Mohon tunggu...
Ignatius Sunandar
Ignatius Sunandar Mohon Tunggu... -

Lahir di antara bukit-bukit dan sungai-sungai Pegunungan Menoreh. Sedang belajar berbagi harapan akan masa depan yang lebih baik dengan saudara-saudara di sekitar perkebunan sawit, Muara Wahau - Kutai Timur....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tanganku Terlalu Kecil

4 Desember 2014   21:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:02 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tanganku Terlalu Kecil

Pada momen valentine Februari tahun 2000 aku hanya bisa membalas sapaan valentinnya dengan kalimat “Tanganku terlalu kecil untuk menggenggam kehidupan.”Itu kutuliskan untuk menggambarkan bahwa aku tidak mungkin lagi kembali kepadanya, menuliskan kisah-kisah hidup bersamanya, berbagi kekhawatiran dan kerinduan. Aku sudah ada di buku yang berbeda dengan dia meskipun dia mungkin masih berharap ada satu bab di mana aku dan dia dipertemukan lagi dan menulis bab-bab berikutnya. Dan aku belum berani menceritakan buku kisahku saat itu. Aku menunggu saat yang tepat setelah dia selesai meraih gelar dokternya. Aku tidak mungkin menggenggam cinta yang sedemikian besar untuk diriku sendiri dan untuknya. Aku menyadari bahwa aku sungguh terbatas dan keterbatasanku itu merubah jalan hidupku, kisah hidupku, buku sejarahku. Aku menulis judul buku baru.

Dalam buku baruku masih ada sub bab yang selalu diwarnai kehadirannya sampai akhirnya aku menerima kenyataan dengan damai bahwa kehadirannya adalah nyata dan harus aku syukuri. Dia tetap ada meski perannya perlahan-lahan tidak lagi menjadi yang utama. Dan pada moment ini aku benar-benar memutuskan mengganti peran itu menjadi latar belakang yang indah yang harus aku terima dan syukuri dengan damai.

Saat aku menulis bahwa tanganku terlalu kecil menggenggam kehidupan, aku masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa hidupku sedang dibentuk ulang. Hidupku baru saja melewati kejadian-kejadian yang membuat jiwa dan ragaku berantakan berkeping-keping lepas berhamburan di luar kemampuanku untuk merangkai kembali. Itu situasi antara pasrah pada kehendakNya dan ketidakberdayaan menerima kenyataan paling menyakitkan. Aku sedang sakit jiwa dan raga yang telah mengubah hidupku dan caraku memandang diriku serta dunia sekitarku. Mestinya aku tuliskan ungkapan-ungkapan manis cinta nan penuh harapan, tetapi itu tidak mungkin lagi. Aku tidak lagi memberi harapan bisa kembali bernyanyi tentang cinta bukit-bukiit Maubisse lagi bersamanya. Aku tidak lagi bisa berbagi keindahan Pousada dan lereng-lereng Kablaki. Aku hanya bisa mengucap “tanganku terlalu kecil”...

Empat belas tahun sejak saat itu, hari ini, aku masih merasakan bahwa tanganku masih terlalu kecil untuk menggenggam kehidupan. Akan tetapi aku menemukan makna yang sangat berbeda dengan apa yang aku maknai saat itu. Tanganku memang teramat kecil untuk menggenggam kehidupan, tapi aku harus mensyukuri bahwa ada tangan yang jauh lebih besar selalu menggenggam hidupku. Pilihan yang punya tangan kehidupan itu sangat pas dengan hidupku meski aku masih sering berontak. Harus aku akui bahwa pilihanNya yang benar dan paling tepat. Dan tidak ada cara lain kecuai bersyukur dan berterima kasih atas apa yang pernah aku alami. Sangat sakit memang, tetapi jalan itulah yang memang sudah terjadi dan mewarnai hidupku.

Ketika mood berkisah muncul lagi di pedalaman Kalimantan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun