnya. Mengapa? Setelah rancangan resminya dirilis, barulah diketahui penyebabnya. TPPA mungkin adalah perjanjian perdagangan bebas terburuk hingga kini. Saya tidak akan membahas satu per satu isinya. Namun, satu hal yang akan sangat merugikan bagi banyak warga miskin di negara-negara pinggiran (serta negara semi-pinggiran) adalah tentang hak paten obat-obatan. Seperti kita tahu, data-data tentang obat-obatan dan inovasinya ada di tangan institusi research and development swasta yang dimiliki perusahaan-perusahaan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Dengan menggunakan perlindungan terhadap kekayaan intelektual sebagai tameng, Perwakilan Dagang Amerika Serikat (US Trade Representative) mengusulkan melalui TPPA untuk memperketat kebijakan tersebut yang akan berimbas pada harga obat.

Contohnya seperti ini:

Paten di hampir seluruh negara berlaku hingga 20 tahun sejak tanggal pendaftaran oleh pemegang hak paten. Melalui Perlindungan Kekayaan Intelektual Pasal 18.50 tentang jaminan perlindungan tes rahasia dan eksklusifitas data produk-produk farmasi, TPPA mengusulkan perpanjangan paten selama setidaknya 5 tahun sejak ijin pemasaran obat diterbitkan. Usulan ini muncul dengan alasan sebagai kompensasi waktu yang dibutuhkan perusahaan pemilik hak paten untuk riset dan eksperimen.

Biasanya perusahaan obat generik menggunakan data asli yang dihasilkan pemilik paten untuk membuat alternatif obat yang lebih murah. Tapi, jika usulan eksklusifitas data disetujui, maka perusahaan obat generik harus menunggu hingga waktu paten berakhir atau harus melakukan riset sendiri. Implikasinya harga obat akan meroket. Negara yang seharusnya bertanggungjawab menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakatnya harus tunduk pada aturan ini. Profesor Joseph Stiglitz meyakini dari sudut pandang ekonomi usulan tersebut bertujuan untuk membatasi kompetisi dengan perusahaan obat generik. Ini adalah bentuk monopoli oleh perusahaan-perusahaan obat terkemuka dunia.

Produk-produk bioteknologi pun tak luput dari monopoli. TPPA mengusulkan aturan yang sama mengenai eksklusifitas data, tapi dengan durasi setidaknya 8 tahun sejak ijin pemasaran dikeluarkan otoritas pemberi hak paten. Produk bioteknologi menjadi perbincangan hangat di awal tahun 2015 ketika Pfizer, perusahaan obat terkemuka dari Amerika, mengakuisisi Hospira. Hospira adalah perusahaan obat kecil namun berhasil menarik perhatian Pfizer karena portfolio-nya sebagai produsen biosimilar, alternatif dari produk bioteknologi yang asli.

Penderita kanker adalah salah satu yang menggunakan obat hasil bioteknologi selama perawatan dan diprediksi akan sangat dibutuhkan di masa depan. Prosesnya yang kompleks dan mahal membuat pemilik paten bekerja keras untuk melindungi eksklusifitasnya, termasuk jika perlu dengan mengakuisisi perusahaan produsen biosimilar. Hal ini juga dikarenakan, menurut laporan majalah Fortune, perusahaan-perusahaan bioteknologi terkemuka akan kehilangan hak patennya pada 2020. Salah satu cara untuk meneruskan monopoli adalah dengan membeli perusahaan produsen biosimilar.

KONSEKUENSI

Niat awal kapitalisme adalah agar sektor privat, termasuk individu-individu di dalamnya, bisa bergerak bebas dalam menciptakan inovasi melalui kepemilikan faktor-faktor produksi. Harga produk di pasar pun dibiarkan ditentukan oleh mekanisme pasar. Peran negara pada akhirnya lebih cenderung untuk menjamin kestabilan kondisi politik yang aman untuk investasi serta pengaturan pajak. Tetapi, seperti kata Lord Acton bahwa “power tends to corrupt”. Ketika sektor privat mengeruk keuntungan besar dan berkuasa sehingga mampu melobi pemerintah maka lobi yang dilakukan lebih untuk kepentingan swasta, bukan publik. Ini tentu bukan rahasia. Tidak perlu menjadi ilmuwan untuk memahaminya.

Sistem dunia menurut Wallerstein bersifat sangat struktural. Negara-negara inti sudah terlalu lama menerapkan sistem kapitalis yang menguntungkan mereka. Tanpa mengecilkan peran tenaga kerja di negara-negara semi pinggiran dan pinggiran, tetapi kini tenaga kerja pun harus berilmu dan berketerampilan tinggi untuk memenuhi tuntutan produk yang juga semakin canggih. Hal ini sulit dicapai karena fasilitas pendidikan dan pelatihan kerja yang terjangkau di banyak negara miskin masih dalam kategori terbatas. Penduduk-penduduk di negara semi-pinggiran dan pinggiran dibuai dengan janji ketersediaan lapangan pekerjaan meski dengan mengorbankan hak-hak dasar pekerja seperti kenaikan upah minimum dan hak membentuk serikat pekerja (contohnya di Vietnam). Ini adalah lingkaran setan yang telah berlangsung puluhan tahun.

Apabila prediksi teori K-wave benar, maka sekali lagi negara-negara inti (terutama dari sektor swasta) akan mendominasi perekonomian global sebab kali ini mereka telah memulai pergerakan dalam monopoli bioteknologi dan layanan kesehatan yang menjadi komoditas utama gelombang ke-6. Mereka sudah merancang cetak biru untuk perluasan monopoli hingga ke level paling ekstrem. Hak paten dan perlindungan eksklusifitas data tidak hanya akan berimbas pada penduduk di negara-negara anggota TPPA, tetapi juga masyarakat di negara lain karena pusat research and development paling mutakhir dimiliki perusahaan-perusahaan farmasi besar dunia, sedangkan penyakit tidak kenal batas negara atau status ekonomi. Bayangkan orang-orang penderita malaria, tuberkulosis, HIV/AIDS, dan penyakit lainnya di negara miskin harus dihadapkan pada situasi dimana harga obat-obatan meroket dan tidak ada alternatif obat generik, sedangkan pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.

Kepemilikan informasi dan teknologi adalah faktor kunci dalam menentukan posisi kita di dunia saat ini. Mereka pemilik modal-modal tersebut menjadi otak yang mengatur pergerakan bagian-bagian tubuh lainnya. Sedangkan negara-negara yang sudah puas dengan ketersediaan tenaga kerja murah adalah bagian-bagian tubuh tersebut. Negara seperti Indonesia dengan populasi yang besar hanya akan menjadi penyedia tenaga kerja dan berperan sebagai pasar produk-produk tersebut. Maka, selayaknya Presiden Jokowi bertanya pada dirinya sendiri, staf ahli, menteri-menterinya dan rakyat Indonesia ketika menyatakan Indonesia tertarik bergabung dengan TPPA. Dari sisi moral, akankah TPPA mampu membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia? Dari sisi ekonomi, akankah TPPA secara signifikan membantu meningkatkan perekonomian Indonesia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun