Mohon tunggu...
Ignatius Sunandar
Ignatius Sunandar Mohon Tunggu... -

Lahir di antara bukit-bukit dan sungai-sungai Pegunungan Menoreh. Sedang belajar berbagi harapan akan masa depan yang lebih baik dengan saudara-saudara di sekitar perkebunan sawit, Muara Wahau - Kutai Timur....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Contemplativus in Actione

2 Desember 2011   16:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:54 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Entah diakui atau tidak, kita lebih banyak membaca doa daripada berdoa. Banyak di antara kita yang tidak memusingkan diri dengan istilah berdoa atau sekedar membaca doa. Sejak kecil kita diajari oleh orang tua dan para katekis atau guru agama untuk berdoa dengan mengucapkan rumusan-rumusan doa-doa yang sudah ada. Saya masih ingat ketika mau komuni pertama, saya harus hafal beberapa doa dari buku Padupan Kencono. Tidak ada yang salah dengan rumusan doa-doa dan menghafalkan doa itu. Akan tetapi, pernahkah kita memperhatikan bahwa ada perbedaan yang sangat besar antara berdoa dan sekedar membaca doa?

Mari kita lihat apa yang dikatakan Yesus dalam Markus 11:24. “Karena itu aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.” Tentu saja berdoa itu tidak identik dengan meminta sesuatu, tapi harus diakui bahwa memang kenyataannya kita lebih banyak meminta kepada Allah dalam doa-doa kita. Sering kita sudah mencoba melakukan perintah Yesus itu : “doakan”, “percaya” dan “merasa telah menerima”. Akan tetapi kita sering melupakan dua syarat agar doa kita dikabulkan.

Syarat pertama ada dalam ayat sebelumnya ( Mrk 11:23 ), yaitu “asal tidak bimbang hatinya, tetapi percaya”. Ini berarti menunjuk langsung pada seberapa besar iman kita. Apakah iman kita sudah sebesar biji sesawi? Dari mana kita bisa belajar memiliki iman sebesar itu? Dari kaca mata pendidikan anak yang adalah tanggung jawab pertama dan utama orang tua, maka anak-anak akan belajar percaya dan beriman pada Allah dari orang tua mereka. Anak-anak akan merasakan dan berlajar dari bagaimana iman orang tua mereka beriman dan percaya pada Allah. Tidak jarang justru banyak orang tua yang lebih percaya pada paranormal daripada pada Allah pada saat-saat kritis dalam hidupnya.

Syarat yang kedua dan sering dilupakan ada dalam Markus 11:25, “ampunilah dahulu”. Ini berarti sangat jelas bahwa bila kita tidak berdamai dengan diri sendiri dan sesama maka doa kita pun akan sia-sia. Lebih jelasnya, banyak orang berdoa meminta sesuatu kepada Allah dengan sungguh-sungguh, tapi pada saat yang sama mereka berenang-renang dalam dosa. Ini senada dengan orang yang mengatakan, “Tuhan adalah bentengku, aku pasti terlindung dari bahaya” tetapi dia tidak hidup dalam firman Tuhan. Ia hidup di luar “beteng perlindungan” Tuhan, maka dia tidak terlindungi.

Dari dua syarat di atas kita melihat bahwa berdoa itu menyangkut keseluruhan hidup. Orang sering mengatakan bahwa doa adalah komunikasi kita dengan Allah. Komunikasi itu akan lebih indah bila merupakan komunikasi kehidupan, pergulatan kita untuk tetap setia percaya pada Allah dan hidup dalam koridor firmanNya. Ini berarti bahwa kehidupan doa kita adalah searah dan sejalan dengan kehidupan nyata kita. Hidup dilandasai dengan doa dan doa berasal dari pergulatan hidup kita dalam mewujudkan tujuan kita diciptakan yaitu untuk memuji dan memuliakan Allah. Bila itu terjadi maka Kerajaan Allah itu sungguh terwujud dalam pikiran kita, dalam kata-kata kita, dalam tindakan kita, dalam hubungan kita dengan anggota keluarga dan orang-orang di mana kita terlibat.

