Mohon tunggu...
Rosa Armining Putri Herani
Rosa Armining Putri Herani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

penulis

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Seni Menjual Secara Gampang dan Terhormat

2 Januari 2023   11:05 Diperbarui: 2 Januari 2023   11:07 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjual memang sulit, tapi bisa menjadi mudah bila didukung strategi pemasaran yang solid. Asuransi, misalnya. Dulu hanya mengenal sistem push - tenaga pemasarnya akan pergi kerumah - rumah atau kantor mendatangi prospek, sampai pada titik di mana sang prospek bisa jadi nasabah atau tidak.

Yang orang tahu, satu - satunya cara menjual asuransi, ya, seperti itu. Betulkah? LippoLife menunjukkan, agar jadi nasabah, prospek tidak harus didatangi. LippoLife bisa membuat orang - setelah melihat iklannya - datang ke kantornya untuk jadi nasabah. Mengapa bisa? Karena, LippoLife mempunyai strategi pemasaran yang solid, dari positioning, diferensiasi, hingga mereknya. Karena itu, cara menjual juga jadi gampang. Tidak perlu menggunakan sistem push, bisa pull.

Mungkinkah hal serupa dilakukan di obat etikal? Selama ini, cara menjual obat etikal, karena karakteristinya, harus memakai jalur khusus, lain dari yang lain. Guna membuat produknya dikonsumsi end - user, perusahaan farmasi punya tiga jalur. Pertama, medical representative, untuk mempromosikan produk ke dokter. Dokter merupakan pemberi pengaruh (influencer) sasaran yang akan memberikan saran ke pasien atau the real customer, yang umumnya awam tentang soal obat - obatan.

Kedua, sales representative,  untuk mendistribusi produk melalui apotek - apotek sebagai saluran sasaran. Ini dilakukan agar ketersediaan barang terjamin. Sehingga, pasien akan mendapatkan obat seperti yang disarankan dokter. Ketiga, ceramah, seminar atau penjelasan. Di sini, end - user akan mendapatkan informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan obat etikal. cuma, cara ini jarang dilakukan. 

Repotnya, meski telah memakai cara penjualan berlapis, hasilnya ternyata jauh dari yang diharapkan. Maklum yang memakai cara itu bukan hanya 1 -2 perusahaan saja, tapi ratusan. Dokter bisa repot memilih produk yang perlu direkomendasi. Solusi mereka : merekomendasikan produk sesuai insentif yang diterima. Ini membuat end - user sulit mendapatkan nilai sesuai yang diharapkan.

Jadi, kalau kita lihat, kondisinya bukan win - win.  perusahaan farmasi pun rugi karena tidak bisa meraih hasil sesuai harapan. Padahal, upayanya besar. End - user pun lose karena total get - nya lebih kecil dibandingkan total give - nya.

Haruskah kita berkutat pada sistem seperti itu, yang ternyata membuat semuanya lose? mestinya ada cara lain. Apalagi terbukti, bisnis asuransi yang dulu hanya mengenal sistem push bisa menerima sistem pull. Sistem ini bahkan jauh lebih sukses. Premi income Rezeki tahun 1997 jauh lebih besar dari pada total premi income perusahaan asuransi global yang telah lama beroperasi di sini.

Jadi, perusahaan farmasi harus menggunakan strategi pemasaran, agar bisa menang dalam persaingan dan terus tumbuh di pasar obat etikal. Dari awal mereka harus melakukan pemetaan/segmentasi, yang bukan sekedar demografis plus geografis saja. Mereka juga harus melihat psikografi dan perilaku agar bisa mendapat gambaran pasar yang benar - benar berbeda dari pesaing.

Karena perusahaan farmasi harus mencari info tentang kebiasaan end - user, serta kebutuhan dan keinginan mereka. sehingga, perusahaan bisa mempunyai gambaran psikografis dan perilaku mereka. Lalu, silahkan pilih, mana yang akan dijadikan target pasar. Karena segmentasinya terinci, target pasarnya pun jelas.

Selanjutnya, membangun positioning obat etikal sesuai pasar sasaran. Tentu saja, positioning - nya mesti benar - benar berbeda dari obat etikal sejenis. Ini harus diakui, tak mudah. Apalagi kemajuan teknologi farmasi dan kimia memendekkan daur hidup produk. Positioning - nya bisa kabur gara - gara ada penemuan baru yang lebih bagus atau lebih sedikit dampak sampingnya.

Namun, bukankah ada time to market? Karena itu, manfaatkan waktu dengan tetap punya produk ber - positioning jelas. Untuk itu, diferensiasinya harus dipikirkan benar. Pada konten, obat tersebut harus mempunyai formula yang lebih manjur, dengan efek samping yang jauh lebih kecil. Konteksnya, bisa tablet atau kapsul, dengan waktu hancur yang lebih cepat. Di infrastruktur, bergantung pada: teknologi yang di pakai; fasilitas pabrik; khususnya penelitian dan pengembangan (litbang); dan orang - orangnya, seberapa banyak penemuan baru yang bisa mereka lahirkan.

Di marketing - mix, karena karakteristiknya, saya sarankan agar menaruh perhatian pada tempat dan promosi. Tempatnya jelas, apotek. Adapun promosi tidak harus above the line, tapi mesti cerdik. Sebab, obat etikal - karena obat keras - tidak bisa di jual ke pasien, harus melalui dokter yang merupakan pemberi pengaruh. Jadi, harus bisa menarik perhatian dokter tanpa sistem intensif. Misalnya, lewat marketing public relations.

Dengan cara itu, brand awareness - nya akan terbentuk. Akan lebih mudah lagi kalau terpikirkan nama komersial produk yang gampang diingat. Tentunya harus juga menyertakan nama perusahaan farmasinya guna menjamin kualitas dan litbangnya. Untuk memperbesar nilai produk, perusahaan harus memperhatikan layanan - bisa more for more, more for less, atau same for less. Yang penting, bisa memberikan nilai lebih tinggi dibandingkan pesaing. Hal itu bisa dilakukan setelah ada perbaikan dalam proses. Misalnya, bekerjasama dengan perusahaan farmasi lain. Sebab, biasanya perusahaan nasional tidak mempunyai litbang.

Selain memperhatikan sembilan elemen utama pemasaran sehingga akan gampang menjual obat etikal secara terhormat, perusahaan farmasi juga perlu menyimak catatan tambahan berikut. Pertama, mereka harus meniru langkah intel. Walau pasien tidak mengerti isi obat, tetap harus ada kampanye tidak langsung pada pasien, yakni melalui penjelasan di buku, brosur atau ceramah mengenai positioning dan diferensiasi obat etikal yang bersangkutan. 

Kedua, obat pada dasarnya bukan generik, harus kasus demi kasus. Jadi, akuilah, obat yang sama tidak untuk semua orang. Walau penyakitnya sama, kasus setiap orang berbeda - tergantung kondisinya. Ketiga, kalau hanya untuk menekan biaya, lalu menggunakan below the line yang diikuti menyuap dokter, tidak akan bisa tahan lama. Karena begitu sogokan hilang, omset berkurang. Ini jelas tidak termasuk pemasaran. Lagi pula, perusahaan pun harus menjaga nama dan merek. Pada saat orang mulai percaya pada kualitas merek generik, perusahaan harus berani menunjukan: yang terpentig, ekuitas merek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun