Dalam dua dekade terakhir ini banyak kejadian perceraian dalam masyarakat. Tidak hanya di kalangan para artis tetapi juga di kalangan keluarga Katholik yang perkawinannya diresmikan di Gereja. Tak jarang alasan yang diungkapkan adalah karena sudah tidak ada lagi kecocokan di antara kedua pasangan. Anak-anaklah yang akhirnya menjadi korban. Mengapa ketidakcocokan ini harus berakhir dengan perceraian? Sejauh mana kesesuaian kita dengan pasangan hidup dan bagaimana mensiasati perbedaan dan ketidakcocokan antar pasangan? Apa yang dapat kita tunjukkan kepada kaum muda dalam memilih pasangannya agar tidak berakhir sia-sia dalam membangun keluarga?
Marilah kita belajar dari pakar perkawinan ( Whipple et.al.) tentang kesesuaian ini. Pada prinsipnya akan lebih baik bila kedua pasangan dalam ikatan perkawinan memiliki kecenderungan kepribadian yang analog agar proses penyesuaian diri tidak terlalu banyak membuang energi dan bahkan kadang berakhir dengan “ketidakcocokan” dan perceraian. Pasangan yang memiliki perbedaan kepribadian yang terlalu kontras cenderung akan sulit untuk menyesuaikan diri. Ada enam komponen kesesuaian yang dapat dipakai untuk pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.
1. Dimensi SOSIABILITAS.
Ini mengenai sejauh mana kebutuhan seseorang akan kehadiran dan minat terhadap orang lain. Orang yang suka bergaul dan bertemu dengan orang lain serta melakukan aktivitas dengan banyak orang, akan menghadapi banyak masalah bila suami atau istrinya ternyata punya kecenderungan yang sebaliknya, tidak suka bergaul dan lebih nyaman dalam kesendirian dan kesunyian.
2. Dimensi STABILITAS-LABILITAS EMOSI.
Orang yang relatif stabil emosinya akan dapat diajak bekerja sama membangun keluarga bahagia daripada orang yang labil, neurotis, spsikotis, atau psikopatis.
3. Dimensi DOMINAN-SUBMISIF.
Bila salah satu pasangan memiliki kecenderungan secara kuat mendominasi pasangannya, masalah akan sering timbul. Dua orang dominan yang hidup dalam satu atap cenderung akan berkonflik. Seseorang yang sadar dirinya pribadi dominan seyogiannya memilih pasangan yang submisif agar terjadi komplemen dalam perannya. Dengan demikian, relasi harmonis dan membahagiakan kedua belah pihak dapat juga terjalin.
4. KECERDASAN.
Perbedaan besar dalam taraf kecerdasan membuka peluang kesulitan yang tidak teratasi bagi kedua pasangan, apalagi bila diantara mereka memiliki perbedaan besar dalam hal minat, ambisi, serta kemampuan komunikasi. Biasanya konflik yang terjadi pun menjadi sulit dicari solusinya.
5. KEBUTUHAN SEKSUAL.
Taraf kebutuhan seks yang relatif sama akan menunjang kepuasan dalam relasi seksual, entah itu tarafnya rendah, moderat, atau tinggi. Sebesar apa pun tarafnya tidak penting, asalkan relatif sama bagi pasangan perkawinan tersebut.
6. GAIRAH DAN ENERGIK.
Sebagian orang memiliki gairah dan energi mental yang besar sehingga mereka tidak bisa diam, bergerak terus dan selalu punya rencana aktivitas berlanjut. Sementara itu, orang lain dengan tingkat energi yang rendah tentu saja akan lebih cepat merasa puas dengan apa adanya dan kurang bergairah melakukan aktivitas berlanjut. Pasangan perkawinan yang memiliki perbedaan besar dalam tingkat gairah dan energi pasti akan menghadapi banyak konflik yang membuat kedua belah pihak akhirnya merasa tidak nyaman dan tidak berbahagia.
Kecenderungan sama
Bagi mereka yang sudah hidup dalam bahtera keluarga, kita bisa melihat sejauh mana keenam aspek kesesuaian tersebuit ada dalam keluarga kita. Faktanya, laki-laki dan perempuan itu memang sungguh berbeda. Dengan segala dimensi perbedaan itulah Allah mempersatukan laki-laki dan perempuan menjadi satu sehingga hidup menjadi semakin indah. Kekurangan dalam aspek kesesuaian tertentu dapat dikompensasikan dengan aspek kesesuaian lain yang sudah ada di antara suami/istri sehingga kadar penyesuaian istri/suami dapat perlahan-lahan meningkat demi kelanggengan ikatan cinta kasih dalam perkawinan yang selama ini sudah dijalin bersama.
Bagi kaum muda yang sedang dalam proses menemukan pasangan hidupnya, idealnya memang memilih pasangan yang punya kecenderungan kepribadian yang hampir sama. Akan tetapi, harus disadari bahwa untuk mendapatkan pasangan yang memiliki kesesuaian di semua aspek itu tidaklah mudah. Maka, harus diingat bahwa kita dianugerahi kemampuan untuk dapat menjadi pribadi yang siap menyesuaikan diri dengan calon pasangan. Mencari pasangan yang sesuai dengan diri kita itu lebih sulit daripada merubah diri menjadi pribadi yang sesuai dengan pasangan. So, bila masing-masing mau merubah diri menjadi yang sesuai dengan pasangan maka terjadilah kesesuaian itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H