Apa yang terjadi bila kita hanya membaca doa? Yang terjadi berdoa hanya menjadi ritualitas, perbuatan ritual rutin sebagai orang yang beragama. Itu juga yang tercermin di dalam situasi masyarakat bangsa Indonesia ini. Di negara ini ada begitu banyak tempat ibadah, semua warga negara harus menganut agama tertentu, semua orang diberi kebebasan untuk melaksanakan kehidupan beragamanya termasuk upacara-upacara keagamaannya. Akan tetapi apakah kenyataan kehidupan yang kita lihat sekarang ini mencerminkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beragama dan percaya pada Allah? Harus diakui, kita juga pasti lebih pandai membaca doa daripada berdoa.

Ada sisi lain dari ajaran Yesus tentang berdoa ini yang kurang diperhatikan oleh Gereja, yaitu cara berdoa yang Dia lakukan di tempat sunyi. Yesus berdoa dengan mendengarkan apa yang dikatakan Allah Bapa. Dia memang mengajari kita doa Bapa Kami, di mana kita aktif menyampaikan sesusatu kepada Bapa. Tapi Yesus juga berdoa dengan cara diam, mendengarkan dan menangkap apa yang harus Dia lakukan sesuai kehendak Bapa. Doa macam inilah yang oleh Santo Ignatius dirumuskan dengan doa Meditasi dan Kontemplasi, cara doa di mana kita lebih banyak mendengarkan dan membiarkan Allah menguasai diri kita sepenuhnya. Ini adalah doa yang dapat menggerakkan seseorang untuk merubah diri dan berbuat sesuai kehendakNya.

Lalu bagaimana konkritnya agar kita lebih banyak berdoa daripada sekedar membaca doa? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, marilah kita belajar dari riwayat hidup St. Ignasius Loyola. Ada empat hal utama dalam kehidupan St. Ignasius Loyola yang dapat kita teladani dan sangat mudah untuk dilaksanakan.

1. Kita harus belajar terus-menerus menemukan Allah dalam segala sesuatu dan menemukan segala sesuatu dalam konteks kehadiran Allah.
Apa ini sulit? Ya, sangat sulit untuk mereka yang tidak pernah mencoba dan melakukan. Apa ini sangat mudah? Ya, sangat mudah, untuk mereka yang terus-menerus melakukannya seperti yang digambarkan oleh Daud dalam Mazmur 103 dan 104, “Pujilah Tuhan, hai jiwaku!” Memuji dan bersyukur kepada Allah sepanjang waktu adalah salah satu cara menemukan Allah dalam segala sesuatu yang kita alami dan kita jumpai. Dimulai saat kita terbangun dari tidur di pagi hari, kita mengucap syukur atas anugerah kehidupan, atas hari baru, atas semua yang masih bisa kita nikmati. Dan seterusnya kita biasakan mengucap syukut atas apa yang kita terima dan alami.

Bila yang kita alami adalah hal yang negatif, kita melihat kesempatan yang diberikan Allah di balik itu. Apakah Allah sedang menguji dan melatih kita untuk membangun keutamaan tertentu seperti keutamaan kesabaran, ketabahan, ketaatan dan sebagainya.

Bila yang kita alami adalah godaan untuk berbuat dosa, maka kita juga tetap bersyukur bahwa kita dilatih untuk mengendalikan diri melawan kecenderungan dosa itu. Dan seterusnya.

Bila kita berhadapan dengan orang lain yang selalu berpikiran dan bertindak negatif, mengeluh, tidak punya semangat, pesimis dengan keadaan, maka kita harus hadir sebagai terang, mengatakan yang sebaliknya, memberikan harapan dan semangat. Kehadiran kita harus menjadi kehadiran Allah yang memberikan cinta kasih dan semangat hidup. Allah ada dalam diri kita, membuat diri kita ada, hidup dan berkarya.

2. Menempatkan Allah sebagai yang utama dalam segala niat dan usaha kita.
Ini berarti semua yang kita inginkan, kita lakukan, kita usahakan hanya untuk satu tujuan: Ad Maiorem Dei Gloriam. Demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Semua pikiran, perkataan, tindakan kita selalu dengan satu pamrih, yaitu AMDG. Kalau ini yang terjadi maka Allah sendiri yang akan bertindak, berkarya bersama kita. Niat dan upaya kita akan diberkati, akan berbuah banyak, akan bertumbuh, akan berlimpah-limpah. Bila yang utama dalam usaha kita adalah Allah maka kita akan seperti ranting dari pokok anggur yang tidak mati. Sebagai ranting yang tumbuh, kita akan menyesuaikan dengan kehidupan yang mengalir dalam pokok anggur. “Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.”( Yoh. 15:4 ).

3. Selalu berusaha menemukan kehendak-Nya
Bila kita selalu menempatkan Allah sebagai yang utama dalam niat dan usaha kita, maka menemukan kehendak Allah itu bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Allah sendiri yang akan membimbing dan memimpin langkah-langkah hidup kita. Untuk itu diperlukan kepekaan jiwa untuk menangkap gerakan roh dan latihan pembedaan gerakan roh. Latihan memusatkan pikiran / focusing, praktek latihan rohani ( meditasi dan kontemplasi ), pemeriksaan batin umum, pemeriksaan batin khusus adalah cara-cara yang diajarkan St. Ignasius untuk melatih kepekaan jiwa akan gerakan roh yang memungkinkan kita lebih mudah menemukan kehendak-Nya.

Menemukan kehendak Allah dan melakukannya sama dengan hidup dalam firman-Nya seperti yang digambarkan dalam Yohanes 15:7. “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.” Sehubungan dengan doa atau permohonan kita di atas, jelas sekali bahwa Tuhan Yesus menegaskan, bila kita hidup dalam firman-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya maka apa saja yang kita minta, kita akan menerimanya karena yang kita minta pasti sesuai dengan kehendak-Nya.

4. Selalu mendambakan cinta dan rahmat-Nya dalam hidup sehari-hari.
Salah satu godaan terbesar manusia adalah godaan untuk menjadi sombong, merasa lebih, merasa bahwa semua keberhasilan itu semata-mata karena kekuatannya sendiri. Dalam nyanyian “wajib”, “Ambillah, ya, Tuhan” dan dalam Latihan Rohani, “Kontemplasi untuk mendapatkan cinta” kita diajak untuk belajar rendah hati bahwa semua yang kita miliki sebenarnya adalah milik Allah. Yang kita butuhkan adalah cinta dan rahmat-Nya agar kita dapat melaksanakan kehendak-Nya.

Di dalam diri kita ada kecenderungan-kecenderungan untuk jatuh dalam dosa-dosa. St. Ignasius Loyola mengikis kecenderungan-kecenderungan kedosaan dalam dirinya dengan terus-menerus melakukan askese-askese, pemeriksaan batin dan latihan rohani lainnya. Untuk dapat melakukan itu semua kita memerlukan curahan rahmat dari Allah sehingga keberhasilan dalam memerangi kedosaan itu pun tidak akan membuat kita menjadi sombong. Mendambakan cinta dan rahmat-Nya merupakan salah satu bentuk askese untuk melatih kerendahan hati melawan kesombongan.

Melakukan keempat hal di atas dalam pergulatan hidup kita sehari-hari merupakan bentuk paling nyata dari apa yang oleh St. Ignasius Loyola disebut sebagai “Kontemplasi dalam aksi” ( Contemplativus in Actione ). Kontemplasi dalam aksi dengan demikian bukan sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan sesuatu yang sedang kita kontemplasikan, melainkan sesuatu yang kita wujudkan dalam perbuatan, dalam hidup kita. Hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, hidup yang selalu demi kemuliaan Allah yang lebih besar, adalah aksi yang dijiwai kontemplasi – aksi yang adalah perwujudan doa – aksi yang adalah perwujudan kehadiran kita dalam Allah dan Allah yang hadir dalam hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun