Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu dari sederetan karya cemerlang penulis Indonesia hampir empat puluh tahun lalu. Namun, kita selalu bisa menikmatinya kapan pun juga, apa pun masanya. Bapak Pramoedya membuat kita merasa dekat dengan sejarah, bergetar dan merasakan bagaimana kehidupan pada era kolonial Belanda di Indonesia. Suatu pengalaman yang tidak bisa kita rasakan langsung tetapi dikemas dalam urutan roman yang indah dan seolah nyata seperti sejarah sesungguhnya.
Ada banyak tokoh-tokoh tak terlupakan di dalamnya, seperti Minke—tokoh utama yang gemar belajar dan pengagum ilmu—, Jan Dapperste alias Panji Darman yang baik, berani, dan bersahaja, Annelies yang cantik nan tabah, Robert Mellema—anak durhaka yang akhir hidupnya mengenaskan, dan sebagainya. Akan tetapi, ada satu tokoh yang juga menuai banyak sekali perhatian: Nyai Ontosoroh alias Sanikem, perempuan yang dijual ayahnya untuk jadi istri Tuan Gula yang kemudian bermetamorfosis menjadi Nyai yang pikiran-pendiriannya maju dan merdeka.
Secara khusus, saya akan mengupas siapa dan bagaimanakah Nyai dalam buku kedua dari Tetralogi Buru: Anak Semua Bangsa. Saya sangat simpatik kepadanya bahkan sejak awal cerita. Nyai mengajari Minke tentang azas, sesuatu yang tidak diajarkan di sekolah. Ketika harta benda mereka hendak diambil oleh petugas Gubernemen karena masalah perpindahan kekayaan ke ahli waris yang sah, Nyai tidak segan menggeramkan azas itu dan memekik mengusirnya.
“Lihat, biar kau kaya bagaimana pun, kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa izin: pencurian,” katanya pada Minke.
Keberanian Nyai berpikir dan mengemukakan azas ini sangat berpengaruh pada Minke. Saat ia menemukan permata curian Robert Suurhof yang diberikan untuk Annelies, istrinya, awalnya ia ragu apakah akan mengembalikannya pada orang tua Suurhof atau tidak. Akhirnya, ia bisa memutuskan. Ia mengikuti azas Nyai dan terbebas dari perasaan bersalah. Ia telah mengembalikan barang haram yang bukan miliknya.
Namun, berikutnya muncullah sisi Nyai yang sangat menarik. Sebagai seorang wanita yang kuat nyaris seperti singa betina, Nyai tetap manusia. Di halaman 51, Nyai menunjukkan ciri khas manusia yang hakekatnya lemah. Dia patah hati dan menangis. Annelies, anaknya, meninggal di negeri jauh di Belanda, bukan di pangkuan ibunya. Tapi hebatnya, Nyai tidak sepenuhnya ambruk. Dia masih mencoba menguatkan diri.
Ia mulai menyalahkan orang lain di Belanda dan menaruh dendam, dengan pahit menyesali Tuhan tidak berpihak pada yang kalah sebab sebentar lagi ia akan kehilangan semuanya; sudah kehilangan anak, sebentar lagi harta benda. Ini menunjukkan kepada kita sifat asli kita. Saat kita merasa sakit, kita cenderung menyalahkan diri kita, orang lain, kalau bukan Tuhan.
Walau demikian, yang bisa kita tiru dari Nyai adalah ia tidak lama-lama di titik itu. Ia berpikir lagi dan bangkit. Nyai tetap melanjutkan kehidupannya, mengatur perusahaan, bekerja, memimpin. Hidup tetap jalan. Saya mengagumi sikapnya yang ini. Sayang, tidak bisa dipungkiri, pasti tetap ada esensi yang berubah dalam hidupnya.
Di halaman 54, Nyai yang gemar membaca tidak terlihat tertarik pada berita Bahaya Kuning dari Utara—kemajuan Jepang yang melesat seperti peluru, mengejar peradaban Barat. Ia jadi kurang bersemangat, tidak berias, hanya bekerja dan bekerja, mau bangun usaha baru dan mengumpulkan modal. Dengan sopan ia meminta izin Minke, selaku suami Annelies, apakah boleh menggunakan uang Annelies sebagai modal nanti. Betapa perempuan seperti Nyai, seorang mertua dan ibu yang berharga diri tinggi tapi sangat menghargai menantunya lelaki.
Sisi baik dari Nyai lainnya ialah ia tidak segan membuka pandangan Minke (hlm. 100). Saat terjadi insiden pemutarbalikkan fakta oleh koran yang dipimpin Marten Nijman, Minke jadi gelisah dan kesal. Minkelah yang mewawancarai sang narasumber beretnis Tionghoa bernama Khouw Ah Soe, seorang pemuda dengan pemikiran terbuka yang ingin agar Tiongkok juga belajar dari Jepang. Tapi isi dari berita yang dipajang sama sekali tidak memuat apa yang dikatakan Khouw.
Nyai mengatakan kepada Minke bahwa orang Eropa itu tidak ada lagi kelebihannya selain ilmu, pengetahuan, dan pengendalian diri. Nyai, yang orang desa saja, bisa menyewa Eropa ahli untuk hitung-menghitung asalkan sanggup membayar sewanya. Kalau dia saja bisa, “Mengapa iblis juga tidak menyewa mereka?”