Seiring berjalannya waktu, terjadi pula paradigma terhadap posisi ketua RT/RW. Saat ini, menjadi ketua RT/RW seolah sesuatu yang fantastis dan menjanjikan "banyak hal".Â
Banyak orang yang berlomba-lomba ingin menjadi ketua RT/RW, sehingga jabatan ketua RT/RW saat ini (paling tidak di lingkungan tempat tinggal penulis) menjadi sebuah posisi yang diperebutkan.
Kalau kita perhatikan dalam permasalahan ketua RT/RW di era digital ini, terjadi suatu dilematis. Kita menginginkan seorang ketua RT/RW yang sehat jasmani/rohani, memiliki kompetensi sosial, memiliki integritas, dan mempunyai kapasitas dalam penguasaan teknologi informasi, namun mereka tidak memiliki waktu untuk mendarmabaktikan dirinya di masyarakat.Â
Karena mereka masih "sibuk dengan dirinya", mereka masih aktif bekerja untuk memenuhi nafkah keluarganya, pergi pagi pulang sore biasa mereka lalukan. Sehingga tidak ada waktu untuk membaur apalagi menumpahkan sebagian besarnya waktunya di masyarakat.
Sementara yang terjadi adalah, para calon ketua RT/RW adalah para "pensiunan" yang mungkin secara usia sudah kurang produktif lagi, di samping itu biasanya mereka kurang melek teknologi. Padahal faktor yang kedua ini merupakan tantangan yang harus dikuasai agar tidak tertinggal di zaman yang bergerak begitu cepat ini.
Lalu bagaimana solusinya?, agar kita memiliki ketua RT/RW yang usianya masih produktif, memiliki banyak waktu luang untuk masyarakat, melek teknologi, sehat jasmani/rohani, memiliki kompetensi sosial, dan memiliki integritas?. ***
Referensi :
2.https://sains.kompas.com/read/2012/04/23/13252329/honor.ketua.rtrw.di.dki.naik.rp.50.000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H